24. Beda

10.9K 860 25
                                    

Sinar bulan rasanya kalah terang jika dibandingkan sinar lampu kamar Arjuna. Lampu 26 watt itu menemani Arjuna yang sedang tertidur dan juga gadis bernama Aalea yang sedang terduduk menahan kantuknya.

Dua puluh menit lalu Arjuna terjaga dan berteriak keras. Saat Aalea memeriksa keadaannya, pemuda itu sedang meringkuk ketakutan dengan badan bergetar. Ia berlindung di balik selimut dan memeluk lututnya sendiri. Tingkahnya persis seperti anak kecil umur tujuh tahunan.

Namun kini pemuda itu telah kembali terlelap. Tepat setelah ia meminta Aalea untuk tetap di sampingnya malam ini, ia langsung menutup matanya dan bergegas ke alam mimpi.

Aalea bingung apa yang sebenarnya terjadi pada Arjuna. Hanya satu yang ia tau persis, yaitu Arjuna melarangnya mematikan lampu. Dan dari perintah Arjuna itu, Aalea bisa menarik kesimpulan. Ya, Arjuna takut gelap.

...

Srek. Srek.
Gadis yang rambutnya dikuncir sembarang itu menggerak-gerakkan sapunya dengan malas. Matanya berat dan kepalanya pening. Semalaman ia tak bisa tidur. Bukannya tak mencoba untuk tidur, tapi memang benar-benar tak bisa.

Yang bisa ia lakukan semalam hanyalah menggeletakkan kepalanya di ranjang sembari badannya terus duduk di atas sebuah kursi. Pikiran tentang Arjuna terus mengganggunya semalaman. Pemuda yang ia jaga itu membuatnya penasaran. Kok bisa pangeran sekolah kayak Arjuna takut gelap? Berulang kali pertanyaan itu mampir di kepalanya. Pertanyaan yang tak bisa Aalea jawab walau ia coba menerka. Pertanyaan itu memang hanya bisa dijawab oleh Arjuna sendiri. Namun bagi Aalea semuanya sudah cukup. Ia bertekad mengubur rasa penasarannya dalam-dalam. Menurutnya, tau bahwa Arjuna takut gelap saja sudah cukup untuk saat ini.

Sekilas Aalea menatap Arjuna yang masih tertidur di ranjangnya. Sekian detik kemudian ia mengambil lap yang bertengger di bahu kanannya lalu mulai membersihkan kaca serta bingkai-bingkai foto.

Tangan Aalea terhenti di sebuah foto seorang wanita cantik berparas keibuan. Bunda Arjuna.

"Aal? Sorry ngerepotin lo semalem."

Suara itu membuat Aalea cepat-cepat meletakkan kembali foto yang sedari tadi ia amati.

"Udah bangun lo?" tanya Aalea memastikan.

Arjuna tertawa canggung. Ia kemudian berkata, "Lo pasti bingung kenapa gue teriak semalem. Gue ... sebenernya takut gelap."

Kata-kata Arjuna terdengar lirih. Saking lirihnya, bahkan angin hampir tak punya kesempatan untuk mendengar.

Aalea hanya melemparkan pandangan 'iya gue tau'. Sejujurnya Arjuna malu, sejauh ini ... tak ada yang tau fakta bahwa dirinya takut dengan sebuah situasi bernama 'gelap'. Garis bawahi, tak ada. Kandhira sekali pun.

"Rahasia, ya, Aal? Jangan sampai orang lain tau. Gue bisa malu. Cuma lo yang tau kalau gue takut gelap," desis Arjuna.

Aalea mengangguk. Seakan berjanji pada Arjuna untuk menjaga rahasianya rapat-rapat.

Ada yang berdesir di dada Aalea. Terlebih ketika Arjuna berkata 'cuma lo yang tau'. Aalea tak tau persis perasaan macam apa ini. Sepertinya ... ia merasa ... istimewa? Hanya karena mengetahui satu rahasia Arjuna? Entahlah. Yang jelas, Aalea suka merasa seperti ini.

...

Brak!
Bola basket itu terhempas keras membentur tiang ring. Si pelempar memasang wajah frustasi. Amarah tertanam di hatinya. Tergambar jelas di bola mata hitamnya itu.

Beberapa murid yang lewat memandangnya dengan sebuah tatapan yang sulit diartikan. Dan ... seorang Ferhandito Ilgy Syailendra tak suka ditatap seperti itu. Rasanya seperti seisi dunia sedang merendahkannya sekarang. Tatapan murid-murid cupu yang dulu ia bully terngiang kembali di pikirannya. Tatapan yang diam-diam mengintimidasi. Membawa Ilgy ke jurang paling dalam yang pernah ada.

Semalam ia melewati sebuah pertandingan besar bersama tim basketnya mewakili SMA Nusantara. Mungkin karena kurang beruntung atau mungkin juga karena doa murid cupu yang pernah ia bully sebelumnya ... hasil akhirnya, tim yang diketuai oleh Ilgy itu kalah telak. Bahkan hasil itu bisa dibilang sebagai catatan terburuk tim basket SMA Nusantara.

Ilgy tak tau mengapa bisa seperti itu. Yang jelas, sebelum-sebelumnya ia tak pernah kalah. Ia tak suka rasanya kalah. Sangat tak suka.

Langit makin memerah. Mentari bergeser dari singgasananya. Sudah sore. Ilgy tak peduli. Ia tak ikut pelajaran sejak tadi pagi sampai jam pulang sekolah. Yang ia lakukan hanya menghempas-hempaskan bola basket tanpa artian. Tak ada yang berani menegurnya. Atau mungkin memang tak ada yang berminat untuk menegurnya.

Bugh!
Benda bulat itu kembali membentur. Bedanya, kali ini tak membentur tiang. Melainkan membentur kepala seseorang.

Orang yang baru saja tersakiti oleh sebuah bola basketㅡAaleaㅡitu meluapkan amarahnya, "Woi! Gue udah dua kali kena bola basket lo!".

Dia lagi.

"Sorry," lirih Ilgy.

Aalea yang hampir saja mencaci maki Ilgy itu tertegun. Sudah berulang kali ia dan Ilgy dalam posisi tak mengenakkan seperti ini. Namun ini pertama kalinya ia mendengar sebuah permintaan maaf dari bibir pemuda menyebalkan itu.

Aalea dapat melihat dengan jelas gambaran frustasi di wajah Ilgy. Dan sepertinya, Aalea tau alasannya.

"Lo kalah, ya, kemarin?" tanya Aalea. Entah sekedar basa-basi atau apa.

Ilgy hampir saja berteriak marah namun ia urungkan tatkala matanya bertemu dengan mata Aalea. Dia beda. Ilgy tak melihat tatapan merendahkan dari mata Aalea. Gadis itu murni bertanya. Sejujurnya Ilgy tak suka ditanya seperti ini, namun entah mengapa ia mengangguk kali iniㅡmengakui kekalahannya.

"Oh ... jadi bener kata anak-anak? Lo frustasi gara-gara kalah di tengah lapangan basket begini. Lucu," desis Aalea menahan tawanya.

Kata-kata Aalea tak terdengar sebagai ejekan sedikit pun di telinga Ilgy.

"Lo nggak harusnya begini. Emang kenapa kalau kalah? Salah? Enggak kok. Kalah itu awal mula dari kemenangan. Kalau nggak ada kalah, nggak ada juga yang namanya menang. Seseorang harus kalah seenggaknya sekali seumur hidup. Dari kekalahan kita bisa belajar banyak hal, jangan malah ngehancurin diri sendiri cuma gara-gara kalah. Eh, sorry, gue jadi ceramah kayak Mario Teguh." Aalea tersenyum tipis. Ia mengepalkan tangan dan mengangkatnya ke udaraㅡmemberi simbol semangat. Sebelum akhirnya memilih untuk melangkah keluar sekolah.

Ilgy masih membeku di tempatnya. Pertama kalinya ia mendengar kata-kata yang menghangatkan hatinya semacam ini. Tangannya dengan cekatan mengambil ponsel dari saku celananya. Ia menekan-nekan layar ponsel tersebut dan menempelkannya ke telinga.

"Halo? Ilgy mau minta sesuatu, Pa."

Di sisi lain ...
Aalea yang sedang berjalan merutuki dirinya sendiri. Harusnya ia tak perlu peduli pada laki-laki paling sombong sedunia itu. Harusnya ia memaki bukannya memberi semangat. Tapi ... mau bagaimana lagi? Kata-kata yang sudah terucap tak bisa ditarik kembali.

Aalea masih sibuk memikirkan tindakannya barusan saat seseorang dari dalam mobil menarik tangannya. Deg. Aalea terkejut setengah mati. Ia ditarik paksa memasukki mobil tanpa tau siapa pelakunya. Gadis itu hampir berteriak sampai mulutnya ditutup mengenakan telapak tangan.

"Ssstt! Ini gue."

Teenfictale #1: Prince Charming Next RoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang