30. The sister

196 21 1
                                    

Lihat? berani-beraninya dia terlambat setelah membuat janji.

Apa dia tahu kalau di luar sangat panas dan aku harus mengarunginya dengan motor sementara dia meluncur kesini dengan mobil? Aku sungguh tak tahu kalau ada kakak yang lebih durhaka dari pada dia.

 Apa dia tahu kalau di luar sangat panas dan aku harus mengarunginya dengan motor sementara dia meluncur kesini dengan mobil? Aku sungguh tak tahu kalau ada kakak yang lebih durhaka dari pada dia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kesal. Aku berhenti menembak dan memandang kesebelahku. Tempat sekumpulan anak SMA yang tadinya mengantri main balapan motor dan beralih menontonku yang sibuk menembak brutal ke layar. Begini-begini, aku penembak jitu.

Tak menyangka aku akan menengok, mereka terkejut dan spontan memberiku senyum tertangkap basah. Setidaknya mereka tak menggoda tapi hanya tersenyum dan menurunkan hape yang kuyakin, sudah punya beberapa fotoku. Aku mengabaikan mereka karena seseorang ternyata mengambil posisi disebelahku.

"battle?" tawarnya. Aku memandanginya beberapa saat. Sepertinya aku kenal. "awalnya aku kira salah orang. Tapi dengar makian kamu. Memang kamu." Dia menoleh.

Oh, dia hanya menoleh seperti menengok dan tak memberikan ekspresi lain sekedar bukti kalau dia sekarang sedang menyapaku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Oh, dia hanya menoleh seperti menengok dan tak memberikan ekspresi lain sekedar bukti kalau dia sekarang sedang menyapaku. Dia mendengarku memaki? Seperti, DASAR FARHAN BAJINGAN! Misalnya. seharusnya dia datang lebih cepat. Aku yakin sempat memaki dengan namanya.

Aku mengembalikan senjata apiku ke ganggangnya dan menyingkir dari sana. Lenganku ditangkap dan mau tak mau aku berhenti karena pump shoes setinggi 9 centi ini jelas tak bisa membuatku berlari. Aku bahkan nyaris mematahkan kakiku dipercobaan pertama memakainya.

"kamu gak lagi pura-pura gak kenal aku kan?" aku menarik lenganku. Dia melepasnya dan terlihat menunggu jawaban. Setidaknya, siksaan memakai sepatu ini terbayar dengan tinggi yang kudapat. Dan kalau boleh kutambahkan, aku terlihat sangat pantas memakainya. "Meme kan?"

Apa aku kelewat cantik untuk dikenali?

"ya, aku dengan rambut yang disisir." Jawabku.

"kayaknya bukan Cuma rambut yang disisir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"kayaknya bukan Cuma rambut yang disisir. Kamu dandan demi nonton Luki?" Dia tahu aku berniat menonton Luki? Apa aku menaruh pengumuman disuatu tempat?

Aku mendengus dan menghela rambutku dengan anggun. "aku tahu aku kecantikan buat sekedar ketemu Luki."

Dia memberiku ekspresi kosong. "aku Cuma bilang kamu dandan gak bilang kamu cantik." Ujarnya terlihat sangat selesai dengan kepercayaan diriku. Tanganku berhenti dari sok memainkan rambut. Bisakah dia tak perlu menyangkal? Aku perlu pujian setelah muncul dengan betis yang sepertinya akan patah diatas sepatu ini.

"dan kenapa kamu repot sapa aku yang gak cantik ini?" aku akan selalu ingat kalau dia pernah mengabaikan bbm ku.

"aku gak sapa kamu. Kita Cuma kebetulan ada digame yang sama." Alisnya naik sebelah dengan sombong. Wah, cowok ini benar-benar. Aku memandangnya beberapa saat sebelum berputar dan bersiap pergi tapi dia kembali menahan tanganku. "aku juga bakal ketemu Luki, kita bisa bareng."

"kamu baru aja ngajak aku jalan?"

"aku cuma ngajak kamu bareng karena tujuan kita sama."

Sebelah alisku terangkat dengan skeptis. Aku menarik lenganku yang masih dipegangnya. "aku gak bilang mau kesana." Tapi dia tak melepas lenganku kali ini.

"kamu mau kemana?"

Kenapa dia bahkan perlu tahu?

Aku sudah akan menjawab saat namaku dipanggil dari arah depan game zone. Suara yang sangat kukenal bahkan disaat aku koma sekalipun. Ini dia, si nenek sihir didalam tubuh Putri salju.

Berbalik, aku mendapati kakakku dan pacarnya. Aku tebak itu pacarnya karena mama bilang sepertinya dia punya pacar baru yang begitu hebat dan kami bertemu hari ini dalam rangka perkenalan.

Aku tak perduli dia pacaran dengan siapapun tapi kenapa aku harus selalu terlibat? Aku bukan calon mertua cowok itu dan paling cuma menjadi adik ipar yang sering meminta uang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tak perduli dia pacaran dengan siapapun tapi kenapa aku harus selalu terlibat? Aku bukan calon mertua cowok itu dan paling cuma menjadi adik ipar yang sering meminta uang. Aku pastikan sendiri akan memperlakukannya dengan baik asal hubungan timbal balik kami berjalan dengan lancar.

Dia tak benar-benar tersenyum. Cuma sedikit mengangkat ujung bibirnya sambil menepuk puncak kepalaku. Excuse me! Aku lebih tinggi. Bisakah dia tak mengacak rambutku seperti aku anak kecil?

"long time no see. Kamu kelihatan sama." Itu kalimat resmi pertamanya sambil memberiku pandangan sapu jagat. Memandangiku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Sama persis dengan yang sedang kulakukan.

Well, aku rasa aku lebih cantik dan jauh lebih tinggi dari padanya. Biarpun tas nya jelas lebih mahal. Tapi melihat pacarnya memberiku senyum begitu ramah, aku yakin aku cukup mempesona. Aku, versi berbie yang lebih cantik dari kakakku. Dia harus tahu itu.

"dan Jedi kelihatan beda." Tambahnya.

Jedi? Aku mengikuti pandangan arogan kakakku itu, dia sedang melihat Garra yang tadinya memegang lenganku jadi menggandeng lenganku. Dia belum menarik tangannya?!

Dengan cekatan aku melepas tangannya dan menariknya kedalam genggamanku. "ini Garra. Pacar aku." Bisa kurasakan tangan Garra yang tadinya binggung sekarang mendadak bergerak minta dilepaskan. "Garra, ini Naya."

Dengan sangat pongah tapi karena Garra lebih tinggi, Naya tak bisa benar-benar terlihat mengintimidasi, dia mengulurkan tangan.

"Naya. Kak Naya." Ulangnya. "Dan ini Fadly." Dia memandangku, "kak Fadly."

Garra jelas melihat aku memutar bola mata sambil bergumam pelan sebelum tersenyum manis dan menerima uluran tangan Fadly. Oh, kak Fadly.

"Fadly." Aku menyambut tangannya setelah Garra. "kamu mirip banget sama Naya. Persis kayak di foto." Dia memberiku senyum yang tak kalah ramah.

Belum sempat aku menjawab, Naya mendahuluiku. "foto dia yang ingusan makan ice cream itu maksud kamu? Iya, mirip banget emang." Dia terkekeh. Tawa nenek sihirnya yang melegendaris.

Fadly buru-buru menggeleng. "bukan beb. Yang dia di pantai.. yang..."

"aku tahu yang mana." Potong Naya. "kamu udah beli tiket?"

"belum. Kan kamu yang beli."

"bukannya aku bilang beli dulu ntar di ganti?"

"bukannya kamu sering bilang gitu terus gak pernah ganti?" aku memandang Fadly. "dia orangnya suka begitu loh. Pura-pura lupa gak jelas." Fadly cuma tertawa tapi Naya memberiku pandangan laser. Aku Cuma mencibirnya.

"ya sudah. Ayok." Dia langsung berputar menggandeng Fadly dan berjalan lebih dulu.

Aku tak jadi melangkah karena Garra tak bergerak. "kenapa?"

"pacar?"

"kenapa? Aku terlalu cantik buat jadi pacar kamu?" Aku menarik tangannya yang memang masih kugenggam. Dia tak bergerak. "Ayok. Kamu boleh pilih mau nonton film apa." Karena aku dan Naya tak akan benar-benar peduli film apa yang kami tonton.

***

That time when we're together (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang