3. Tekanan

15.5K 1.1K 43
                                    

Gamang. Begitulah kata yang tepat untuk mendeskripsikan gaya berjalan Aalea saat ini. Di bawah lindungan langit teduh, ia terus menyusuri jalan sunyi komplek tempatnya tinggal. Angin sepoi-sepoi meniup tubuh lunglai Aalea. Seolah membuat langkah gadis itu makin lambat.

Ia lelah. Ingin pulang dan segera tidur. Namun dalam waktu yang bersamaan, ia tak ingin cepat sampai di rumah. Aalea terus berjalan. Kurang lebih hampir satu kilometer jarak yang telah Aalea tempuh dari halte bus sampai ke titik ini. Aalea sudah terbiasa. Ia bahkan hafal seluk beluk jalan ini karena melewatinya setiap hari. Mulai dari jumlah pohon yang ditanam di pinggir jalan sampai warna cat rumah orang. Aalea memang kadang iseng melakukan hal-hal tidak berguna seperti itu.

Rumah Aalea sudah dekat. Catnya yang putih kekuning-kuninganㅡkarena pudarㅡsudah dapat dilihat dengan jelas. Aalea makin enggan mempercepat langkah kakinya. Terselip perasaan berdebar dalam hatinya.

Aalea berhenti sejenak. Berusaha menetralkan detak jantungnya. Sedetik kemudian ia menghembuskan napasnya berat. Kakinya pun kembali melangkah.

Aalea sampai di hadapan pintu rumahnya. Ia melepas sepatu hitam dan kaos kaki putihnya. Kemudian ia menjinjing seperangkat alas kaki itu.

Klek!
Dengan hati-hati ia memutar daun pintu. Dengan hati-hati pula ia mendorong pintu itu. Namun sialnya ...

Kriettt.
Pintu tua itu berderit. Mungkin minta diberi pelumas. Atau mungkin juga minta diganti.

Aalea meletakkan sepatunya di rak lalu berjalan mengendap-endap. Telapak kakinya menjinjit agar sebisa mungkin tak menimbulkan suara. Gadis itu sudah mirip pencuri amatir saat ini. Aalea sudah hampir masuk ke dalam kamarnya. Kalau saja sebuah suara tak menghentikan langkahnya.

"Kenapa kamu jalan ngendap-ngendap gitu, Aal?"

Aalea menggerutu dalam hatinya. Ia kemudian berbalik dan mengukir sebuah senyuman paksa semanis mungkin. Tiga meter di hadapan Aalea, seorang wanita berumur hampir 40 tahun berdiri dengan serbet kumal yang bertengger di bahunnya. Bau badannya mirip tahu goreng. Pertanda bahwa ia baru saja selesai memasak.

"E-eng-enggak kok, Bu. Aalea cuma peregangan kaki aja biar nggak capek." tentu saja itu hanya alasan Aalea. Ada sesuatu yang Aalea hindari.

"Oh gitu, ya? Hari ini hasil ulangan harian kamu keluar, kan? Gimana hasilnya?"

Jeng! Jeng!
Inilah sesuatu yang Aalea hindari. Gadis itu tak ingin mendengar maupun menjawab pertanyaan yang terlontar dari ibu kandungnya itu. Aalea tak mau. Makanya ia menghindari. Tapi sekarang pertanyaan itu tak lagi bisa dihindari. Mau tidak mau Aalea harus menjawabnya.

"B-bagus k-kok, Bu. Di atas KKM semua," tutur Aalea.

Tidak. Bukan jawaban itu yang ibu mau. Ada jawaban lain yang ingin ia dengar dan Aalea tau jawaban macam apa itu.

"Bukan itu. Ibu nggak pengen denger nilai kamu. Ibu pengen denger peringkat kamu," kata ibu.

Aalea menelan ludahnya susah payah. Alat geraknya sudah mulai bergetar ketakutan.

"A-Aalea p-peringkat 2 paralel," ucap Aalea.

"Apa? Peringkat 2 lagi? Kamu nggak belajar, ya?! Tiap ulangan peringkat 2 terus! Makin gede bukannya makin pinter!" seru ibu.

Ya. Beginilah ibu dari Aaleasha Cleonna. Terobsesi dengan prestasi anaknya dan tipe pemaksa. Ibu Aalea tak akan pernah puas jika gadis itu belum menjadi yang pertama.

Bukan sekali dua kali Aalea kena marah. Sudah berkali-kali dan rasanya Aalea lelah. Inilah sebabnya ia tak ingin cepat sampai rumah hari ini.

"Terus yang peringkat satu siapa? Temen kamu si Tuna-Tuna itu?" tanyanya.

"Arjuna, Bu. Namanya Arjuna bukan Tuna. Dan lagi, dia bukan temenku," bantah Aalea.

Aku pernah bilang kan kalau Aalea membenci Arjuna dengan alasan?

"Terserah mau namanya Tuna kek, Arjuna kek. Ibu gak peduli. Lagian kamu gak pernah bisa ngalahin dia. Apa, sih, susahnya jadi peringkat satu? Males aja kamu! Contoh Si Arjuna itu! Pasti dia rajin belajar! Nggak kayak kamu! Kita ini miskin, Aalea! Kalau kamu gak pinter, kamu gak bakal dapet beasiswa dan kamu gak bisa lanjut kuliah. Kamu mau?!" ujar ibu.

Inilah salah satu alasan Aalea membenci Arjuna. Aalea menunduk. Gadis itu tak suka dibanding-bandingkan. Siapa juga, sih, yang suka dibandingkan? Tak ada, bukan?

Aalea memang bukanlah seseorang dengan kemampuan otak jenius. Ia hanyalah seorang gadis ber-IQ 120 yang berhasil menjadi peringkat 2 paralel di SMA Nusantara sejak semester pertama dengan modal rajin. Aalea juga tidak mengikuti kursus. Ekonomi keluarganya menengah ke bawah. Untuk makan saja kadang masih bingung, apalagi untuk membayar biaya kursus?

Aalea belajar setiap malamnya. Bahkan jika besok adalah hari minggu. Ia tak pernah keluar untuk sekedar jalan-jalan melepas penat bersama teman-temannya. Aalea ingin hang out. Tapi ia tak pernah bisa. Alasannya? Ijin dari orang tua. Ia tak pernah memperoleh ijin dari orang tuanya. Aalea diijinkan keluar rumah saat sekolah dan ada tugas kelompok. Itupun biasanya Aalea diberi waktu yang terbatas dan jika ia pulang terlambat, ia akan diomeli.

"Masuk sana ke kamarmu! Belajar yang bener!" seru sang ibu.

Aalea masuk ke dalam kamarnya. Ia ingin menangis tapi air matanya sudah mengering tak lagi bisa menangis.

"Seandainya lo nggak ada, Arjuna," gumamnya.

...

"Aal, mau kemana?" tanya Jaslyn.

"Mau ke perpustakaan. Hari ini gue gak ikut pelajaran," jawab Aalea.

Jaslyn menaikkan alis kirinya. Seakan minta penjelasan selengkap-lengkapnya dari Aalea.

"Gue tes terakhir buat olimpiade minggu depan," sambung Aalea.

Jaslyn ber-'oh' ria sembari mengangguk-angguk. Aalea menggendong tas ransel birunya. Ia kemudian melambaikan tangan pada Jaslyn. Aalea sebisa mungkin mempertahankan senyuman cerianya. Setidaknya sampai Jaslyn tak lagi bisa melihatnya.

Aalea masih galau. Omelan ibunya masih berbekas di telinga sampai detik ini. Walau begitu, Aalea tak ingin Jaslyn tau bahwa ia punya masalah dengan keluarganya. Sampai sekarang, Aalea tak pernah sekalipun menceritakan pada Jaslyn tentang ibunya yang menuntutnya untuk mengalahkan Arjuna. Aalea tak sekalipun bercerita. Ia tak bisa terbuka pada Jaslyn. Itu sebabnya menurut Aalea, hubungannya dan Jaslyn belum sampai ke tahap persahabatan.

Aalea tak pernah mau terbuka. Satu-satunya orang yang tau curahan hati Aalea hanyalah ayahnya. Tadi pagi, saat sang ayah mengantarnya pergi sekolah, Aalea bertanya 'kenapa, sih, ibu selalu nuntut Aalea kayak gitu, Yah?'. Dan kau tau apa jawabannya? Sang ayah hanya bisa menjawab 'kayak gak kenal ibumu aja'.

Dilihat dari sisi manapun, Aalea tetap tak mengerti mengapa ibunya begitu terobsesi terhadap peringkat yang ia capai. Ya, Aalea tau. Mereka memang miskin. Tapi tak seharusnya sang ibu bertindak seperti itu.

Gadis yang selalu dikuncir kuda itu sampai di depan perpustakaan. Tanpa basa-basi lagi, gadis itu masuk. Disambut oleh guru pembimbing fisikanyaㅡPak Danu. Pak Danu yang terkenal killer itu kini tersenyum menatap Aalea. Sebenarnya Pak Danu tidak seseram yang murid lain kira. Sudah sekitar delapan bulan Aalea dibimbing Pak Danu hingga gadis itu pun bisa menilai. Pak Danu itu baik dan kadang suka melucu. Walau garing mirip kerupuk kulit.

Pak Danu berjalan diikuti Aalea. Mereka menyusuri lorong demi lorong perpustakaan. Menuju tempat dengan deretan kursi dan meja. Tempat ini adalah tempat untuk membaca. Di sinilah biasanya Aalea belajar fisika untuk olimpiade.

"Hari ini kamu nggak tes sendirian. Ada anak olimpiade dari cabang lain yang ikut tes bareng kamu," kata Pak Danu.

Aalea mengangguk. Sebelum ia melihat siapa manusia yang dimaksud oleh Pak Danu.

Pemuda tinggi berkulit putih sedang duduk di sana. Menyendiri sambil terus membaca buku Kimianya. Ia terlihat tenang dan fokus. Namun, setelah mengetahui keberadaan Aalea dan Pak Danu ia pun memamerkan senyum terbaiknya.

Aalea mengerutkan keningnya. Mood-nya yang sudah buruk, sekarang malah makin memburuk.

Arjuna? Sial.

Teenfictale #1: Prince Charming Next RoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang