10. Omong Kosong

12K 901 14
                                    

Cekrik!
Kentang introvert kitaㅡAaleaㅡsedang tersenyum canggung di hadapan sebuah kamera. Dengan kalungan medali perunggu di lehernya dan sertifikat di tangan kanannya.

Aalea harus menelan kekecewaan pagi ini. Ia hanya mendapat juara tiga tingkat provinsi. Yang artinya, ia tak bisa meneruskan langkahnya ke olimpiade nasional. Berulang kali Pak Danuㅡguru fisika sekaligus pembimbing Aaleaㅡmenghibur gadis itu dan meyakinkannya bahwa dirinya sudah melakukan yang terbaik. Jadi ia tak seharusnya kecewa ataupun berkecil hati.

"Kerja bagus. Nggak usah kecil hati. Tahun depan bisa ikut lagi, kok," kata Pak Danu.

Aalea hanya lega mendengar perkataan Pak Danu. Setidaknya, ia tidak disalahkan karena tak bisa melaju ke tingkat nasional. Aalea mencium tangan sang guru dan bergegas kembali ke kelasnya.

Aalea melangkahkan kakinya dengan percaya diri. Ia senang. Karena dari puluhan orang terdekat Aalea, Pak Danu merupakan satu-satunya orang yang tak membandingkannya dengan Arjuna selain ayahnya. Aalea senang ada orang seperti itu.

Gadis berseragam putih abu-abu itu meraba saku roknya. Ia mendengus sebal saat menyadari bahwa ia meninggalkan sesuatu di ruang guru. Aalea segera melangkah kembali. Ia harus mengambil apa yang tak sengaja ia tinggalkan.

Drap. Drap. Drap.
Aalea mempercepat langkahnya saat mengetahui bahwa jam pelajaran pertama akan dimulai tepat lima menit lagi. Akhirnya ... si kentang introvert sampai juga di depan ruang guru.

"Hahaha. Dia emang nggak sepinter Arjuna. Seandainya Arjuna yang mewakili cabang fisika sekolah kita, sudah pasti menang dan maju ke tingkat nasional. Aalea memang tidak ada apa-apanya dibanding Arjuna. IQ-nya saja berbeda jauh."

Suara itu membuat Aalea tercengang. Aalea memang hanya mendengar samar-samar di balik pintu. Tapi ... ia tau jelas siapa yang sedang berbicara itu. Aalea hafal benar suara siapa itu. Suara itu ... milik Pak Danu. Guru fisika yang sangat ia hormati selama ini. Seseorang yang tidak membandingkan dirinya dengan Arjuna selain ayahnya.

Dada Aalea mendadak sesak. Penilaiannya salah. Pak Danu sama saja seperti ibunya dan guru-guru lainㅡselalu membandingkan dirinya dengan Arjuna. Dan yang lebih sakitnya, Pak Danu membandingkan Aalea dari belakang.

Aalea mengurungkan niatnya. Ia memilih berjalan ke kelas menahan sesak dalam dada.

Sekali lagi, gue dibandingin sama yang namanya Arjuna.

...

Pandangannya yang kosong lurus ke depan. Walau ia sudah sekitar sepuluh menit diam di sana sambil membuka buku, tak sekalipun matanya menyentuh huruf-huruf yang tercetak rapi dalam tiap halaman buku itu. Ia terlalu gundah. Bahkan buku yang sedang ia pegang, posisinya terbalik. Ia tak menyadari. Atau barangkali memang tidak mau menyadari.

Berbanding terbalik dengan pandangannya, otaknya membentuk sebuah kordinasi yang rumit. Ia masih terus mencari-cari alasan mengapa ia selalu ada di nomor dua setelah Arjuna. Mengapa Arjuna selalu jadi yang terbaik dan dirinya tak bisa. Dan ... mengapa orang-orang di sekitarnya selalu saja membandingkannya dengan Arjuna. Ia ingin menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu pada semua makhluk yang ada di dunia ini. Bahkan pada hewan serta tumbuhan yang tak bisa berbicara. Hingga akhirnya sebuah suara menyadarkannya.

"Aalea, selamat ya."

Seperti orang yang baru mendapatkan kembali nyawanya, Aalea bingung beberapa saat. Tapi tak lama kemudian ia tau siapa yang berbicara padanya.

Arjuna.

Sosok yang seharusnya tak pernah ada di dunia iniㅡmenurut Aalea.

"Selamat karena udah menangin posisi ketiga di olimpiade provinsi. Walau nggak bisa maju ke tingkat nasional, nggak papa. Karena lo udah berjuang keras. Sekali lagi, selamat," katanya.

Omong kosong. Hanya itu yang terlintas di pikiran Aalea. Ia sama sekali tak berminat untuk sekedar merespon perkataan Arjuna dengan 'terima kasih'.

Arjuna menyodorkan sebuah kunci loker berwarna hijau dengan tulisan 'Aalea, XI MIA 2'. Ya, kunci loker. Barang yang Aalea tinggalkan di ruang guru namun tak jadi ia ambil. Sekarang barang itu ada di hadapannya.

"Ini tadi ketinggalan di ruang guru. Pak Danu nyuruh gue nganterin ini ke lo," jelas Arjuna.

Aalea mengambil kunci lokernya yang ada di tangan kanan Arjuna. Mau tak mau ia harus mengucapkan kata-kata ini, "Terima kasih."

Sudah seharusnya Aalea berucap seperti itu, tanpa kunci ini Aalea tak akan bisa membuka lokernya. Loker Aalea sama seperti loker milik murid SMA Nusantara yang lain. Di belakang kelas bercampur dengan teman-teman sekelasnya.

"Payung lo masih sama gue. Ada di loker," ucap Aalea dingin.

"Ah nggak perlu. Buat lo aja," sahut Arjuna.

Aalea menggeleng. Ia tak mau menerima barang dari seseorang yang membuat hidupnya selalu saja dibandingkan. Ia tak mau.

"Nggak. Gue nggak suka hutang budi. Nanti gue balikin," singkat Aalea lalu melangkahkan kakinya keluar dari ruang perpustakaan.

"Nggak papa kata dia? Nggak papa gue gak bisa maju ke tingkat nasional? Bullshit. Dia ngomong gitu karena nggak tau rasanya dibanding-bandingin." Aalea bermonolog ria.

...

Brak!
Jaslyn terlonjak. Teman dekatnyaㅡAaleaㅡmenghempaskan pintu loker sedemikian kencang. Jaslyn tak tau mengapa Aalea bertindak aneh hari ini. Ya walaupun memang Aalea sudah aneh sejak dulu. Tapi hari ini Aalea lebih aneh. Gadis itu bahkan sama sekali tak berbicara pada Jaslyn. Jaslyn terus berpikir apakah ia punya salah pada Aalea atau tidak. Hanya saja, walau dipikir ribuan kali pun, Jaslyn tetap merasa tak memiliki salah.

Aalea menatap sejenak payung transparan yang ia ambil dari lokernya beberapa detik lalu. Aalea harus segera mengembalikannya.

"Gue pulang dulu, Jas," pamit Aalea tanpa ekspresi.

Jaslyn menghela napas lega. Ia lega karena Aalea tak sedang marah padanya. Meski ia masih penasaran mengapa Aalea jadi aneh seperti itu.

Aalea melangkahkan kakinya keluar kelas. Meninggalkan Jaslyn yang masih sibuk dengan lokernya di belakang kelas. Raut wajah Aalea begitu dingin. Bukan hanya wajahnya, langkahnya bahkan terasa dingin. Gadis itu masuk ke kelas XI MIA 1 yang tepat berada di sebelah kelasnya.

Ia tak menemukan sosok Arjuna di ruangan itu. Tapi tetap, tekadnya untuk mengembalikan payung itu tidak berubah.

Aalea melangkah ke bagian loker. Matanya mencari-cari loker dengan label 'Arjuna D. Cakrawala' dan ... gadis itu menemukannya. Tanpa pikir panjang lagi, Aalea menyangkutkan tali yang ada di payung itu ke pegangan loker milik Arjuna. Memang begini yang Aalea harapkan, ia berharap mengembalikan payung secara tidak langsung pada Arjuna. Dengan begini, ia tak perlu susah-susah berterima kasih.

Gue udah balikin payung lo, Arjuna. Setelah ini gue nggak mau punya urusan sama lo lagi. Hidup gue udah terlalu ruwet gara-gara lo. Seandainya lo nggak ada, gue gak mungkin dibanding-bandingin. Nggak usah sok baik sama gue lagi, karena gue benci lo. Dan gue bakal berusaha lebih keras, biar bisa lepas dari yang namanya 'dibandingin' sama lo.

...

Angin sepoi-sepoi, langit memerah karena senja yang mulai turun dari tahtanya, dan suhu bersahabat. Sore yang tepat untuk memulai awal baru bagi Aalea. Gadis itu membuka buku tulisnya dan mulai mengerjakan tugas dari guru matematika dua hari yang lalu. Aalea berjanji pada dirinya sendiri, mulai detik ini ia akan berusaha lebih keras agar tak ada lagi yang bisa membanding-bandingkannya dengan Arjuna.

Wangi teh yang disuguhkan ibunya membuatnya berpikir bahwa belajar di meja makan tak begitu buruk baginya. Ia bisa sekalian makan atau minum. Kegiatan yang tak bisa ia lakukan jika di dalam kamar. Ibunya memang membuat larangan keras perihal membawa makanan ke kamar. Katanya sih, "Nanti banyak semut kalau dibawa masuk kamar."

Aalea mengerutkan dahinya. Ada soal yang tak ia mengerti. Gadis itu memutuskan untuk membuka buku paket matematikanya.

Wossshhh.
Saking fokusnya, Aalea bahkan tak menyadari bahwa angin meniup selembar kertas dari dalam buku matematikanya. Kertas itu berterbangan mengikuti alur yang dibuat oleh angin. Dan ... kertas itu sampai di bawah kaki sang ibu.

"Aalea! Kamu dapet nilai C?!" seru ibu.

Teenfictale #1: Prince Charming Next RoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang