Cit. Cit. Hebat. Mungkin Aalea kini sudah benar-benar punya skill untuk menjadi pembantu profesional. Bahkan cermin yang ia lap berdecit saking bersihnya.
Aalea tersenyum puas tatkala melihat kaca yang ia lap bersih bersinar. Sekarang matanya teralih pada beberapa bingkai yang ada di meja milik Arjuna ini. Bingkai-bingkai itu tak asing bagi Aalea. Sudah beberapa kali Aalea membersihkan kamar Arjuna ini. Mulai dari bingkai yang memajang foto Arjuna-Kandhira sampai foto kelulusan SMP Arjuna. Aalea sudah pernah melihat semuanya. Kecuali ... satu bingkai yang ada di tengah-tengah. Aalea belum pernah melihat sebelumnya.
Foto yang ada di dalam bingkai itu menggambarkan seorang perempuan ambang usia dua puluhan sedang tersenyum. Rambut panjangnya digerai. Wajahnya cantik. Sangat cantik. Bisa dikatakan mirip Arjuna.
"Kenapa? Cantik, ya?" Arjuna yang sedang mengemasi barang-barangnya ke dalam tas bertanya pada Aalea yang terus memperhatikan foto itu.
"Iya."
"Itu bunda gue. Wajar kalau cantik," kata Arjuna sedikit menyombong.
Aalea mengangguk. Sekarang ia tau Arjuna memperoleh kerupawanannya dari siapa.
"Kok bunda atau papa lo nggak pernah ada di rumah? Mereka ke luar negeri terus, ya?" tanya Aalea.
"Kok lo bisa ranking dua paralel, sih? Logika, di rumah ini cuma ada dua kamar. Kamar gue sama kamar tamu yang sekarang lo tempatin. Itu artinya, gue nggak tinggal sama orang tua gue."
Aalea membuka matanya lebar. Kagum.
"Wah! Enak banget! Pasti bebas mau pulang jam berapa aja. Bebas mau belajar atau enggak. Gue iri sama lo," desis Aalea.
Arjuna menutup zipper tas ranselnya. Ia sudah siap dengan seragam putih abunya. Berbeda dengan Aalea yang masih memakai baju rumahan. Gadis itu bahkan belum mandi.
"Cepet mandi. Gue tunggu di bawah," titah Arjuna.
...
Sisir hijau itu menyisir lembut poni Aalea ke arah samping. Selembut sentuhan angin yang turut membelai rambut gadis itu. Ia menatap pantulannya di cermin. Menelisik jauh ke dalam diri. Kini ia membayangkan Arjuna.
Betapa sempurnanya pemuda itu. Mulai dari rupa, otak, harta sampai kebebasan. Sungguh seratus delapan puluh derajat berbeda dari dirinya. Ia merasa Tuhan amat tak adil. Tuhan memberikan segala kebahagiaan pada Arjuna. Dan memberikan segala jenis tekanan pada Aalea. Jika memang bisa, Aalea ingin protes sekarang juga.
Lamunan Aalea hancur lebur kala matanya tak sengaja melirik jam dinding warna merah yang ada di kamar ini. Setengah tujuh. Sudah waktunya Aalea berangkat. Jika tidak, mungkin ia akan terlambat.
Dengan sigap gadis itu menyambar tas ranselnya. Menggendongnya di atas punggungnya yang mungil dengan tenaga seadanya. Untuk pertama kali seumur hidupnya ... Aalea merasa lapar di pagi hari. Mungkin karena tenaganya sudah terkuras untuk bekerja membersihkan rumah Arjuna yang luas ini.
Tepat saat kaki Aalea menginjak anak tangga paling bawah, ia melihat roti serta selai cokelat di atas meja makan. Tidak. Aalea harus menahan nafsu makannya. Ia akan ketinggalan bus jika harus duduk dan sarapan terlebih dahulu.
Aalea berjalan lurus ke depan. Menahan rasa laparnya yang janji akan ia tuntaskan nanti pada jam istirahat.
Arjuna duduk santai di atas mobilnya. Lengkap dengan seragam sekolah yang membuatnya makin berwibawa. Tak biasanya. Hari-hari sebelumnya, di jam begini ... Arjuna masih menghabiskan sarapannya. Tapi kali ini tidak.
"Aal, masuk mobil!" perintah Arjuna dengan nadanya yang selalu lembut.
Aalea menggeleng lalu berujar, "Enggak. Gue nggak mau ke sekolah bareng lo. Kan kita nggak saling kenal di sekolah!"
Arjuna melipat kedua tangannya di dada. Memberi kode mata agar Aalea masuk ke mobilnya. Tapi Aalea tetapi bersikeras dengan argumen yang ia punya.
"Masuk!"
"Enggak! Sampai kapanpun gue nggak bakal ke sekolah bareng sama lo!"
Greb. Arjuna menggenggam pergelangan tangan Aalea. Gadis itu membulatkan matanya. Ngapain, sih, nih anak? Maksa banget!
"Udah gue bilang, gue gak mau ke sekolah bareng lo!" seru Aalea sebal.
Arjuna berdecak. Untuk pertama kalinya Aalea melihat Arjuna melakukan hal itu.
"Siapa juga yang mau ngajak lo ke sekolah?"
Aalea menampilkan pandangan seakan minta penjelasan.
"Katanya lo mau ngajarin gue buat ngelupain Kandhira. Lo harus mulai dari sekarang. Kalau enggak, kapan lagi?"
Arjuna menarik Aalea dan memaksa gadis itu masuk ke dalam mobilnya. Ralat, menggiring tanpa pemaksaan. Karena sejatinya Aalea terlalu bingung mencerna kata-kata Arjuna sampai lupa caranya memberontak dan hanya bisa pasrah.
Arjuna mengendarai tunggangan mewahnyaㅡmobil sport dengan atap terbuka. Aalea mulai panik. Ia tak tau akan di bawa kemana.
"Kita mau kemana?!"
"Yang jelas bukan ke sekolah."
Aalea menutup mulutnya. Pikirannya mulai melambung kesana kemari. Membayangkan adegan drama yang ia tonton satu bulan lalu. Adegan dimana sang tokoh utama perempuan dibawa ke kamar hotel dan berakhir di ranjang. Kau tau maksudnya, kan?
"Pasti lo lagi mikir yang enggak-enggak, kan? Tenang. Gue nggak bakal bawa lo ke tempat aneh. Dasar mesum," desis Arjuna seolah bisa membaca pikiran Aalea.
"Terus kita bolos gitu?" tanya Aalea. Gadis yang selalu memburu peringkat dalam hal akademik itu tentu saja tak mau kehilangan satu hari pun untuk belajarㅡkecuali dalam keadaan terpaksa seperti satu minggu lalu. Bisa-bisa ia ketinggalan pelajaran.
"Lo belum jadi anak SMA kalau belum pernah ngerasain yang namanya bolos sekolah." Arjuna tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teenfictale #1: Prince Charming Next Room
Novela JuvenilArjuna adalah pangeran sekolah yang dicap serba sempurna. Tampan, kaya, cerdas, dan bebas. Empat komposisi untuk kehidupan bahagia. Berbanding terbalik dengan Aalea. Gadis sederhana yang hidupnya penuh tekanan gara-gara Arjuna. Karena Arjuna, Aalea...