Kebetulan Ibu baru selesai memasak saat Aalea dan Arjuna menginjakkan kaki di halaman depan tadi. Ada telur balado, cah kangkung terasi, dan tahu goreng. Sederhana. Namun wanginya mampu menggoda perut Aalea.
Ibu mengisikan nasi ke piring Aalea, Arjuna, dan Ayah. Beliau sama sekali belum bertanya siapa yang dibawa Aalea. Entah karena tidak tertarik atau memang merasa tidak perlu tau. Sedangkan Arjuna terus tersenyum melihat Ibu Aalea mengisikan makanan di piringnya. Sudah berapa lama Arjuna tidak diperlakukan begini.
"Maaf ya, hidangannya sederhana, Nak ... siapa namamu?" tanya Ayah Aalea.
"Oh iya, perkenalkan. Nama saya Arjuna. Saya temannya Aalea," papar Arjuna.
"Oh ... jadi kamu yang selalu peringkat 1 paralel itu ya?" sahut Ibu--kali ini lembut.
"Iya," jawab Arjuna diselingi tawa kecil.
Aalea sendiri sibuk mengunyah. Tidak mempedulikan acara 'kenal-kenalan' antara Arjuna dan orang tuanya. Ya, siapa juga yang peduli jika dihadapkan dengan makanan selezat ini. Jujur, Aalea rindu masakan Ibu. Dan sekali lagi, kebetulan tiga-tiganya adalah makanan favorit Aalea. Sepertinya Aalea benar-benar harus berterimakasih pada sesuatu bernama 'kebetulan' hari ini.
"Orang tua kamu pasti bangga sekali ya punya anak seperti kamu. Sudah ganteng, pinter lagi," puji Ibu.
"Hahaha, iya," Arjuna tertawa kering.
"Apalagi ibu kamu. Dia yang paling bangga karena bisa membesarkan kamu."
"Bunda saya sudah meninggal," kata Arjuna mengoreksi.
Aalea segera menyadari situasi. Pernyataan Ibu memang sedikit ... mmhh ... sensitif?
"Turut berduka cita ya, Nak? Maaf Ibu nggak tau," kata Ibu.
Kunyah, kunyah, telan. Kunyah, kunyah, telan. Arjuna hanya mengunyah sekitar dua kali setiap sendoknya. Enak banget, pikir Arjuna.
Uhuk. Uhuk. Uhuk. Arjuna tersedak. Kangkung mengganjal di tenggorokannya karena tidak dikunyah sewajarnya.
Ibu buru-buru menyodorkan segelas air putih, "Kamu ini gimana sih, Arjuna? Kamu itu sudah besar. Makan aja sampai keselek begini?! Makan itu mbok ya pelan-pelan. Ngapain sih buru-buru? Nggak enak, ya?"
Terdengar seperti omelan.
"Bu, Bu, keselek ya jangan diomelin. Emangnya Arjuna mau keselek?" bela Ayah.
"Iya ih Ibu. Tamu aja diomelin," sambung Aalea.
"Ya emangnya kenapa, temenmu kan juga anak Ibu," ucap Ibu. Entah asal atau pakai hati.
"Makanannya enak sih, Bu. Jadi saya makannya buru-buru. Udah lama nggak makan masakan rumah. Eh, bolehkan saya panggil 'Ibu'?" kata Arjuna.
Ibu mengangguk lalu tersenyum. Aalea mual. Sungguh. Ibunya bersikap pada Arjuna kelewat lembut. Pada Aalea? Cih.
Arjuna tertawa lebar mendengar perdebatan kecil tadi. Di sini, di tempat ini, Arjuna merasa hidup.
Anak yang membuat ulah, Ibu yang mengomel, Ayah yang bijaksana, makanan rumahan yang sederhana. Semuanya membuat rumah kecil ini terasa hangat. Yang hangatnya mengisi rongga dada Arjuna. Yang hangatnya membuat Arjuna merasa dicintai setelah sekian lama. Ini membahagiakan.
"Ibu sama anak orang aja baik. Sama aku jahat banget," gerutu Aalea iri. Mirip anak kecil yang melihat Ibunya menggendong anak lain.
"Udah, kamu itu taunya iri aja. Belajar sana. Biar bisa ngalahin Arjuna."
Arjuna tertawa lagi. Aalea menggerutu sebal, "Terserah."
...
"Saya pulang dulu, ya, Bu?" pamit Arjuna sambil mencium tangan Ibu Aaleaㅡyang sejak beberapa jam lalu juga ia panggil 'Ibu'.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teenfictale #1: Prince Charming Next Room
Teen FictionArjuna adalah pangeran sekolah yang dicap serba sempurna. Tampan, kaya, cerdas, dan bebas. Empat komposisi untuk kehidupan bahagia. Berbanding terbalik dengan Aalea. Gadis sederhana yang hidupnya penuh tekanan gara-gara Arjuna. Karena Arjuna, Aalea...