11. Hujan Kali Ini

11.2K 872 21
                                    

Brak!
Benda kotak berukuran besar dilempar keluar rumah. Membuat Aalea menangis dan merasa panik. Ingin ia berteriak dan memeluk kaki ibunya saat ini. Sang ibu melemparkan dua lembar uang seratus ribuan. Baik raut wajah maupun sorot mata menampakkan bahwa ia sangat marah kali ini.

Aalea sendiri telinganya sudah panas seperti dibakar api. Hampir dua jam ibunya mengoceh gara-gara nilai C. Dan sekarang ibunya malah melempar koper berisi baju dan dua lembar uang seratus ribuan keluar rumah? Apa maksudnya?

"Kamu nggak boleh tinggal di sini! Nilai C itu bikin malu! Kamu boleh balik ke rumah ini kalau kamu udah bisa ngalahin temenmu Si Tuna itu!" ujar ibu.

"Tapi Aalea harus tinggal dimana, Bu?" tanya Aalea dengan air mata berderai.

"Terserah kamu! Mau tidur di jalan kek! Di rumah nenek kek! Terserah! Pokoknya kamu nggak boleh balik kalau belum ngalahin temenmu yang selalu peringkat 1 paralel itu!"

Blam!
Ibu Aalea menutup pintu keras-keras. Aalea masih mematung di depan pintu. Sang ibu mengusirnya dari rumah. Dan sialnya, gara-gara nilai. Lagi-lagi soal nilai. Kadang Aalea bertanya dalam dirinya, Apa nilai itu segalanya?

...

Cahaya makin meremang. Seiring petang yang makin berkembang. Gadis bermata sembab berjalan di trotoar sebuah komplek perumahan yang bahkan ia sendiri tak tau apa namanya. Sesekali ia akan menangis jika mengingat kata-kata ibunya tadi sore. Sejauh ini, ia terus mengikuti langkah kakinya tanpa tau kemana tujuan. Ia tak tau harus kemana. Ini pertama kalinya ia diusir dari rumah yang ditinggalinya semenjak kecil. Uang dua ratus ribu yang ada di sakunya sama sekali belum ia pakai. Ia lebih memilih berjalan kaki dari pada naik taksi atau kendaraan umum lainnya walau koper ungu yang dibawanya terasa berat.

Gue harus kemana? Apa ke rumah nenek aja?

Sedetik kemudian ia menggeleng keras. Tidak. Ia tak mau tinggal di rumah neneknya. Ada beberapa pertimbangan yang membuatnya tak mau tinggal di sana. Pertama, rumah neneknya ada di pinggiran Kota Jakarta yang jaraknya sangat jauh dari sekolah. Kedua namun paling utama, tante-tantenya yang tinggal di rumah nenek hobi memerintah. Belum lagi ia pasti akan dibanding-bandingkan dengan sepupu-sepupunya yang punya hidup damai-damai saja. Kau tau kan seorang Aaleasha tidak suka dibanding-bandingkan? Dan jauh sebelum itu ... ada satu pertanyaan di benak Aalea, Apa gue bakal diterima di sana?

Srasssshhh.
Hujan turun dengan derasnya. Membuat Aalea terlonjak dan panik setengah mati. Matanya menangkap sebuah rumah bergaya minimalis dengan pagar yang sedikit terbuka. Tanpa pikir panjang Aalea memasukki rumah itu. Ia berteduh di bawah atap teras sambil terus berharap tak ada yang akan memergokinya sedang berteduh dan mengira ia adalah seseorang dengan niat jahat.

Secepat apapun Aalea berteduh, sayangnya tetap saja baju gadis itu terlanjur basah. Dingin. Seandainya ia di rumah, ia akan langsung mengeringkan diri, memakai sweater rajut kesayangannya, dan tidur dengan balutan selimut tebal. Entah sampai kapan hujan deras ini akan terus mengguyur bumi. Selama ini Aalea merupakan pluviophileㅡseseorang yang sangat menyukai hujan. Tapi kali ini, ia malah berharap hujan segera berhenti. Biasanya aroma tanah basah terkena hujan akan membuatnya tenang. Hanya saja, kali ini aroma tanah sama sekali tak bereaksi padanya. Bahkan malah membuat pikirannya semakin keruh.

"Lho? Aalea?"

Suara dari arah belakang itu mengejutkan gadis si pemilik nama. Wajah Aalea sudah pucat pasi dan berdebar karena bingung mengapa ada seseorang yang tau namanya di tempat ini. Aalea memberanikan diri untuk memastikan siapa yang menyebutkan namanya barusan.

Teenfictale #1: Prince Charming Next RoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang