Thirty one : A regretted and study in life.

77 4 0
                                    


Acara terakhir dilakukan dengan peletakan setangkai mawar kedalam peti oma. Semua orang yang hadir memasukkan mawar beraneka warna ke dalam peti oma. Dan setelah itu peti ditutup.

Sungguh, aku melihat sosoknya ada disini. Tapi, aku seakan-akan tidak bisa merasa dia benar-benar ada. Aku merindukannya. Aku benar-benar menyesal.

Acara berdoa dan kata-kata dari beberapa orang perwakilan dilaksanakan sebelum oma dimakamkan.

Semua orang berkata benar-benar meraskan kehilangan. Kehilangan sosok baik yang selalu mereka dambakan di tempat ini. Orang yang penuh keceriaan dan penuh dengan kebaikan. Orang yang rela mengobati orang lain tanpa meminta imbalan. Orang yang rela memberi tanpa perduli dia kesulitan.

Oma benar-benar memberi efek kehilangan pada kami semua. Oma benar benar memberi banyak pelajaran dan kebaikan selama hidupnya. Membuat semuanya merasa kehilangan sosok malaikat yang di hadirkan Tuhan.

Kulihat peti oma mulai di angkat masuk ke dalam ambulance. Suara ambulance membuatku merasa takut. Dia membawa orang yang ku sayang, walau hanya dalam waktu beberapa hari aku menyadari bahwa aku menyayanginya.

"Ayo kak lol. Semuanya udah naik." Kurasakan tangan dingin adik sepupuku, yoga, menarikku kearah bus yang di sediakan.

Aku duduk diantara keluargaku yang lain. Aku duduk disebelah adikku yoga. Aku masih menggenggam tangannya erat. Tanda aku takut untuk sendiri. Dan aku membawa rangkaian bunga berwarna untuk omaku.

Tak perlu waktu lama untuk sampai di tempat yang kami tuju. Beberapa meter lagi kami harus berjalan karena tanah yang licin akibat hujan yang datang terus-menerus.

Sesampainya disana, sudah ku lihat semua orang telah berkumpul. Termasuk pendeta yang akan mambawakan acara terakhir ini.

"Karena semua yang berasal dari tanah, akan kembali ke tanah." Katanya sambil melemparkan tanah yang dia genggam kearah peti oma.

"Tuhan memberikan yang terbaik bagi umatnya. Hidup, cinta, dan meninggal sudah ia tentukan sejak kita akan datang ke dunia. Ikhlas kan dia pergi karena itu adalah janjinya kepada Tuhan. Janganlah membencinya tapi tetap sayangi dia walau dia tidak ada lagi di dekat kita." Khotbah pendeta itu membuatku sadar.

Semua hal yang datang harus pergi pada waktunya. Tuhan mematahkan hati seseorang karena, Tuhan ingin menyelamatkannya dari orang yang salah.

Seseorang memberikan hal terbaik yang tak pernah kita sadari sebelumnya. Kita menyadarinya setelah dia benar-benar tidak ada lagi. Dan tidak tampak lagi.

Dan aku juga baru sadar, jika penyesalan memang datang terlambat. Dan kepergian yang diiringi kebencian tidak akan membawa apapun. Selain maut.

Oma, terimakasih telah memberikan pelajaran yang berharga yang baru aku sadari saat ini. Oma membuatku sadar akan banyak hal.

Selamat jalan oma.

Aku menyayangi oma.

Setetes air mata pun kembali jatuh dengan sempurna.

***

"Lo kemana aja udah tiga hari izin? Sakit?" Tanya tian dengan nada khawatir. Dipegangnya jidatku dengan telapak tangannya.

"Gausah gila deh ian. Gue lagi gak mood. Gue capek." Kusingkirkan tangannya dari wajahku. Kubenamkan wajahku diantara tanganku.

"Yaudah gue gak bakal ganggu lo. Gue keluar dulu ya."

Sebenarnya aku malas harus bersekolah hari ini. Apalagi tadi aku di panggil ke BP karena huruf i besar yang berjejer seperti bebek di sebelah namaku. Mau tidak mau aku harus menjelaskan semuanya dengan air mata yang mau jatuh karena mengingat oma lagi.

"Lolyyyy!!!! Gue kangen sama loo!!! Lama banget gak ngelihat lo!!!" Teriakan sisi membuatku mengangkat kepala ku.

"Baru tiga hari juga si." Kataku pada sisi.

"Iyasih. Tapi ga perlu lemas gitu juga kali lol. Eh iya gue ngasih laporan ke pak sahat dulu ya. Bye!" Katanya sambil menepuk jidatnya.

Kulihat sisi mulai menjauh keluar kelas. Kulihat jam kelas ku. Sudah jam 08.00. Tapi kenapa belum bel? Aneh.

"Vi? Kenapa belum bel-bel ya?" Kuputuskan untuk menanyakannya pada via yang ada di sebrang bangkuku.

"Lagi rapat guru buat acara tengah semester lol. Jadi gak belajar deh." Kata via lagi.

Aku hanya menggangguk tanda mengerti.

Kubenamkan lagi wajahku. Kuputuskan untuk istirahat. Kepalaku masih pusing karena selama 3 hari kerjaanku hanya menanggis.

Brrrak

Kudengar suara pukulan meja yang keras. Tepatnya di sampingku. Aku yang kaget sontak melompat. Jantungku terasa mau copot.

"Chris?" Tanyaku heran melihat siapa orang yang kurang ajar tadi.

"Lo ngapain coba tidur di sekolah?" Tanyanya lagi.

"Ikut gue." Ditariknya pergelangan tanganku.

"Gue capek chris tolong ngertiin." Kataku dengan memelas.

"Ikut aja. Tolong dengarin gue. Sekali aja!"

Aku yang masih binggung mengikuti saja. Sampai akhirnya dia berhenti di lapangan basket.

"Main sama kita!" Katanya bersemangat.

Kulihat di sekitar lapangan basket ada keenam temanku dan tian.

"Kepala gue pusing." Kataku menolak.

"Ayolah. Daripada lo merasa bersalah terus." Kata ivana sambil menepuk pundakku.

Kuambil bola dan ku dribble. Ku shot kearah ring. Dan... Masuk!!!

"Tuh kan lo pasti bisa!" Kata march lagi.

Dan seketika itu juga pusingku seakan terangkat pergi.

Mulailah permainan basket kami. Kami tidak perduli tatapan aneh orang banyak melihat kami. Saat aku mau memasukkan bola ke arah ring kanan, tanpa sengaja aku melihat romeo yang sedang melihat ke arah kami.

Perasaanku terasa aneh. Tak sedikitpun kurasakan bahagia saat aku menatapnya. Hatiku terasa beku, dan kelu.

***

ALONENESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang