24. Hitam

1.2K 155 14
                                    

Kembali lagi bersama babang hitam dan babang rizal 😁
Jadwal update gue tepat waktu kan ya? Inysaallah mah gue on time meskipun beberapa kali late :"V

SEPERTI SEBELUMNYA, GUE HARAP UNTUK YANG BACA JANGAN LUPA VOMMENT YA DEMI KEPENTINGAN DAN KEBAIKAN KITA BERSAMA/?

XOXO
YOUNGKERBELL

P.S
UNTUK KALI INI NGGAK USAH BAPER BAPER BANGET, KARNA GUE JUGA LELAH KALO HARUS BAPER TERUS *GELINDINGAN*
JANGAN SALFOK SAMA MULMEDNYA EAPS, JANGAN SAMPE ADA #HIZALSHIPPER DISINI 😂





Siang itu Hitam tengah berkutat dengan laptop di atas meja kerjanya ketika tiba-tiba saja Rizal datang, memasuki ruangannya tanpa mengetuk terlebih dahulu. Walaupun biasanya laki-laki itu tidak pernah mengetuk saat ingin masuk, namun kali ini kemunculan Rizal yang tiba-tiba membuat Hitam terlonjak dari tempat duduknya. Fokusnya yang tertuju pada layar laptop melebur mendengar suara pintu yang di banting oleh Rizal.


Rizal berdiri di seberang meja kerjanya. Tangannya bertumpu di pinggang, berkacak seolah Hitam adalah bocah ingusan yang baru saja ketahuan mencuri sepotong tempe goreng.


"Lo bener-bener deketin si Chloe?" tanya Rizal tanpa babibu, Hitam hanya menatapnya sebelum kemudian mengangguk. "Secepet itu?" Rizal berdecak dan menggelengkan kepalanya. Tidak percaya bahwa sahabatnya yang satu ini sudah mulai mendekati gadis lain.


Bukannya Rizal bermaksud untuk membiarkan Hitam semakin lama tenggelam dalam kegalauannya tentang Matcha, namun kalau secepat ini rasanya Rizal tidak bisa menerima begitu saja. Apalagi Hitam yang sebelumnya tidak pernah begitu tertarik untuk terikat dalam suatu hubungan kini berbalik dan sedang melakukan penjajakan kepada seorang gadis.


"Chloe anaknya asyik kok, meskipun agak cerewet. Tapi, bolehlah."


"Lo nggak mikirin perasaan Matcha gimana?" Rizal menghentakkan tubuhnya, duduk di kursi berhadapan dengan Hitam. "Belum sampai sebulan loh, setidaknya sebagai cowok sejati lo nunggu dulu sampai masa 'idah nya lepas."


"Masa 'idah pala lo peyang, gue bukan duda yang abis di tinggal mati bini." Sangkal Hitam bersungut-sungut. Rasanya dia ingin melemparkan laptop yang sudah ambil kuda-kuda dihadapannya. Tapi kasian, kasian laptopnya.


"Tapi tetep aja, cepet banget Ideung."


"Udahlah," Hitam mengibas tangannya, kembali menatap ke layar laptop yang sejak kedatangan Rizal diabaikannya. "Gue sama dia 'kan udah selesai, udah nggak ada urusan apa-apa lagi."


"Bangsat banget kamu jadi cowok ya, pantes sampai sekarang masih ngejomblo."


"Cot!"


Hitam menggerakkan jemarinya dengan lincah di atas keyboard, melanjutkan pekerjaannya yang sedari tadi ia abaikan. Didepannya Rizal masih saja berdiam, beberapa kali ia menggaruk kepala bagian belakangnya, dan beberapa kali dia juga mengusap tengkuknya.


"Kenapa lo nggak coba untuk jujur aja sama Matcha?"


"Dan biarin dia kecewa pas tau siapa gue sebenernya, terus ninggalin gue gitu aja kayak sampah supermarket? Nggak deh, makasih."


Suara nyaring membuat Hitam mengernyit ketika Rizal memukul meja dengan spontan. Laki-laki itu sepertinya tidak sadar dengan pergerakkan spontannya karena selanjutnya ia meringis merasakan panas yang menjalar dari telapak tangannya.


Mulut Hitam bergerak, mengucapkan kata 'bego' tanpa suara. Matanya memutar penuh dan mendapat balasan berupa rutukan dari Rizal.


"Hitam yang gue kenal itu biasanya nggak pernah takut untuk ngambil resiko." Rizal berkomentar sambil meniup-niup pelan telapak tangannya yang memerah. "Lo tau, Ibuk Rani nggak pernah ngajarin kita untuk jadi laki-laki pengecut. Lo nggak malu sama umur?"


Ditempatnya Hitam mendengus, "Ibuk Rani itu nyokap lo bego,"


"Lah emang, terus apa masalahnya?" Hitam menggeleng pelan, mengibaskan tangannya mengisyaratkan tidak melanjutkan pembahasan barusan. "Lo tau, karena nasehat Ibuk Rani makanya sekarang gue bisa punya bini. Jadi laki-laki yang jantan, berani ngadepin masalah dan risiko. Bukannya malah lari dari masalah dan bersikap seolah-olah nggak terjadi apa-apa."


"Ayam kali, jantan." Seloroh Hitam. Menertawakan sikap Rizal yang tumben sekali bisa menjadi serius seperti ini.


"Ya Allah, salah apa mak gue sampai punya anak asuhan macem lo gini." Rizal menggeleng dramatis, menempelkan telapak tangannya di kening. Bertingkah selayaknya pengangguran yang memiliki banyak hutang.


"Oh, jadi kamu nyesel selama ini kenal aku? Oke fiks, kita end." Ucap Hitam dengan nada menjijikkan yang dibuat-buat. Ia membuang wajahnya dengan gestur kemayu yang sontak membuat Rizal mengernyit geli.


Pun selanjutnya mereka tenggelam dalam drama picisan yang selalu mereka ciptakan. Hal yang wajar sehingga Prima-dan karyawan lainnya-memiliki pemikiran kalau kedua laki-lak itu penyuka sesama jenis. Terkadang Hitam yang bertingkah bahwa dirinya adalah perempuan yang manja dan tak jarang juga Rizal yang mengambil peran sebagai perempuan dalam hubungan drama menjijikkan yang mereka buat.


Sama sekali tidak memikirkan dimana tempat mereka bertingkah seperti itu, bahkan di depan umum. Yang mereka lakukan ketika mendapat tatapan jijik dari orang lain hanya tertawa kencang. Lagipula, pemikiran orang lain tidaklah penting.


"Nyokap nyuruh lo main ke rumah, anak-anak juga udah pada nanyain lo. Kangen katanya." Kaki Rizal kini sudah berpindah posisi ke atas meja kerja Hitam. Membuat sang empu meja mendelik tidak suka, namun tidak berbuat apa-apa untuk menegur laki-laki itu.


"Males ah, kalo ujung-ujungnya juga ditanyain kapan nikah. 'Kan Justin Bieber lelah ditanyain itu mulu." Jawabnya sambil memonyong-monyongkan bibirnya seperti ikan Koi.


Dengan tidak berperasaannya pun Rizal mengarahkan tapak sepatunya yang kebetulan sudah berada di atas meja ke muka Hitam. Membuat laki-laki itu refleks memukul kaki Rizal dengan tangannya. Bukan, bukan dengan laptop. Kasian, kasian laptopnya.


"Jijik anedh gue dengernya." Ceplos Rizal mengembalikan posisi kakinya ke semula. Terlipat indah di atas meja kerja Hitam. "Lagian lo kapan kawin? Inget umur udah tua, kemarin udah ada yang mau malah sok-sokan jual mahal. Mau jadi bujang lapuk lo?"


Kata-kata Rizal benar-benar setajam pisau buah. Meski sederhana tapi bisa melukai begitu dalam. Ah, hati Hitam teriris mendengarnya.


"Yah, mau gimana. Ntar kalo gue kawinin Matcha yang ada gue bakal di nasehatin panjang lebar sama Kak Seto. Secara Matcha kan masih di bawah umur, jadi babang bisa apa lagi selain menunggu?"






*nyengir lebaaaaaaaaaaaar*

13 April 2015

Matcha Black CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang