Aku kembali menurunkan kacamataku dan sedikit mengangkat tudung jaketku. Benar. Itu dia dan sedang tertawa seru bersama geng motornya. Dia memutuskanku karena tingkahku? Bukannya dia selingkuh? Lihat. Seharusnya aku tahu dia sudah menyelingkuhiku sejak awal. Bola, motor, travelling. Semua hal!!
Lagi-lagi, tepukan ringan dibahuku. Masih dari cowok yang sama. Dia kenapa?!
4
"kamu gak merasa bersalah udah marah gak jelas?" sekarang, dia tak terlihat menganggap ini lucu dan temannya yang kuhardik, sudah merangkul bahunya, mengajaknya pergi. Tapi dia tetap kekeuh memandangku.
I don't even yell at him for the first place. Kenapa dia yang tersinggung?
Sungguh. Aku sudah terlalu baik pada dunia akhir-akhir ini karena tak keluar dari kamar selama seminggu dan menghabiskannya dengan bertapa hingga semua orang sepakat membuatku marah pada hari pertamaku keluar? Benarkah? Bukan aku yang mencampakkan seseorang. Aku dicampakkan!!
Aku benar-benar menurunkan tudung jaket dan melepas kacamataku sekarang. Membalik topiku hingga dia bisa benar-benar melihat ekspresi kesalku yang mungkin tadi disalah artikannya sebagai keramahan hingga dia keras kepala tetap mengajakku bicara.
"kamu marah bukan kamu yang aku labrak atau kamu terlalu bodoh untuk paham kalau bukan kamu yang aku labrak?" kali ini, temannya perlu mencengkram leher rekannya itu karena dia tiba-tiba maju dengan muka marah dan menggeretakkan gigi.
"apa?" desisnya pelan dengan mata yang mencipit.
"udah Ga." Si teman kembali menyela. "maaf ya mbak." Aku Cuma diam dan cowok yang ditenangkan terlihat jauh dari tenang. Namun akhirnya mundur dan sambil mundur dia bilang, gak nyangka ada cewek yang gak punya sopan santun.
Membuatku tertawa.
Dia sontak berhenti dan berbalik. Menyerangku tajam dengan tatapannya sepertinya sadar kalau aku mentertawakannya.
"apa aku gak boleh ketawa?" mendengar ini, dia menarik lengannya yang sedang ditahan oleh si drummer namun dengan padatnya orang yang melintas, dia malah menyenggol seorang cewek yang berjalan bergandengan dengan temannya.
Aku, tertawa semakin terpingkal-pingkal saat cewek itu terkejut, jatuh dan ikut menarik temannya sekalian.
Tawaku nyaris menutupi teriakan 2 cewek itu. Dengan panggung yang jauh, suara kami jelas terdengar. Membuat lalu lalang terhenti sebentar melihat kehebohan. Si cowok dan si drumer yang sambil meminta maaf membantu 2 cewek berdiri. Aku berdiri ditengah itu sambil tertawa lepas. Tahu bagian yang paling lucu? Cewek itu juga menumpahkan pop ice nya sekalian ke baju. Well, keduanya. Membuat 2 cowok itu minta maaf lebih keras karena korban mereka jelas sudah berdandan maksimal dan mereka menghancurkannya dalam hitungan detik.
Luar biasa.
Air mataku sampai menetes melihatnya. Ini sangat lucu. Apa hak sepatu cewek itu tak bisa patah? Maksudku, ini akan sangat lengkap.
Namun kebahagianku berakhir saat 4 orang itu berdiri. Mereka serentak menatapku galak meski aku tak melakukan apapun. Aku mengangkat bahuku sambil bersiap pergi. Sialnya, orang yang paling tak ingin kutemui sudah berjalan tepat kearahku. Terburu-buru mendekat meninggalkan lapak yang tadi terlihat begitu bahagia mereka huni. Mau tak mau, aku kembali berbalik dan mendapati 2 cowok itu masih minta maaf.
Aku kabur kemana?
"Garra! Piko!" tentu saja, aku tahu itu suaranya tanpa perlu menengok. Apa aku bisa lebih sial lagi? Dia berada di daftar teratas orang yang tak ingin kutemui dan sekarang, dia muncul begitu saja? Lucu sekali. Tak perduli, tetap melangkah sambil mengangkat tudung jaketku serta memakai kacamata tapi dia, malah memanggil namaku sekalian. "Meme?" Kenapa dia sepertinya bertanya? "ada apa ni?" tanyanya pada semua orang.
Aku berhenti bergerak. Menarik nafas dalam sebelum berbalik.
"kamu kenal dia?" manusia yang diduga bernama Garra itu, menunjuk hidungku. Dia harus sadar kalau dibalik kacamata aku melotot padanya. Dan cowok yang sebut saja, si mantan, mengangguk. 3 temannya yang ikut datang entah mengenalku entah tidak yang pasti mereka tak bertanya aku siapa namun jelas mengenal 2 cowok didepanku. Mereka kompak bertanya apa yang terjadi dan sebisa mungkin memberikan solusi.
Aku mundur teratur. Untuk apa coba aku disini?
Langkah pertamaku langsung gagal saat tangan si mantan tahu-tahu sudah menangkap lenganku. Dia sama sekali tak memandangku karena sedang sibuk menciptakan perdamaian dunia dan tak bergeming meski aku jelas-jelas menarik lenganku dengan sekuat tenaga.
Sungguh, tak bisakah siapapun menyelamatkanku sekarang? Bukan Cuma karena ini panas dan keringatku mengalir sebesar jagung, suara bising yang semakin menjadi dari serunya acara hanya membuatku ingin muntah.
"lepasin." Mintaku pelan. Dengan profesional, dia mengabaikanku. Tentunya, salah satu temannya yang kebetulan berdiri dibelakangku melihat apa yang sedang berusaha kulakukan. Tapi saat bertemu mata denganku, dia langsung berkonsentrasi penuh pada sesuatu 30 derajat disamping kepalaku.
Bajingan.
Acara sialan. Cuaca sialan. Dan anak kosanku bertanggung jawab untuk ini.
Hilang kesabaran, aku menghentak dan mungkin karena terkejut, pegangannya terlepas. Sekalian membuat perhatian semua orang kembali kepadaku. Aku menatapnya tapi aku rasa kacamata ini jelas sudah membuat niatku agak kurang tercapai karena tak satupun orang yang benar-benar mengerti apa yang kulakukan.
"nih." Aku menyodorkan sebungkus tisyu wajah dari tasku pada si cewek. "sebaiknya mbak pulang atau bekas esnya gak mau hilang. Minta anter aja sama ni cowok kalau gak bawa kendaraan. Atau," aku menunjuk 2 cowok itu, "kalian bayar ganti rugi. Gak cukup tahu Cuma minta maaf ditengah lapangan kayak gini." Kecuali ingin mengeringkan jemuran aku tak tahu apa yang ingin mereka lakukan dari tadi. "tapi, mbak bisa juga namparin mereka satu-satu dan lupain ini pernah terjadi." Timpalku.
Mereka terdiam. "bisa aku pergi sekarang?" ini, kutujukan pada semua orang.
Saking hebatnya saranku, mereka terpesona.
"ini semua gara-gara kamu." Garra memutuskan untuk tak membuat ini selesai dengan mudah kan? Apa cewek itu ingin diwakilkan menampar? Aku maju dan siap menjawab namun tangan simantan sudah menghadang didepanku. Yang hebat, dia minta maaf atas namaku.
Kenapa aku harus minta maaf?
Tentu saja semuanya hanya semakin buruk saat dia memutuskan untuk menjadi hakim dan tak melepaskanku. 2 cewek itu bubar setelah menerima permintaan maaf super tulus tapi lebih kuduga karena senyum 2 cowok ini. Yang meski sangat menyebalkan, aku tak buta untuk menilai kalau mereka keren. Masalah diselesaikan secara damai dengan nomor hape karena Garra dan Piko sebentar lagi akan naik panggung tak bisa mengantar.
Terus, bisa tolong jelaskan kenapa aku diberi kursi dan disuruh duduk manis dibawah lapak merah ini? Aku disejajarkan bersama mbak-mbak SPG yang dengan ramah menawarkan kartu perdana serta voucher dan sangat keberatan melihat aku yang dengan topi serta kacamata terlihat seperti selebritis yang takut dikenali. Aku tahu, aura bintangku tak bisa diredam walau bagaimanapun. Atau bisa juga karena mereka takut kurampok.
"dia pacar kamu?" akhirnya pertanyaan dari Piko inilah yang kutangkap secara normal setelah kepergian 2 cewek dan sekarang dibelakangku, resmi hanya simantan, Garra dan Piko. Mereka tetap disini sekalian menunggu personel yang lain.
Aku tepat dibelakang simantan. Dia belum sempat menjawab saat aku yang untuk pertama kalinya kembali bicara.
"mantan pacar. Dia mutusin aku seminggu yang lalu. Jadi, dia benar-benar gak punya alasan nahan tas aku dan gak bolehin aku pergi. Kalau dia gak pengen aku teriakin maling, balikin tas aku sekarang karena gak seperti dia, aku mungkin perlu pergi." Aku, mengucapkannya pada 2 orang mahasiswa yang sedang memilih perdana didepanku. Mereka menengok dan aku balas menatapnya. Tapi buru-buru dialihkan oleh si mbak SPG cantik.
Garra dan Piko serentak tersedak teh botol yang sedang mereka hisap sambil bersamaan menjeritkan namaku. "Mecca?!"
"duduk disini aja. Kamu gak tahan panas." Ucapnya pelan. Lalu dia menengok, "Mau minum apa?" tawarnya sambil melihat ke koleksi dagangan minuman dingin didepan lapak.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
That time when we're together (completed)
RomanceContoh, sebagai gadis populer, aku juga harus mengalami ini. "kamu mutusin aku?" setidaknya, suaraku terdengar cukup stabil untuk emosiku yang sepertinya mulai labil. Setelah menghilang selama 2 bulan liburan semester dan aku Cuma melihat fotonya t...