30

1.4K 57 0
                                    


Beberapa jam sudah ku habiskan memandangi jam dinding. Menunggu. Ku menunggu detik-detik bergantinya jam. Menunggu waktu bel sekolah berbunyi. Pikiran ku gundah. Ini semua karena Dira. Seharian ini aku jalani dengan tidak semangat. Pikiran ku bercabang kemana-mana. Bayangan ia jalan bersama lelaki kemarin pun menghantui ku. Pikiran ku entah kemana sejak pelajaran pertama. Aku mengutuk pelajaran keempat karena terasa terlalu lama. Detik pun terasa berhenti. Ku tatap terus jam dinding di kelas ku. Tak ku perhatikan Bu Widia yang sedang mengajar di depan. Fokus ku mendengar bel sekolah.

Lima menit lagi, aku mulai gelisah di tempat duduk ku. Detik jam di tangan ku terasa melambat. Menambah kecemasan yang ku tahan dari tadi. Sabar, sebentar lagi, sedikit lagi.

Satu menit. Berkali-kali mata ku menatap pintu luar gerbang sekolah. Enam puluh detik terasa sangat lama. Aku sudah menunggu lebih dari lima jam namun rasanya enam puluh detik ini lebih lama dari itu. Tanpa sadar aku menghitung mundur di dalam hati sejak menit-menit terakhir.

Kringggg

Bel yang ku tunggu pun akhirnya bunyi. Aku langsung kabur menuju parkiran untuk mengikuti Dira secepatnya. Sesampainya di parkiran mata ku di sambut dengan Dira yang memasuki mobil lelaki brengsek tersebut. Mobilnya pun melaju pergi meninggalkan sekolah. Tak ingin kehilangan jejak, aku pun langsung menyusulnya dari belakang. Emosi ku pun memuncak, entah apa yang sedang mereka lakukan di dalam mobil sana. Tertawa bahagia sedangkan disini aku terluka.

Ngebut. Terberkatilah siapapun yang bisa menghindar dari kecepatan motor ku yang berlari diatas kecepatan delapan puluh kilometer perjam itu. Jaket jeans ku pun melayang-layang terbawa angin. Tujuan utama ku seharian ini yaitu mengikuti mereka hingga Dira sampai rumah.

*************

Terkutuk lah lampu merah. Karena nya aku harus menunggu 60 detik untuk menyusul mobil yang membawa Dira. Aku bisa saja menerobos lampu merah di depan namun sayang ada polisi di depan sana. Urusan ku bisa gagal jika aku kena tilang, aku bisa benar-benar kehilangan jejak Dira. Lampu hijau pun menyala. Langsung ku tancap gas hingga kecepatan diatas empat puluh. Terkutuklah sebuah kata menunggu itu. Siapa yang suka menunggu? Membuat penasaran dan penghancur harapan. Hal yang sangat membosankan. Apalagi dalam keadaan genting seperti ini. Kini aku berusaha keras mencari jejak mobil honda jazz merah tersebut.

Lima menit sudah aku mencari jejak mobil tersebut. Sial, sungguh sial. Aku benar-benar kehilangan jejak. Ini semua karena lampu merah sialan itu. Aku terus melanjutkan perjalanan ku, mata ku tertarik dengan mobil yang terparkir di taman dari kaca spion motor. Ku putar arah dan menyusul ke arah taman tersebut.

Kaki ku melangkah memasuki taman dan mencari Dira. Aku duduk tak jauh dari letak mereka berdua. Ku lihat mereka asik mengobrol. Sial. Aku gak bisa mendengar obrolan mereka karena jarak kami tidak begitu dekat. Tak lama lelaki tersebut pergi sebentar dan datang kembali membawa ice cream. Sok romantis! Dia pikir dengan begitu ia bisa meluluhkan hati Dira?

Dering telpon ku pun berbunyi menghentikan mata-mata ku. Dari nomer telpon tak di kenal. Aku coba matikan panggilan tersebut dan fokus memata-matai kemabali. Lagi-lagi sebuah panggilan masuk dari nomer telpon yang sama.mau gak mau aku pun mengangkat panggilan tersebut.

"hallo, ini siapa ya?" tanya ku

".."

"iya saya Natha, ini dari mana ya?"

...

"oke saya menuju kesana sekarang"

Dengan tidak ikhlas, aku meninggalkan Dira dengan lelaki tersebut dengan berat hati. Ada panggilan yang menuntut ku pergi kesana. Aku kembali berjalan ke parkiran motor ku dan meninggalkan taman.

                                    *******************************************

Motor ku melaju dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit. Pikiran ku melayang ke mana-mana di tambah lagi emosi ku yang harus meninggalkan Dira. Tapi kali ini jauh lebih penting. Motor ku pun menerobos lampu merah di depan.

Sesampainya di rumah sakit aku pun langsung menuju ruangan Administrasi mengurus semuanya. Ku tanda tangani semua kontrak operasi. Tak lama dokter pun membawa Dea ke ruang operasi. Aku menunggu cemas di luar. Apa yang terjadi, baru saja kemarin dia sadar dari koma nya. Hampir satu jam lamanya aku menunggu dengan cemas. Aku pun tak tahu apa yang terjadi dengan Dea.

Dokter Ridwan pun keluar dari ruangan operasi.

"bagaimana operasinya Dok? Kenapa bisa begini Dok?"

"Alhamdulilah operasinya berjalan lancar. Sekitar 2 jam lalu Dea mengalami kram perut. Mungkin ia ingin pergi ke kamar mandi saya menemukannya jatuh di di depan pintu kamar mandi, mungkin perutnya terbentur pinggiran lemari hingga jahitan luka tusukannya pun kembali terbuka. Kondisi Dea kini masih dalam keadaan tak sadar karena obat bius operasi. "

"ya tuhan. Makasi banyak Dok"

"jaga dia baik-baik. Saya permisi dulu"

Aku pun masuk ke dalam ruangan. Ku lihat wajahnya yang mulus dan polos. Tampak kasian sekali. Tak ada keluarga nya yang mengetahui, hanya ada aku sebagai keluarganya. Itu sebabnya aku harus lebih extra menjaganya, jangan sampai kejadian ini terulang kembali. Aku bersyukur setidaknya suster cepat datang dan menghubungi ku. Aku menarik selimut sampai sebatas pinggang Dea. Aku melihat jam dinding sudah pukul sembilan malam. Aku memilih untuk istirahat di sofa ruangan itu.


Adira [ COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang