39. Ayah

10.5K 844 32
                                    

Tidak seperti Arjuna yang biasanya. Bermula dari membaca pesan Ayahnya sampai menyetujui untuk berolahraga bersama dan duduk di bangku taman iniㅡmenanti kedatangan Ayahnya. Sungguh tidak biasa.

Ah, gue pasti udah gila ngelakuin hal-hal ini, desisnya pada diri sendiri. Kalau bukan karena bujukan dan ceramahan Aalea, Arjuna tidak akan tergugah dan berada di sini. How wonderful!

Arjuna mulai bosan menunggu. Ia mulai memainkan rumput-rumput tak bersalah dengan kakinya yang dilapisi sepatu olahraga warna putih.

Memori Arjuna bergerilya ke masa lalu. Mengingatkannya pada kejadian tujuh tahun yang lalu. Umurnya kala itu 10 tahun. Tepatnya pada minggu ketiga di bulan Agustus. Hari itu, Ayahnya yang super sibuk baru kembali dari Australia. Paginya, Arjuna ditelepon. Ayahnya berjanji untuk menjemput Arjuna sepulang sekolah dan membawanya ke tempat kesukaan Arjuna kecilㅡtoko mainan. Arjuna kegirangan. Ia bahkan mencatat apa-apa saja yang ingin dibelinya. Mobil-mobilan, robot, sampai lego versi terbaru.

Sepulang sekolah, Arjuna menanti di bawah pohon meranti depan sekolah. Dari wajahnya berseri sampai tidak mampu tersenyum sedikitpun. Hampir empat jam Arjuna menunggu waktu itu. Saat adzan maghrib dari masjid terdengar, saat itu pula Arjuna sadar ... Ayahnya tidak akan pernah datang.

Dan sekarang, tiba-tiba kecemasan itu muncul lagi. Bagaimana jika Ayahnya tidak datang lagi? Dari dulu kan dia selalu jadi prioritas ke sekian.

"Sudah lama, Jun?"
Suara itu membuyarkan pemikiran Arjuna. Itu Ayahnya. Arjuna bisa mengenali suara yang kian menua itu.

Ayah memang belum terlalu tua. Masih 45 tahun. Tapi sudah tidak sebugar dulu.

"Ayah masih nggak nyangka kamu bakal dateng hari ini. Terima kasih ya, Nak," ucap Ayah.

"Bukannya yang suka 'nggak dateng' itu Ayah, ya?" sindir Arjuna tentang masa lalu.

Ayah hanya tersenyum tabah. Beliau tak bisa menyalahkan Arjuna. Apalagi mengetahui seberapa luka Arjuna yang secara tidak langsung juga disebabkan olehnya. Bukannya melindungi anaknya, tapi malah melukainya. Ayah macam apa saya ini? Begitulah kadang-kadang Ayah berkata dalam hatinya. Saat ia tak bisa tidur di malam hari atau saat ia melamun di balik meja kantornya. Hampir setiap saat. Tidak ada sedetikpun waktu yang dilewatinya tanpa merindukan putra semata wayangnya ini. Bahkan meski Robian di sampingnya. Tak sedikitpun bisa menggantikan posisi Arjuna dalam hati pria itu.

"Yaudah, ayo jogging!"

...

Arjuna menerima uluran air mineral dari Ayahnya. Lalu ia tertawa melihat sang Ayah terduduk dan bernapas ngos-ngosan. Tidak. Jangan berpikir kalau Arjuna dan Ayah sudah jadi akrab gara-gara menghabiskan waktu bersama untuk jogging selama dua jam ini. Sama sekali tidak begitu.

Selama dua jam jogging, mereka tidak berbicara satu sama lain. Arjuna bahkan menyumpal telinganya dengan earphone. Sengaja. Karena ia tak ingin banyak berinteraksi dengan Ayahnya dan malah membuat luka lamanya yang masih belum sembuh itu terkoyak lagi.

"Maafkan Ayah, Arjuna. Mama kamu juga," kata Ayah setelah napasnya teratur.

Arjuna berhenti tertawa. Kemudian memandang ujung sepatunya yang sudah kotor kena debu. Sehabis ini, Arjuna akan memastikan untuk membawa sepatunya ke laundry agar bersih seperti semula. Ah, seandainya masa lalu juga bisa di-laundry seperti itu. Bisa dicuci dan kembali bersih seperti semula. Mungkin akan menyenangkan. Mungkin Arjuna tidak akan membenci Ayah dan Mama tirinya seperti sekarang ini.

Masalahnya, bukannya semakin bersih ... makin hari luka Arjuna makin kotor. Makin luka. Makin memborok. Dan makin sakit setiap harinya. Seolah tidak ada celah untuk bisa memaafkan Ayah dan Mama tirinya.

"Kenapa harus minta maaf? Ayah tau kan kalau itu percuma? Ayah tau kan kalau sampai kapanpun Arjuna nggak bisa memaafkan kalian berdua? Orang-orang mungkin taunya Arjuna ini serba sempurna. Tapi ini salah satu kekurangan Arjuna, nggak bisa memaafkan kalian. Kalau lain kali Ayah ketemu cuma mau minta maaf, nggak usah. Percuma." Arjuna berdiri lalu meninggalkan Ayahnya. Dengan borok dalam hatinya yang semakin menyakitkan.

Ayah juga sama sakitnya. Ia tau semua memang salahnya. Salahnya mencintai perempuan lain. Namun cinta memang tidak bisa dipaksakan, kan?

Ayah memegang dada kirinya yang tiba-tiba menyesak. Napasnya tertahan dan suaranya merintih, "Jun ...."

Seketika Arjuna berbalik badan. Ayah ... sudah tergeletak di tanah.

...

Ngiung! Ngiung!
Suara sirine itu berdenging mendominasi pendengaran Arjuna. Terakhir kali ia duduk di ambulan dan mendengar suara mengerikan ini saat ia masih menjajaki bangku SMP. Kala itu ia menggenggam tangan Bundanya, menangis tersedu-sedu, dan cemas tidak karuan.

Sama. Kali ini juga masih sama. Ia menggenggam tangan Ayahnya, menangis, dan cemas. Persis.

Begitu kasur dorong Ayahnya diturunkan dari ambulan, Arjuna langsung ikut turun. Berlari-lari mengikuti para perawat. Begitu sampai di ruang UGD, seorang perawat menahannya, "Maaf, Anda harus tunggu di luar."

Arjuna menurut. Kakinya sudah lemas dan tangisannya tidak lagi bisa dibendung. Ia mengambil ponselnya. Harus ada yang ia hubungi. Dan entah kenapa, yang terlintas di pikirannya adalah Aalea.

...

"Ayah anda mengalami serangan jantung mendadak. Untung segera dibawa ke rumah sakit. Keadaannya sudah membaik. Kami akan memindahkannya ke ruang rawat inap," jelas Dokter.

"Makasih, Dok," ucap Arjuna. Dokter menepuk bahunya lalu berlalu.

"Gue udah bilang, Ayah lo bakal baik-baik aja," tutur Aalea yang selalu ada di sampingnya sejak dua puluh menit yang lalu. Bukan perkara mudah untuk Aalea sampai di sini. Ia bahkan harus membatalkan agenda kerja kelompok yang sudah direncanakannya sejak beberapa hari lalu dengan alasan 'ada keperluan mendadak'.

Bukannya bernapas lega, Arjuna sekarang malah menangis. Lagi. Look very not manly. But, who cares? Mau berapapun umur Arjuna, ia tetaplah seorang anak. Anak yang wajar saja menangis di saat-saat seperti ini.

"Lho? Lho? Kok malah nangis?"

Aalea memeluk Arjuna. Membiarkan Arjuna menangis di bahunya. Jika dari tadi ia berkata 'ayah lo nggak bakal kenapa-napa kok', 'yang sabar, Jun', or something like that, kali ini ia memilih diam. Membiarkan Arjuna dengan tangisannya.

Perlahan Aalea memberanikan diri untuk menepuk-nepuk pelan punggung Arjuna. Memberi ketenangan yang belum pernah ia berikan pada orang lain apalagi laki-laki.

Melihat Arjuna seperti ini, Aalea tak tahan untuk tidak memeluk Arjuna.

Perlahan-lahan tangisan Arjuna makin menghilang. Air matanya sudah diseka habis dan ia sudah mulai bernapas teratur.

Arjuna akhirnya melepaskan pelukan Aalea yang jadi tumpuannya. Ia kemudian berkata, "Hari ini gue tau, Aal. Gue sayang sama Ayah. Gue khawatir sama Ayah. Gue nggak mau kehilangan dia. Dan gue sadar betapa egoisnya gue nggak mau ngelupain masa lalu yang bodoh itu. Gue cuma mikirin perasaan gue. Tanpa mikirin perasaan Ayah. Gue egois, Aal."

Dan setelahnya, Arjuna memeluk Aalea. Lebih erat dari sebelumnya.

Teenfictale #1: Prince Charming Next RoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang