9. Payung

12.6K 937 3
                                    

"Semangat!"
Satu kata dengan makna mendalam itu berulang kali diucapkan Aalea. Gadis itu meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia bisa. Tadi pagi ayahnya juga telah memberikan semangat. Begitu pula sang ibu.

Aalea menunduk. Menatap name tag-nya yang berisi foto, nama lengkap, serta asal sekolah. Melihat name tag ini membuat Aalea sedikit merasa percaya diri. Gadis itu percaya bahwa ia bisa menang di olimpiade tingkat provinsi ini dan mewakili DKI Jakarta ke tingkat nasional. Karena tak ada hasil yang mengkhianati usaha, kan?

...

"Hasil seleksi olimpiade akan diumumkan besok di sekolah masing-masing. Selamat siang dan sampai jumpa!" pengawas olimpiade keluar dari ruangan. Sementara Aalea masih sibuk mengemaskan barang-barangnya.

Peserta olimpiade keluar satu per satu meninggalkan ruangan ini. Aalea segera menggendong tas ranselnya di pundak. Tentu saja tasnya tak seberat saat sekolah. Tasnya ringan. Terlampau ringan malah. Isinya hanya sebuah kotak pensil.

Aalea berjalan meninggalkan ruangan. Menyusuri koridor balai perpustakaan daerahㅡtempat seleksi olimpiade ini diselenggarakan. Langit begitu teduh dan angin yang berhembus lembut membuat Aalea tersenyum dalam diamnya. Ia bersyukur, karena hari ini ia tak perlu berpanas-panas menuju halte bus. Setidaknya ia bisa berjalan dengan tempo yang sedikit santai. Sekalian menjernihkan otaknya yang sudah terlalu lelah menghadapi soal-soal fisika.

Srasssshhh.
Hujan deras turun begitu saja. Untung koridor yang sedang disusuri Aalea memiliki atap. Sehingga gadis itu tak kebasahan. Namun sialnya ... bagaimana caranya Aalea pergi ke halte bus jika hujan seperti ini? Aalea menghentakkan kakinya sebal. Ia sudah lelah dan ingin segera berbaring di ranjang sederhananya.

Aalea berdecih beberapa kali. Tadi pagi sang ibu telah menyuruhnya membawa payung. Namun karena penyakit lupanya, Aalea tak membawanya. Gadis itu tak punya pilihan lain, ia harus pergi ke halte bus. Menerobos rintik hujan yang sudah pasti akan membasahi bajunya. Aalea tak apa. Asal ia segera sampai di rumah.

Gadis dengan pita rambut warna hijau itu menghembuskan napasnya. Seolah menyiapkan diri untuk bersentuhan secara langsung dengan titisan sang dewi hujan. Aalea berlari kecil. Air hujan resmi membasahi kulit dan tubuhnya. Aalea harus berlari sekencang mungkin agar ia cepat sampai di halte yang terletak di ujung jalan sana.

Drap. Drap. Drap.
Langkahnya pendek namun pasti. Air hujan juga terus membasahi. Diiringi bunyi knalpot kendaraan bermotor yang memekakkan telinga sesekali. Sampai pada akhirnya Aalea tak lagi kebasahan. Tidak. Hujan masih terus menuruni langit. Bahkan makin deras. Guntur juga terdengar beberapa kali. Lalu, mengapa Aalea terlindung dari hujan?

Aalea menoleh ke sampingnya. Terlihat seseorang sedang berusaha menyamakan langkahnya dengan Aalea. Sorot matanya yang seteduh lembayung senja kini menatap lurus ke depan. Memastikan bahwa langkahnya tak akan tersandung batu atau penghalang lainnya. Tangannya dengan kuat menggenggam gagang payung. Mempertahankan posisi payung agar tak terbang kena angin.

Cih. Si Pangeran Sekolah lagi-lagi sok baik! Emang dia pikir gue bakal terkesan apa? Gerutu Aalea dalam hati. Pangeran sekolah. Ya, memang Arjuna. Si tampan baik hati bahkan pada kentang introvert yang berulang kali mengacuhkannya.

"Gimana? Tadi susah nggak soalnya?" tanya Arjuna.

"Bukan urusan lo," singkat Aalea.

Arjuna hanya menanggapi jawaban ketus Aalea dengan senyum merekah. Senyuman yang bisa membuat siapa saja meleleh seperti es krim di siang hariㅡkecuali Aalea.

Teenfictale #1: Prince Charming Next RoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang