It's FREEday \*-*/
Saatnya bertemu sama Hitam dan Rizal :"***
Enjoy it *hug*
Don't forget to click the star button and comment if you feel awesome/?Xoxo
YoungkerbellTawa Hitam membahana, memenuhi kamar apartemennya yang sederhana. Di pagi minggu yang seharusnya ia nikmati dengan cara bangun siang harus rusak. Kedatangan Rizal yang sama sekali tidak diharapkan benar-benar menjadi momok. Belum lagi laki-laki calon ayah itu datang dengan sebuah berita─lebih tepatnya dongeng. Sebuah dongeng yang menceritakan bahwa tadi malam Matcha baru saja menghubunginya kembali.
Tapi Rizal bukanlah seseorang yang bisa di percaya dengan mudah. Bahkan kedua orang tuanya tidak percaya memiliki anak seperti Rizal. Dan Rizal juga tidak percaya bahwa kedua orang tuanya tidak percaya memiliki anak sepertinya. Lebih parahnya lagi─sudahlah.
"Pintu keluar sebelah sana, sampai jumpa." Usir Hitam begitu ketara, laki-laki itu kembali bergelung di balik selimutnya. Mengabaikan fakta bahwa masih ada satu orang lagi yang ada disana. Seorang laki-laki yang duduk bersila di atas kasurnya, tepatnya di sisi kanan.
"Cuma Matcha yang manggil lo pake nama Bian," kata Rizal masih bersikeras membuat Hitam mempercayainya.
"Gue nggak bakal percaya sama lo." Suara Hitam teredam karena selimut yang menutupi seluruh tubuhnya, membuatnya terlihat seperti seonggok toge yang dibungkus kain agar terhindar dari panas matahari.
Tiba-tiba saja Rizal ingin makan toge. Makanan yang paling berjasa sehingga kini istrinya berhasil mengandung anaknya.
Rizal merindukan istrinya, tipikal suami yang sayang istri, pengecualian tadi malam karena Kayla benar-benar membuatnya tidur di sofa.
Ah punggungnya.
"Gue juga nggak haus kepercayaan, dan buat gue yang harus di percaya itu cuma Allah. Nggak ada yang lain, kalaupun ada─lo harus siap masuk neraka karena itu sama aja lo menduakan Allah. Dosa besar, musyrik, masuk neraka yang paling bontot, susah untuk naik lagi untuk ke surga. Kasian lo idup─"
Sebuah bantal melayang kearah Rizal dan dengan tepat mendarat diwajahnya. Membuat laki-laki itu meringis karena rasa perih yang mendominasi wajahnya. Meskipun hanya sebuah bantal, tetap saja sakit. Karena kelembutan bantal tidak menjamin akan adanya kesakitan nanti. Jadi meskipun seseorang bersikap lembut belum tentu seseorang itu akan membahagiakanmu, bisa jadi seseorang itu adalah kesakitan terbesar yang bersembunyi di balik kedok lembutnya.
Sepertinya Rizal baper, dan sop tahu campur toge menjadi menu pilihannya siang nanti.
Sekedar informasi, hukuman tambahan untuk Rizal adalah tidak boleh makan di rumah selama tiga hari. Fix¸ siang ini dia akan memesan sop tahu dan toge di restoran langganannya.
Semoga aja McD mau buatin gue sop tahu ama toge, amiin. Biasanya doa anak baik pasti dikabulin. Amin, sekali lagi amin.
"Woy!" jika sebelumnya sebuah bantal yang menghantam wajahnya, maka kali ini tangan Hitam yang menggeplak kepalanya. Menimbulkan suara mengaduh dengan laki-laki itu yang mengusap kepalanya berkali-kali. Berharap sedikit saja dapat mengurangi rasa sakitnya. "Stres lo manggut-manggut sama senyum-senyum sendiri? Jadi parno gue."
"Icik amuh." Hitam memutar matanya, ia mengusap rambutnya yang berantakan khas bangun tidur─yang bahkan semakin jadi berantakan. Ia menatap sahabatnya itu dengan malas, berharap ia bisa mendapatkan kembali quality timenya di minggu pagi ini.
"Udah kan? Pergi sono." Kakinya menendang-nendang punggung Rizal. Mendorong laki-laki itu menjauh dari tempat tidurnya dan kalau bisa sekalian pergi keluar dan meninggalkannya sendirian. Melanjutkan tidur indahnya yang sempat tertunda.
"Gue serius." Ucap Rizal sambil menghalau kaki Hitam yang masih mencoba untuk menendangnya. "Dan masalahnya itu yang ngangkat bini gue."
Kaki Hitam berhenti bergerak─menendang Rizal─dan kini tatapannya terpaku pada satu arah. "Lo abis makan nasi uduk ye?" dan entah kenapa dengan polosnya Rizal mengangguk, menatap Hitam dan memberikan sinyal ke radar tak kasat mata milik laki-laki itu. Seakan mengirimkan pertanyaan 'kok lo tau?' dan dengan cepat Hitam menjawab. "Ada cabe nyelip di gigi lo."
Secepat kilat Rizal berjalan kearah cermin di lemari Hitam. Dan benar saja, ada potongan kecil ─sangat kecil─cabe yang terselip di antara giginya. Ia segera membersihkan cabe itu dan menempelkannya disamping lemari Hitam. Membuat laki-laki itu berseru tidak terima dari tempatnya.
"Anjir, mana tadi gue sempat tebar senyuman ke resepsionis baru di bawah. Udah seneng gue dianya juga bales senyum, eh nyatanya dia nahan ketawa karna ngeliat cabe di gigi gue." Seloroh Rizal setelah ia kembali duduk di atas kasur. Kali ini ia menggantungkan kakinya di tepi tempat tidur, menggesekkan telapak kakinya dengan karpet bulu dibawahnya.
"Masih ganjen aja, udah mau jadi ayah juga."
"Tapi gue seriusan ini, tadi malem emang Matcha bener-bener nelpon ke nomor lo yang di gue." Kata Rizal menganggap angin lalu apa yang diucapkan oleh laki-laki yang kini sudah duduk sepenuhnya. Punggungnya tersandar di kepala ranjang.
Hitam memejamkan matanya, keningnya berkerut sebelum akhirnya ia kembali bertanya dengan matanya yang masih terpejam. "Maksud lo nomor dan handphone gue yang di elo?"
"Tai ya kamu, nggak usah di perjelas gitu bisa kali." Laki-laki itu mendengus, menarik acak bulu yang ada di kaki Hitam yang terjulur kearahnya.
"Sakit anjir." Keluh Hitam, ia melipat kakinya dan mengusap-usap tempat dimana sebelumnya Rizal mencabut paksa perkebunan bulunya.
Dasar temen sialan.
Kayak lo nggak temen sialan aja.
"Ya ampun ini kapan seriusnya?" pekik Rizal frustasi, sepertinya akan sangat sulit berbicara serius dengan Hitam, karena satu-satunya yang bisa membuatnya serius hanya hal-hal yang bersangkutan dengan pekerjaan.
Sayangnya dirinya dan Hitam adalah tipe laki-laki yang sama.
Hitam menghela napasnya, mencoba untuk serius kali ini. "Jadi gue harus gimana?"
"Temuin dia lah," saran Rizal yang ada benarnya juga. "meskipun alasan lo deketin dia agak jahat setidaknya kalo lo ninggalin dia dengan cara yang gentle, kasih kepastian, entah kenapa gue yakin selama seminggu ini dia selalu nyariin elo.
Meskipun cewek kodratnya menunggu, bukan berarti lo sebagai cowok biarin dia nunggu gitu aja tanpa kepastian. Ibarat palang pintu kereta api, disaat dia ngeliat lo mau lewat dia bakalan tetap kebuka. Tapi pas batasnya kereta api udah mendekat, dia bakalan ketutup tanpa mau menunggu lo lewat dulu, sekalipun lo tinggal selangkah lagi dari palang pintunya. Dan lo tau apa?" Hitam menggeleng. Wajahnya benar-benar serius mendengarkan kata-kata Rizal. Tidak menyangka kalau sahabatnya yang satu ini bisa bersikap dewasa juga. "Itu kata-kata terbijak yang pernah gue ucapin seumur hidup, gue terharu banget anjir."
25 Maret 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Black Coffee
Teen FictionTHIS STORY CREATED AND WRITTEN BY ME ARE NOW ON 'PRIVATE'. TO READ AND ACCESS THIS STORY PLEASE FOLLOW ME FIRST OR MAYBE YOU SHOULD TO READ THE "PLEASE READ!" TO KNOW HOW TO READ THIS STORY. THANK YOU. SYNOPSIS ON FIRST CHAPTER. 28 FEBRUARI 2016