Di sinilah Aalea. Di bawah lindungan langit malam berhiaskan purnama sambil memeluk erat seorang gadis yang tengah menangis tersedu. Saking erat pelukannya, pemadam kebakaran yang lewat pun bahkan tak berani untuk menyuruh mereka minggir.
"Sabar, ya, Jas. Ini cobaan dan gue yakin lo bisa ngelewatin semua ini dengan baik. Tuhan ngasih cobaan karena dia tau lo kuat," tutur Aalea menenangkan teman dekatnya.
Aroma gosong menusuk hidung. Aroma yang berasal dari sebuah ruko tingkat tiga. Ruko milik keluarga inti Jaslyn yang kini sudah terbakar hangus. Ruko mewah itu hanya tinggal kerangka. Baju-baju dari butik Jaslyn berserakan di tanah. Tentu dengan bentuknya yang sudah tak lagi utuh. Memang apinya sudah tak lagi menyala. Namun, siapa, sih, yang tidak kacau dalam keadaan seperti ini?
Sama seperti Jaslyn yang sedang kacau, Aalea pun turut kacau. Pikirannya rumit. Lebih rumit dari gulungan benang tak beraturan yang kusut di sana-sini. Bagaimana tidak? Ia berniat untuk tinggal sementara di rumah Jaslyn dan menceritakan masalahnya pada gadis itu. Tapi, Jaslyn sendiri terkena masalah. Itu artinya Jaslyn tak akan bisa membantu. Aalea pun tau diri. Ia akan menutup mulutnya. Ia tak ingin membebankan siapapun. Sekalipun itu teman dekatnya.
"Malem ini lo tinggal dimana?" tanya Aalea.
"Di rumah bude. Gue bakal tinggal sementara di sana," jawab Jaslyn.
Seharusnya Aalea menanyakan pertanyaan itu pada dirinya sendiri. Ia belum tau akan tinggal dimana. Yang jelas, ia tak akan pernah mau tinggal di rumah neneknya.
"Makasih, Aal. Lo udah jauh-jauh dateng ke sini buat nenangin gue," ucap Jaslyn.
Aalea samar-samar tersenyum. Memang benar, begitu mendengar Jaslyn menangis di telepon beberapa waktu lalu Aalea langsung bergegas.
"Lo tadi ke sini naik apa? Dianterin ayah?" tanya Jaslyn.
"G-g-gue naik b-b-bus." Aalea tergagap.
Tentu saja gadis itu berbohong. Delapan ratus meter di ujung jalan sana, seorang pemuda berambut hitam kelam tengah duduk di dalam mobil sport-nya sambil sesekali melirik ke arah Aalea. Ia disuruh menunggu dan tak diperbolehkan keluar. Yang bisa ia lakukan hanya menurut. Ya ... ia ... sang pangeran baik hati dari negeri dongengㅡArjuna. Karena terpaksa Aalea mau diantar Arjuna. Kalau bukan untuk Jaslyn, maka ia tak akan pernah mau duduk dalam satu mobil dengan rivalnya sendiri.
"Ya udah, gue pulang dulu, ya, Jas?" pamit Aalea.
"Jangan sedih lagi," lanjutnya.
Jaslyn tersenyum. Bekas air mata di pipinya masih ada. Sudah jelas ia bersedih. Siapapun juga akan merasa seperti itu jika mendapat musibah.
Aalea berjalan dan sesekali melambaikan tangannya pada Jaslyn. Melewati kerumunan warga dan pemadam kebakaran yang sudah lelah bekerja. Hingga akhirnya ... ia sampai di ujung jalan. Tepat di hadapan sebuah mobil sport hitam yang entah berapa miliar harganya. Ia masuk ke dalamnya.
"Gimana keadaan Jaslyn?" tanya Arjuna dengan suara seraknya.
"Bukan urusan lo."
Seperti biasa. Jawaban Aalea singkat. Terlampau singkat. Arjuna hanya bisa menelan jawaban Aalea bulat-bulat layaknya sebuah pil pahit. Sedetik kemudian mobilnya melaju. Menyisir gemerlap malam Kota Jakarta.
...
Asap mengepul serta aroma menggoda keluar dari sekotak martabak telur yang baru saja diletakkan di atas meja makan. Ayah tersenyum sembari menerima secangkir kopi yang baru saja dihidangkan oleh ibu. Rasa lelahnya seketika hilang tatkala sampai di rumah. Apalagi saat mengingat putri semata wayangnyaㅡAalea.
"Bu, panggilin Aalea. Beberapa hari lalu dia bilang pingin makan martabak. Sekarang ayah bawain. Dia pasti suka," ucap Ayah.
Ibu yang sedari tadi memasang tampang datar jadi makin datar. Aalea sudah tak ada di rumah. Itu fakta yang ingin ia katakan pada suaminya.
"Aalea nggak ada di rumah," singkatnya.
Ayah mengerutkan dahinya. Ia menilik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 10 malam. Aalea belum pulang sampai jam segini? Kemana aja anak itu?! Pikirnya berapi-api. Ia bahkan telah bertekad dalam hatinya untuk memukul Aalea karena pulang larut malam.
"Kemana aja dia?! Kok jam segini belum pulang? Minta dihajar, ya?!" seru ayah.
"Dia nggak bakal pulang malam ini. Ibu udah usir dia," sahut ibu.
Ayah langsung menganga tak percaya. Amarahnya yang meluap-luap mendadak menghilang bak istana pasir yang ditelan ombak. Beliau tak terpikir, alasan apa yang mendasari pengusiran Aalea. Tak perlu ditanya, ibu segera menjelaskan, "Dia dapat nilai rendah. Bikin malu keluarga aja. Kalau nilai rendah terus gimana bisa dia ngalahin Tuna?! Sekali-sekali anak itu emang harus dikasih pelajaran, Mas!".
"Kamu gila, ya?! Dia itu masih enam belas tahun! Belum punya penghasilan sendiri! Mau tinggal dimana dia?! Belum lagi tingkat kejahatan di Kota Jakarta ini!" Ayah emosi.
"Dia pasti bakalan tinggal di rumah ibu kamu, Mas. Gak usah khawatir. Aalea bisa jaga diri. Pokoknya dia baru boleh kembali ke rumah ini kalau nilainya udah bisa ngalahin Tuna! Kamu jangan coba-coba bawa dia balik ke rumah ini, Mas! Titik!"
Ibu masuk ke dalam kamar dan menghempaskan pintu keras-keras. Sedangkan ayah hanya bisa mengacak rambutnya frustasi. Istrinya masih tak berubah. Masih saja terobsesi dengan predikat yang disebut 'nilai'. Bukan hanya tak berubah, namun makin parah. Ayah kasihan pada Aalea dan ingin sekali membawa anak gadisnya itu kembali dari jalan gelap nan menyeramkan di luar sana. Hanya saja ... ia tak kuasa. Istrinya mungkin akan menghukum Aalea lebih berat lagi jika ia berusaha membela.
...
Mobil sport milik Arjuna kini telah terparkir sempurna di garasi rumah minimalisnya. Pemuda itu keluar dari dalam sana. Diiringi seorang perempuan yang tak lain adalah Aalea. Arjuna melepas sepatu santainya dan meletakkannya ke dalam rak sebelum ia masuk ke dalam rumah. Aalea turut melepas sandal jepit kumal yang entah sudah sehalus apa bagian bawahnya.
Sumpek. Aalea sungguh sumpek. Sekarang sudah pukul sepuluh tapi ia bahkan belum terpikir akan tinggal dimana malam ini. Menyewa hotel? Aalea sempat berpikir tadi. Tapi, hotel mana yang menyewakan kamarnya dengan harga dua ratus ribu? Jika ada pun pasti hanya hotel kelas bawah. Belum lagi biaya makan. Intinya hanya berbekal uang yang Aalea punya sekarang, ia tak bisa menyewa kamar hotel.
Aalea duduk di sofa. Tubuh dan pikirannya sudah lelah. Rasanya ia ingin memejamkan mata dan tidur sekarang juga. Tapi ... bagaimana bisa?
Arjuna masuk ke dalam kamar. Meninggalkan Aalea dan pikiran rumitnya sendirian. Beberapa menit kemudian ia kembali. Dengan pakaian yang sudah diganti dan sebotol air mineral dingin dari dalam kulkasnya. Ia duduk di hadapan Aalea dan menyetel televisi ke acara talkshow malam kesukaannya. Santai. Itu yang Arjuna rasakan. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan gadis di hadapannya.
Puluhan kali Aalea berpikir. Puluhan kali pula ia tak menemukan jawabannya. Ada, sih, jawaban. Tapi jawaban itu mungkin akan menurunkan harga dirinya. Kau tau apa jawabannya? Ya, menginap di rumah Arjuna. Hanya itu satu-satunya jawaban yang ia temukan. Masalahnya ... harga diri Aalea terlalu tinggi untuk meminta bantuan dari rivalnya.
Aalea tak mau. Sangat tak mau. Namun tubuhnya sudah meronta minta diistirahatkan. Bukankah harga diri tak lagi penting di saat seperti ini?
"Jun, gue boleh nggak, nginep di rumah lo malam ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Teenfictale #1: Prince Charming Next Room
Teen FictionArjuna adalah pangeran sekolah yang dicap serba sempurna. Tampan, kaya, cerdas, dan bebas. Empat komposisi untuk kehidupan bahagia. Berbanding terbalik dengan Aalea. Gadis sederhana yang hidupnya penuh tekanan gara-gara Arjuna. Karena Arjuna, Aalea...