Genap sepuluh bulan. Sepuluh bulan lamanya sejak perdebatan waktu itu. Perdebatan yang pada akhirnya mengakhiri segalanya. Benar-benar mengakhiri.
Mengakhiri persahabatannya dengan Kandhira, dan mengakhiri hubunganㅡyang entah apa namanyaㅡdengan Aalea. Absennya Kandhira dari kehidupan Arjuna bukan masalah, tapi absennya Aalea ... kadang membuat Arjuna merasa sepi.
Biasanya ia melihat Aalea di kantin. Gadis itu sedang tertawa bersama Jaslyn, terlihat begitu bahagia. Entah mengapa Arjuna ingin sekali menyapanya, ingin sekali tertawa bersamanya. Tapi ketika ia ingat kembali apa yang telah dikatakannya sepuluh bulan lalu, niatnya urung. Arjuna terlalu malu pada dirinya sendiri. Menurutnya ia sudah keterlaluan pada Aalea dan tak pantas dimaafkan. Dan lagi, Aalea terlihat lebih bahagia tanpa Arjuna.
Semenjak saat itu pula, Arjuna menyibukkan dirinya dengan berbagai macam les. Dengan dalih fokus UN, Arjuna lebih banyak menghabiskan waktunya di tempat les daripada di rumah. Suasana rumah selalu membuatnya teringat pada Aalea. Di sudut manapun, ada kenangan bersama Aalea. Ruang makan, kamar, ruang tamu. Semua sisi.
Rumah yang sepuluh bulan lalu sudah terasa benar-benar 'rumah' ini sekarang berubah menjadi 'kenangan'. Menyebalkan bagi Arjuna.
Saat ini misalnya, Arjuna menyibukkan dirinya dengan membaca buku. Tapi tetap saja tiba-tiba sekelebat wajah Aalea muncul di kepalanya.
Arjuna menghela napas. Percuma, bisiknya. Ya Allah, tolong beri Aalea kebahagiaan dan jauhkan dia dari penderitaan yang mungkin saja saya akibatkan. Begitu doanya di malam ulang tahun Aalea waktu itu. Doa yang sepertinya tak dikabulkan. Kenyataannya, Aalea menderita. Sama seperti perempuan-perempuan lain yang dekat dengannya dulu. Bunda, Shafeera, Kandhira, dan kini Aalea.
"Woi!" Robian mengejutkannya dari belakang.
"Lho? Mas Rob? Kapan pulang dari Perancis? Kok nggak bilang-bilang?" tanya Arjuna.
Robian, berubah menjadi traveller setelah ia melihat tatapan Arjuna pada Aalea dan bagaimana Aalea memprioritaskan Arjuna waktu itu.
"Kemarin. Tuh gue bawain oleh-oleh." Robian menunjuk paper bag.
"Oh ya, lo mau kuliah kemana? Harvard? Oxford?"
Arjuna menggeleng, "Gak tau gue, Mas."
"Aalea mau ke UI tuh kayaknya."
Deg.
"Kok tiba-tiba bahas Aalea?"
"Kali aja lo mau ngikut dia. Kan lo suka sama dia, Jun."
"Apaan sih lo sok tau, Mas," sahut Arjuna.
"Lah? Emangnya gue salah? Gue ngelihat kok cara lo natap dia. Itu tatapan orang jatuh cinta. Jangan ngebegoin gue deh."
Arjuna menyentuh rongga dadanya. Debaran yang selalu muncul saat nama Aalea diucapkan. Debaran yang selalu mengalun saat Aalea tersenyum. Debaran yang selama ini tak Arjuna sadari. Sebuah sesal merasuki dadanya. Ya, Arjuna sadar bahwa ia jatuh cinta pada Aalea. Tapi sayangnya terlalu lamban, hanya sesal yang tersisa.
"Oke, anggep aja gue jatuh cinta sama Aalea. Tapi sekarang juga udah percuma, gue udah nggak ngomong sama dia dari bagi raport kenaikan kelas sampai sekarang UN udah selesai. Gara-gara tindakan gue yang kelewat bego, semuanya berakhir."
"Apa kata lo? Lo tau nggak sih gue ngerelain perasaan gue buat Aalea karena lo? Dan lo nyia-nyiain dia gitu aja? Berkorban kek, minta maaf kek! Cinta itu buat diperjuangin bukan disia-siain!" seru Robian seraya menarik kerah Arjuna.
"Gue nggak pernah sekalipun nyuruh lo ngelakuin itu kan? Toh sekarang udah percuma. Nggak ada lagi kesempatan. Terlambat."
Bugh!
Sebuah pukulan melayang menghampiri tulang pipi Arjuna. Pemuda itu terhuyung sedang Robian kembali memukul Arjuna dengan kepalan tangannya.Sudut bibir Arjuna berdarah. Robek. Pemuda itu meringis kesakitan. Ia sama sekali tak membalas tinjuan Kakaknya yang menyakitinya. Tinjuan yang sekaligus menamparnya kembali ke realita bahwa ia gagal menjaga Aalea di sisinya. Arjuna lalai. Arjuna terlalu bodoh karena melepaskan Aalea begitu saja dengan sikap apatisnya.
Robian mengempaskan kerah Arjuna, meninggalkan Adiknya yang terbaring di lantai itu dengan amarah yang tak bisa ditahan lagi, "Lo tau lo sekarang kelihatan gimana? Pecundang, Jun. Lo bener-bener orang paling pecundang yang pernah gue temuin! Gue kecewa sama lo!"
Arjuna berdiri. Kembali merasa frustasi dan menendang meja ruang tamunya, Ya, gue ini emang pecundang.
...
Bukannya tidak mau memaafkan, hanya saja Arjuna tak pernah datang membawa permintaan maaf. Bukannya tidak rindu, hanya saja ia berpikir bahwa rindunya satu arah. Bukannya Aalea senang tanpa Arjuna, hanya saja gengsi menahan dirinya. Aalea hanya menyadari posisinya, itu saja.
Aalea tidak mau lagi besar kepala seperti dulu saat ia bersama dengan Arjuna. Berpikir bahwa bahagianya juga bahagia milik Arjuna atau menyangka perannya adalah Cinderella. Aalea menahan rindu serta perasaannya. Menguburnya di lubuk hati paling dalam. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak mengingatnya barang sekali.
Aalea sampai sekarang tidak mengerti mengapa rasanya pada Arjuna belum juga terhapuskan. Meski luka yang disebabkan Arjuna sudah cukup untuk menghancurkan hatinya, tapi rasa itu tak kunjung sirna.
Kini harapannya tinggal satu, mendapat kebahagiaan baru di dunia perkuliahan nanti. Kebahagiaan yang tak akan menyekiknya dan membunuhnya diam-diam.
Kadang kita perlu untuk tahu diri.
Aalea menuliskan itu di sebuah kertas lalu melipatnya menjadi sebuah pesawat. Pesawat kertas itu kemudian diterbangkan melalui jendela kamar. Selain sebuah tulisan sederhana, Aalea juga ikut meberbangkan perasaannya. Seperti debu yang tertiup angin, atau seperti sebuah mimpi di musim hujan.
"Aalea ... tuh udah ditungguin di luar!" Ayah berteriak dari balik pintu. Membuyarkan lamunan singkat Aalea tentang Arjuna dan perasaannya yang sudah seharusnya terhapuskan.
"Iya, Yah." Aalea bergegas menyambar sling bag hitamnya, merapikan penampilan, dan membuka pintu kamarnya. Setelah itu ia menyalami Ayahnya sambil berbisik, "Jangan kasih tau Ibu lho, Yah. Nanti Aalea kena marah."
Ayah tersenyum lima jari dan mengedipkan sebelah matanya. Gadis itu membuka pintu depan. Sebuah buket bunga mawar merahㅡyang mungkin selebar pelukan Aaleaㅡadalah hal pertama yang dilihatnya setelah membuka pintu.
"Happy Graduation, My Tutor!"
Aalea cuma tertawa sarkastik lalu menerima bunga mawar merah yang disodorkan oleh pemuda yang sedari tadi menunggunya di balik pintuㅡFerhandito Ilgy Syailendra. "Cih, acara kelulusan besok kali."
Bukan cuma sampai di situ, Ilgy juga mengalungkan selempang di tubuh Aalea. Selempang yang bertuliskan 'Cum Laude of SMA Nusantara' itu membuat Aalea geleng-geleng kepala.
"Alay deh," cibir Aalea.
"Biarin. Emang lo tutor plus siswa terbaik kok. First love terbaik juga," ucap Ilgy makin lirih.
"Hah? Apa? Nggak denger."
"Bukan apa-apa. Yaudah kuy cabut," ajak Ilgy.
"Bentar gue lepas dulu deh."
"Gak usah dilepas. Biar kayak Miss Universe." Ilgy menarik tangan Aalea membawanya ke dalam mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teenfictale #1: Prince Charming Next Room
Teen FictionArjuna adalah pangeran sekolah yang dicap serba sempurna. Tampan, kaya, cerdas, dan bebas. Empat komposisi untuk kehidupan bahagia. Berbanding terbalik dengan Aalea. Gadis sederhana yang hidupnya penuh tekanan gara-gara Arjuna. Karena Arjuna, Aalea...