Hari ini hari senin. Dan akupun harus kembali sekolah. Seperti senin pada umumnya, hari ini diadakan upacara seperti biasa. Aku disarankan oleh ivana untuk tidak mengikuti upacara dan beristirahat saja di dalam kelas.
Dan lebih parahnya, akibat kakiku yang masih terasa sangat kaku (entah kenapa), papa menyuruhku untuk pergi kesekolah mengenakan kursi roda.
Awalnya aku menolak, tapi setelah terjadi adu mulut yang cukup panjang, akhirnya akupun menuruti perkataan papa untuk menyewa sebuah kursi roda milik seorang nenek di komplek rumah kami yang dahulu sempat lumpuh dan menggunakan kursi roda.
Aku datang kesekolah dengan keadaan utuh, tanpa kekurangan sesuatu apapun. Hanya saja hari ini ditambah dengan kursi roda.
Semua orang menatap aneh kearahku saat mama menyorong kursi rodaku memasuki sekolah. Setelah menemui guru dan meminta izin, mama menyerahkanku pada ivana.
Hari ini aku juga memutuskan untuk pergi menemui Romeo saat pelajaran olahraga setelah upacara. Aku tahu ini sulit, tapi aku tak boleh membiarkan segala tanda tanya ini semakin beranak cucu.
Bel berdering keras. Upacara telah selesai di laksanakan. Sebagian kawanku telah berlari memasuki kelas dan segera berganti pakaian.
"Jadi, Ly?" Pertanyaan Ivana membuyarkan pandanganku dari arah sandy dan rafael yang sejak tadi sedang memakai celana pendek dalaman mereka di dalam kelas tanpa rasa malu sambil berjoget di depan kelas.
Aku melihat Chris dan tian tertawa terbahak-bahak sambil melepaskan baju seragam mereka dan menggantinya dengan pakaian basket tepat di depan kelas.
"Ly?" Tepukan Ivana di pundakku sontak membuatku berhenti menatap Chris dan Tian.
Aku menatap ivana, dan mengangguk kearahnya.
***
Aku duduk di bawah pohon akadia di depan perpustakaan. Tatapanku terpaku pada Chris dan Tian yang sedang bermain basket tengah lapangan. Aku melihat tawa mereka yang seakan-akan sangat aku rindukan.
"Kamu udah lama?"
Sebuah wajah muncul dihadapanku.
Romeo.
Dia berlutut dihadapanku dan menatapku sambil tersenyum.
Entah datang keajaiban darimana, aku membalas senyumannya dengan bahagia. Aku seperti merasa disihir oleh Romeo.
Kugelengkan kepalaku pelan. Aku tetap tersenyum. Tersenyum bahagia.
"Kenapa pakai ini?"
Aku melihat kearah matanya yang jelas-jelas menanyakan kursi roda ini.
"Kaki gue masih agak kaku. Kayak beku gituu. Gak tau kenapa."
"Beku? Bagusdeh kalau masih kaki yang beku. Asal jangan hati. Hehe"
Aku tersipu. Entah kenapa setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu terasa merdu bagiku.
Kurasa cinta memang telah membutakan segalanya. Bahkan saat ini mataku tak melihat apapun, kecuali pria yang ada di hadapanku saat ini. Dengan senyuman yang sangat-sangat aku sukai.
Saat ini, menatap ya bagaikan sebuah candu bagiku. Seperti narkoba, kurasa lama-lama aku akan menggila karenanya.
"Kamu tadi mau ngobrolin apa,ly?" Pertanyaan Romeo mampu mengingatkan aku dalam sekejap.
"Gue mau nanya sama lo, masalah botol minum kemarin. Lo dapet itu dari mana?" Aku menatapnya dengan tatapan bertanya.
Kulihat dia mengambil posisi berdiri dan mulai duduk di kursi panjang taman yang ada di sebelah kananku. Mataku tetap mengikuti gerakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALONENESS
Подростковая литератураAku tak pernah merasakan apa arti CINTA. Yang aku tahu itu hanya sekumpulan bahagia sementara yang berakhir dengan sakit. Dia, orang yang ku perjuangkan. Tanpa kata. Tanpa banyak berucap. Aku hanya ingin dia. Walau aku tak pernah menatap matanya. Wa...