Eight : Make me yours

181 11 0
                                    

****

"Gue pikir lo bukan anak kecil lagi. Jadi, lo gak harus kan nanggis seperti ini disini." Bisik sebuah suara di telingaku.

****

Aku terperanjat dari tidurku. Suara tadi mampu membangunkanku dari tidurku. Aku menatap atap-atap kamarku dengan tatapan bingung. Kepalaku masih terasa sangat sakit. Badanku terasa sangat pegal.

Saat aku memegang jidatku, kurasakan panas di area kepalaku. Ku dengar derap langkah pelan dari luar kamarku. Dan suara pintupun terbuka.

"Kamu udah bangun ? Kamu udah tidur hampir 24 jam. Dan badan kamu panas sekali" ujar mama sambil duduk di pinggir tempat tidurku dan meletakkan nampan yang berisikan baskom diatas nakas, sebelah tempat tidurku.

"Ma, siapa yang nganter lolly pulang?" Suaraku tampak begitu parau. Suaraku seakan tercekat.

"Kalau mama gak salah sih, dia bilang namanya romeo. Dia pakai seragam yang sama dengan kamu. Dan dia bilang kalau dia nemuin kamu di taman dekat sekolah. Katanya Romeo kamu main hujan dan pingsan." Jelas mama panjang lebar.

"Yaudah kamu istirahat aja lagi. Gak perlu banyak gerak. Kalau ada apa-apa panggil aja. Mama ke bawah dulu ya." Kata mama sambil menempelkan kain yang telah mama peras sebelumnya.

Aku mengangguk paham. Dan setelah itu, kulihat mama berjalan keluar meninggalkanku seorang diri.

Aku kembali menatap langit-langit kamarku dengan tatapan kosong. Aku seperti tidak mengingat apapun saat kejadian kemarin. Yang terakhir kuingat hanyalah saat aku meruyuki diriku sendiri.

Tapi ada hal yang aneh. Saat aku tak sadarkan diri, aku seolah mendengar sebuah bisikan yang bahkan aku tidak tahu itu suara siapa. Suara yang mampu membangunkanku dari mimpi panjangku.

Apakah suara bisikan itu adalah, Romeo?

Kata mama, dialah orang yang mengantarkan aku pulang. Berarti hanya dialah yang berpeluang berbisik seperti itu.

Keadaan hubunganku dan Romeo memang sedikit membaik. Tapi, tetap saja hubungan ku antara Chris dan Tian sangat memburuk.

***

Sudah tiga hari aku dirawat di rumah. Dengan infus dan obat. Tanpa sekolah. Tanpa sahabat. Bahkan tanpa Romeo.

Sahabatku sudah datang kemarin. Mereka mencopy catatan dan beberapa tugas sehingga aku tak ketinggalan pelajaran. Namun tak ku lihat Tian dan Chris datang. Romeo? Akupun tak melihatnya. Bahkan aku lupa ingin bertanya tentang rasa penasaranku terhadap botol minumku kemarin dan dari mana dia tahu alamat rumahku.

Aku memang mengharapkan Romeo datang menjengukku. Aku hanya berfikir bahwa romeo yang mampu membuatku merasa lebih baik dari pada saat ini. Dia adalah obat yang sangat aku harapkan keberadannya saat ini. Obat yang akan mampu menghilangkan segala rindu yang menggerogoti.

Aku merindukannya. Dan ini sangat sakit.

Dan menusuk.

***

"Lo udah 5 hari gak sekolah Lollyyy!! Gak ada yang paok tau gak. Gue juga pulangnya jadi sendiriann muluuu."

"Gue juga gak mau terus-terusan begini, Van. Lagian nih ya, lo kan udah biasa pulang sendirian van."

"Untung aja rumah gue sama elu dekat. Bisa gue anter tugas tiap hari. Emang kapan di lepas infusnya?"

"Nanti malam udah lepas infus kok. Mungkin lusa udah sekolah."

"Yaudahhh. Lo cepat baik ya. Gue balik duluuu." 

"Makasih yaa Ivana."

Aku melambaikan tanganku saat kulihat dia berjalan meninggalkanku sendirian, lagi.

Selang beberapa menit sejak kepulangan ivana, kudengar langkah kaki mendekati kamarku. Seorang wanita dengan pakaikan perawat memasuki kamarku.

"Ini udah bisa di buka infusnya. Kondisi kamu juga semakin membaik. Kakak buka, ya?"

Aku tersenyum kearah perawat itu sambil menganggukan kepala. Setelah itu, kulihat dia mulai bekerja melepaskan infusku dan merapikan alat-alat kesehatan yang ada.

"Obatnya jangan lupa di makan ya?"

"Iya kak. Terimakasih." Kataku padanya dan di balas dengan senyuman.

Kulihat perawat itu segera berlalu pergi setelah semuanya selesai. Setelah meregangkan badanku yang terasa pegal, aku segera berjalan kearah jendela kamarku. Kakiku masih terasa sedikit kaku.

Beberapa kali aku mencoba untuk berdiri tegak, namun tetap saja kakiku sangat terasa kaku. Aku memutuskan duduk di balkon dan merasakan angin sore yang berhembus pelan saat ini.

"Infus lo udah di buka?" Sebuah suara membuatku membuka mataku dan melihat ke sebelahku.

"Udah kak. Bebas banget." Kataku sambil mengalihkan lagi pandanganku kedepan.

"Eh, kemarin teman lo christoffer dateng loh. Tapi dia gak mau masuk. Dia cuma nyampein cepat sembuh sama ngasih iniii." Kata kak elvi sambil menyodorkan rangkaian bunga lily kehadapanku.

Aku mengambil setangkai bunga itu dan menatapnya.

"Yaudah gue turun dulu ya" kata kak elvi dan langsung meninggalkanku sendiri yang masih terpaku diam.

Chris?

Dia, datang?

Ku hirup dalam-dalam aroma bunga lily yang di beri chris.

Chris adalah satu-satunya pria yang mengetahui bunga kesukaanku. Bahkan papaku saja tidak tahu apa bunga favoriteku. Saat dulu, chris pernah memberikan ku bunga saat aku menangis karena kepergian kakekku. Dia memberikanku bunga kembang sepatu yang dahulu merupakan mainan kesukaan kami.

Kata Chris, bunga itu sepertiku. Manis, namun kecil.

Aku tersenyum samar.

Dia satu satunya pria terbrengsek dalam sejarah hidupku.

Aku ingat saat dia mengenalkankanki pada tian. Saat itu minggu kedua masa SMA, dia bilang padaku..,

"Ini teman baru gue Ly. Namanya Tian. Jangan suka sama dia ya, dia sama kayak gue, brengsek."

Saat itu aku hanya tercengang. Entah kenapa saat pulang tiba, saat kami diatas motor saat itu, dia kembali berkata, "Tian baik, Ly. Tapi gak sebaik gue. Kalau ganteng ya pasti gue. Gue gak mau sombong.

Kalau soal jago ya gue jago, tapi gue bukan ayam jago. Kalau tian, dia Maho. Kalau suatu saat lo di goda dia, bilang ke dia kalau dia belum gede buat deketin lo. Cari cowo itu kek gue Ly."

Saat itu, saat aku memegang ujung jaketnya, aku hanya berteriak menanyakan 'kenapa' dari belakangnya.

Dia lalu tertawa dan berkata, "karena gue gak seperti Tian. Gue tau kentut lo bau."

Aku memukulnya setelah itu. Dan tawa kami mampu memecah jalanan siang itu.

,

Kututup mulutku agar suara tanggis ku tak terdengar.

Aku mengenal Chris jauh sebelum aku mencintai Romeo. Aku mencintai Romeo sejak masa Mos, tapi aku mengenal Chris sejak aku tahu namanya membaca.

Aku membencinya yang selalu meninggalkanku demi mengantarkan orang lain. Aku membencinya yang selalu membuatku menunggu sate saat sepulang sekolah, karena pasti dia akan menyuruh tukang sate untuk tidak lewat dihadapanku.

Pria brengsek itu mampu membuatku merasa nyaman walaupun kadang dia mampu mengecewakan.

Aku memang mencintai romeo. Sangat mencintainya. Tapi, aku juga merindukan chris dan Tian. Mereka orang yang mengerti aku. Aku binggung harus melakukan apa.

Aku binggung mengapa cinta bisa segila ini. Cinta mampu menghalalkan  segala cara untuk bisa dekat, bahkan bersama. Cinta juga membuat candu untuk terus menatapnya, untuk terus mancarinya, dan bahkan menuntut hal lebih. Dan ini sungguhlah gila.

Cinta itu selayaknya hujan yang terus jatuh, walau sebenarnya dia tahu jatuh itu selalu, sakit.

ALONENESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang