19. Bukan Layang-Layang

11.4K 853 18
                                    

Hiks. Suara isakan terdengar sayup-sayup dari arah dapur. Diiringi semilir angin yang menggoyangkan ranting-ranting serta dedaunan di atas pohon sana. Isakan samar itu terdengar makin jelas. Membuat seorang laki-laki paruh baya yang sedang asyik membaca koran di beranda depan mengerutkan keningnya.

Ia melipat koran itu dan meletakkannya. Kini kakinya ia langkahkan menuju sumber suaraㅡdapur. Dan benar saja. Pendengarannya tak salah. Seseorang menangis di pojok sana. Menutupi mukanya dengan daster kumal yang sudah dipakai sejak kemarin.

"Lho, Bu? Kok nangis?" tanyanya.

Tak ada jawaban. Wanita yang tak lain adalah istrinya itu masih saja terus menangis. Seakan kesedihan menghujam keras jantungnya. Hingga beberapa saat kemudian bibirnya berucap, "Ibu kangen Aalea, Pak. Rumah ini sepi nggak ada dia."

Pria itu menghela napasnya berat. Beginilah istrinya. Suka mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan konsekuensi yang harus ditanggung. Belum genap seminggu Aalea meninggalkan rumah dan hatinya sudah rindu.

"Kan kamu yang ngusir dia," sahutnya.

Wanita itu makin keras isakannya. Kata-kata dari sang suami benar-benar mengena. Ia menatap meja makan sekilas. Tempat dimana Aalea biasa menghabiskan makanannya sambil terus membaca. Ia ingat saat-saat seperti itu. Tapi sekarang Aalea tak lagi di rumah. Bahkan ia sendiri belum tau keadaan putri semata wayangnya itu.

Dan tiba-tiba ... rasa egoisnya kembali muncul.

"Ibu kangen Aalea, Pak. Pokoknya bawa dia pulang!" ujarnya.

...

Aalea memegang hidungnya sekilas. Bersyukur karena darah tak lagi mengucur dari sana. Ini hari minggu dan ia ada di pasar. Tangannya penuh oleh kantong plastik besar yang berisi banyak hal. Sungguh Aalea kerepotan dan keberatan. Tapi jangan lupakan fakta bahwa ia adalah seorang pembantu. Jadi, berbelanja adalah kewajibannya.

"Kentang udah, seledri juga udah, tinggal ikan salmon," desisnya sambil mengecek list belanja yang sudah ia buat sejak kemarin.

Aalea berjalan menuju deretan penjual ikan. Peluhnya bercucuran dimana-mana dan wajahnya itu sudah cukup dekil. Gadis itu hanya butuh sepuluh langkah lagi untuk sampai. Namun ...

Brak!
Entah kesialan dari mana, belanjaan Aalea berserakan di lantai. Seseorang baru saja menabraknya dengan keras. Aalea berdecak sebal. Sembari memasukkan kembali belanjaannya ke dalam kantong. Aalea berjanji, ia akan memberikan sumpah serapah pada orang yang menabraknya setelah ini. Awas saja, batin Aalea.

Gadis itu berdiri tegak. Di atas kedua kakinya yang sudah lelah. Wajahnya ditekuk. Mirip baju kusut yang tak pernah diseterika. Tatapan tajam Aalea seketika melemah. Saat tau siapa yang menabraknya.

"Ayah?"

Lelaki yang disebut 'ayah' itu memamerkan senyum tipisnya. Senyum yang melukiskan kerinduan mendalam dari seorang ayah.

"Maafin ayah, ya, Nak," katanya.

Aalea mengangguk lemah. Ia rindu ayahnya. Sungguh.

"Kamu, kok, belanja banyak?" tanya ayah.

Belum selesai Aalea bergelut untuk menahan rasa rindunya, kini sebuah pertanyaan muncul dari mulut sang ayah. Pertanyaan yang membuat lidah Aalea mendadak kaku. Ia tak tau harus menjawab apa, yang jelas, ia tak mungkin berkata sejujurnya bahwa belanjaan yang sekarang ini ia pegang adalah milik majikannya. Aalea tak mungkin terus terang pada ayahnya tentang profesi yang baru saja ia tekuni itu.

Sang ayah mungkin akan langsung kena serangan darah tinggi jika Aalea bilang bahwa sekarang ia adalah seorang pembantu. Aalea tak mau hal itu terjadi. Tak ada seorang pun anak yang ingin ayahnya ikut menderita, kan? Ya ... kecuali adalah anak durhaka.

Teenfictale #1: Prince Charming Next RoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang