Bola mata gadis itu bergerilya. Sorot matanya memandang jijik lingkungan sekitarnya. Ia bergidik ngeri ketika melihat kecoa satu per satu keluar dari dashboard ranjangnya. Memang, sih, ukurannya terbilang mini. Namun dengan ukuran itu, kecoa makin terlihat menjijikkan. Ditambah sinar lampu yang remang-remang dan lantai yang lengket bila dipijak. Membuat Aalea bertanya dalam hati, hotel macam apa ini? Sekarang akhirnya ia paham mengapa kamar di hotel ini disewakan dengan harga miring.
Aalea menguatkan hatinya. Ia mengambil buku dari dalam kopernya dan mulai membaca. Namun ... kecoa yang berterbangan ke kanan-kiri membuat fokusnya lenyap entah kemana. Belum lagi dengung suara nyamuk yang makin mengganggunya.
Gadis itu memutuskan untuk berbaring. Menyelimuti dirinya dengan selimut hotel yang tak seberapa tebal. Ia harus segera tidur dan menanti fajar datang menjelang.
...
Ngilu. Satu hal yang dirasakan Aalea pagi ini. Ayam yang jadi menu sarapannya keras. Bahkan mungkin kerasanya hampir menyetarai batu sungai. Aalea kini makin paham mengapa harga sewa hotel yang ia tempati itu murah. Terlampau murah. Kualitasnya buruk, jadi wajar saja.
Oh! Jangan lupakan kantong hitam yang ada di area mata Aalea. Kantong hitam itu tercipta karena Aalea tak bisa tidur semalaman. Bahkan untuk berbaring saja Aalea tidak tenang. Ketika Aalea berusaha memejamkan matanya, maka kecoa akan berterbangan silih berganti. Dalam keadaan seperti itu ... bagaimana bisa tidur?
Dan kini Aalea yang seharusnya belajar tenang pun malah merasa was-was. Di tengah murid lain yang sibuk bercengkrama, tertawa, dan berteriak, Aalea sibuk dengan pikirannya. Ia takut kopernya yang ditinggalkan di hotel akan dimasukki kecoa atau hal-hal menjijikkan lainnya. Jika bisa Aalea ingin membawa kopernya ke sekolah, tapi ... tak mungkin, kan?
Aalea menyewa hotel itu untuk dua malam. Yang berarti, masih ada satu malam tersisa. Aalea tak ingin menyia-nyiakan uangnya yang sudah menjadi alat pembayaran itu. Namun sejujurnya, Aalea juga tak ingin tinggal di sana lebih lama lagi. Kini yang bisa Aalea lakukan hanya satuㅡmenguatkan diri sendiri.
Gue harus bisa bertahan di sana.
...
Kedua tangan Arjuna dengan sigap men-dribble bola orange bergantian. Tangan yang biasanya ia pakai untuk menarik dan menghempaskan anak panah itu sekarang sedang memainkan basket. Ia tak sendirian. Ada Robian di sana.
Dua pemuda tampan dari keluarga Cakrawala itu menjadi tontonan seisi sekolah. Arjuna biasa saja. Namun Robian cukup risih. Robian dulunya adalah pangeran sekolah, tapi perempuan di jamannya tidak terang-terangan seperti detik ini. Mereka lebih memilih mengagumi Robian dalam diam. Tapi sekarang? Sungguh jauh berbeda.
"Fans lo banyak banget, Jun. Cantik-cantik lagi," kata Robian sambil terus berusaha merebut bola dari Arjuna.
"Mereka bukan cuma mau lihat gue, kok. Mereka juga dateng buat lihat lo, Mas," sahut Arjuna.
"Ngeri juga kalau tiap gerakan dilihatin orang begini," desis Robian.
Arjuna tertawa. Lalu ... hap! Bola basket masuk melewati ring dengan sempurna. Membuat siswi-siswi yang mengagumi Arjuna menjadi makin kagum. Robian tak pernah bisa mengalahkan Arjuna dalam permainan basket. Entah karena ia yang tak terampil bermain basket, entah faktor keberuntungan Arjuna yang memang tinggi, atau karena IQ Robian yang jauh di bawah Arjuna. Robian tak tau. Ia tak pernah ingin tau. Yang ia ingin adalah ... mengalahkan Arjuna. Setidaknya sekali.
"Ayo rebut dong, Mas! Masa kalah mulu, sih?" ucap Arjuna mengejek.
Dan tiba-tiba ...
Aalea berjalan di ujung lapangan hendak ke perpustakaan. Sialnya, hal itu membuat konsentrasi Arjuna hilang seketika. Robian dengan mudahnya merebut bola basket dari tangan Arjuna dan men-dribble-nya ke kanan-kiri sambil pamer senyum kemenangan. Arjuna tak menghiraukan Robian. Di kepalanya malah sibuk menghaturkan pertanyaan-pertanyaan seputar Aalea. Apa Aalea udah dapet tempat tinggal? Apa dia udah baikkan sama orang tuanya? Dan lain-lain.Pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa Arjuna simpan dalam otaknya. Ia tak akan bisa mengutarakannya. Kenapa? Karena Arjuna tau, jawaban Aalea pasti 'bukan urusanmu'. Memang benar, semua masalah Aalea bukanlah masalah Arjuna. Ia harusnya tak peduli itu.
...
"Aaaaaaaaaarrrggghhhh!"
Teriakan delapan oktaf itu sukses terdengar sampai ke lorong hotel. Bahkan mungkin terdengar oleh penghuni hotel lainnya.Teriakan itu berasal dari bibir mungil Aalea. Bagaimana tidak, ia mendapati kopernya dimasukki keluarga kecoa. Jumlahnya sekitar enam ekor. Menjijikkan, bukan?
Aalea menggeleng. Ia tak bisa tinggal di tempat ini lebih lama lagi. Tak bisa!
Ada satu jalan terbaik selain tinggal di hotel ini. Namun lagi-lagi Aalea merasa dilema. Harga dirinya menolak tegas. Tapi di sisi lain, Aalea membutuhkannya. Apa yang harus ia lakukan?
...
Jemari panjang Arjuna memencet-mencet remote televisi. Mulai dari acara kuliner sampai talk show membosankan telah Arjuna lewati. Ia bosan. Sangat.
Arjuna menolehkan pandangannya ke sisi jendela. Langit mulai kemerahan. Pertanda bahwa mentari perlahan turun dari singgasananya. Dalam suasana sore yang tenang seperti ini ... Arjuna merasakan rindu. Rindu pada seorang gadis yang ia puja-puji dalam hatinyaㅡKandhira. Setidaknya sudah hampir dua minggu mereka tak saling bertegur sapa. Entah apa yang Kandhira rasakan saat ini, yang jelas Arjuna merasa rindu.
Dulu, sepulang sekolahㅡsaat masih SMPㅡsore-sore begini Arjuna dan Kandhira akan singgah ke taman bermain yang jaraknya tak jauh dari sekolah. Mereka akan menghabiskan waktu sampai petang datang menjemput. Ayunan, seluncur, sampai jungkat-jungkit. Permainan-permainan itu mengisi hari-hari mereka. Sesekali mereka akan membeli permen kapas, coklat koin, atau es potong yang sudah sulit untuk ditemui pada era ini. Tapi sekarang? Tak perlu ditanya. Segalanya telah berubah. Ya, memang. Kata orang, waktu merubah segalanya. Sama seperti batu yang akan lapuk seiring waktu berganti.
Arjuna amat rindu masa itu. Ingin mengulangi segalanya dari awal lagi. Seandainya Arjuna tak mengungkapkan perasaannya ... apa semua masih akan berjalan seperti semula? Baik-baik saja? Tak ada yang tau.
Arjuna tak menyesali ungkapan perasaannya yang membuat Kandhira menjauh seperti detik ini. Arjuna malah lega. Mungkin ia akan lebih menyesal jika tak mengungkapkan perasaannya.
Ting Tong.
Di tengah lamunan Arjuna, suara itu menggema. Membuat pemuda itu mau tak mau berdiri di atas kedua kakinya. Berjalan mendekati pintu dan membukanya."Aalea?"
Gadis dengan wajah yang sudah lumus itu berdiri tepat di depan pintu. Tangan kanannya menggenggam koper dan tangan kirinya membawa kantong kresek berisi pakaian kotor. Persis seperti saat Aalea pergi meninggalkan rumah Arjuna kemarin.
"Gue nerima tawaran lo," kata Aalea tanpa ditanya.
"Tawaran yang mana?" tanya Arjuna.
"Tawaran buat tinggal di rumah lo ini. Tapi gue nggak bakal utang budi sama lo," jawab Aalea.
Arjuna tak mengerti. Ia mengangkat kedua alisnya seakan bertanya.
"Gue bakal bayar sewa dengan cara kerja di rumah lo."
"Jadi pembantu," sambungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teenfictale #1: Prince Charming Next Room
Ficção AdolescenteArjuna adalah pangeran sekolah yang dicap serba sempurna. Tampan, kaya, cerdas, dan bebas. Empat komposisi untuk kehidupan bahagia. Berbanding terbalik dengan Aalea. Gadis sederhana yang hidupnya penuh tekanan gara-gara Arjuna. Karena Arjuna, Aalea...