51. The 'perhaps' option

173 20 0
                                    


51 the 'perhaps' option


Oh. Well.

Mereka mengintrogasiku begitu tiba di kosan. Semua anak annisa berkumpul tanpa perlu dikumpulkan. Sekejap mereka sudah ada dikamar kecilku, ingin mendengar semua detail yang terjadi. Seperti, seberapa kaya Garra dan hal-hal sejenisnya. Salah satunya, apa kami sudah bertengkar lagi? Seperti, memangnya sudah berapa kali kami bertengkar selama seminggu kemarin?

"mau kemana?" mereka menyadari kalau aku bersiap pergi.

"kampus. Ngenet. Ngerjain tugas." Tekanku dengan lantang.

"sekarang?"

Menghela nafas, aku Cuma melambaikan tangan dan pergi bersama kakiku yang masih sakit diajak berjalan. Perlahan tapi pasti aku tiba di kampus. Duduk dispot paling nyaman aku membongkar laptop. Ada baiknya aku menyibukkan pikiran dengan hal-hal yang lebih bermanfaat. Ada terlalu banyak drama yang kulalui akhir-akhir ini.

Semangatku hampir hilang saat sadar berapa banyak tugas yang harus kuselesaikan. Seperti, aku Cuma tak masuk 2 minggu kenapa tugas ku bisa begitu banyak?

Berulang kali aku menarik tangan yang perlahan bergeser mendekati hape.

Konsentrasi meme! Konsentrasi!!

Tapi well, yang lebih menyakiti hatiku adalah hapeku yang pada kenyataannya tak berbunyi sama sekali. Hening senyap seperti sekelilingku. Biarpun ada beberapa mahasiswa lain, wajah kusut kami terlihat sama jadi tak banyak suara yang keluar selain bunyi angin yang meniup dedaunan kekanan kekiri dan ketikan pelan dari keyboard laptop.

Saat hapeku pada akhirnya berdering, nama kakak kandung berasa tiri muncul.

Aku membiarkannya berdering hingga berulang kali baru mengangkatnya.

"kenapa?"

"kenapa?!" pekiknya dari seberang. Menghela nafas dan sedikit menjauhkan hape, aku mendengarnya mengomel panjang. Awalnya marah kenapa aku tak memberi kabar kalau aku kena tabrak. Kemudian merepet kesemua hal. "memangnya kamu ironman. Sok gak ngasih kabar kena tabrak. Gimana keadaan kamu sekarang? Benaran udah gak papa? Kepala kamu gak papa?" katanya aku seharusnya melindungi kepalaku karena aku tidak boleh lebih bodoh dari sekarang.

Well, dia toh sudah mendengar semuanya dari Putri.

"gak. Cuma lecet doang. Gak parah kok. Please deh gak usah rempong." Dia makin menyemprotku. Aku Cuma diam sambil membaca artikel.

"me. Kamu gak papa?"

"apanya?"

"suara kamu beda. Kenapa?" aku menggeleng. "Jedi? Garra?"

Mulutku terbuka. Tanganku berhenti dari scrolling. Perlahan aku menggigit bibir. Aku benci Naya yang selalu tahu bagian paling sensitive untuk dibahas. Dia bisa sangat peka terkadang.

"kemarin baik-baik aja. Ribut kenapa? Dia ngapain?"

Kejadian paling hebat lainnya adalah disaat Naya tahu kapan dia harus menuduhku atau tidak. kali ini, saat dia bertanya 'dia kenapa?' aku sepenuhnya melupakan artikel yang sedang kubaca.

Menghela nafas. Aku menjawab tak ada. Dia menghela nafas. Dia bilang bisa menelpon Garra langsung kalau aku tak mau bicara. Mau tak mau aku jadi bercerita. Dimulai dari yang paling awal. Sangat awal, seperti kembali ke warung bakso dimana aku dengan tak senonoh duduk di kursi kosong didepan Garra dan mantannya yang datang menuduh kami pasangan selingkuh. Sampai yang paling baru, kompensasi bensin. Minus adegan dewasa nya.

Dia diam mendengarkanku.

"kayak... sekedar gak nyia-nyiain bensin? Maksudnya apa coba?" benang kusut yang kugambar dikertas hvs sekarang sudah hampir memenuhi seluruh kertas tanpa kusadari. "sejahat-jahatnya, aku aja gak pernah ngomong gitu ke cowok."

"kamu suka sama dia?"

Sekarang tanganku menggambar bunga-bunga kecil dihalaman kertas yang baru. Sebentar lagi aku akan menghabiskan tinta pena ku pada hal yang benar-benar tak berguna.

"gak tahu." Entahlah. Aku tak yakin apa yang kurasakan sekarang. Yang paling kuingat kalau aku sangat sakit hati mendengar kata-katanya semalam. Apapun yang kurasakan, kata-kata itu cukup menutupi semua hal lain.

Naya berdehem. "mungkin kalian sama-sama belum siap dek. Kamu belum siap buat punya pengganti Jedi. Dia belum siap buat punya pengganti nababil."

Mungkin.

"lagian, jurus cepat buat move on itu bukan cari cowok baru tapi cari cara buat diri kamu happy. Kamu punya hobby gak sih? Coba punya hobby pasti baper Jedinya gak bakal lari ke Garra. Punya aktifitas makanya. Sibukin diri. Lakuin sesuatu yang bikin kamu senang. Kamu bisa mencintai diri sendiri gak mesti pake cinta orang lain. Kamu bisa bahagia sendiri gak pake perlu dibahagiain segala. Cowok bukan diganti cowok baru tapi ya kalau dalam proses itu ketemu cowok baru, namanya bonus."

Tanpa sadar, aku mengangguk. Senang ini bukan video call apalagi tatap muka.

"udah. Focus aja sama kuliah. Kapan kamu uts?"

Begitu saja dia menyetir pembicaraan kami ke hal lain. Sebelum kemudian dia bercerita tentang pekerjaannya. Lalu dia mewanti agar aku cepat sembuh dengan sempurna karena mereka sebentar lagi akan mengeluarkan koleksi baru. Dia mengomel tentang banyaknya yang perlu di edit pada hasil fotoku. Lutut yang lecet, siku yang lecet dan bekas jahitan. Seperti lecet dan jahitan itu Cuma sekedar coretan bukan kulitku yang terkikis aspal atau robek dicabik rantai tas dan susah payah sembuh dengan betadine cina.

Betadine cina. Lukaku langsung berdenyut mengingatnya.

"nih aku lagi bukan IGnya Garra. Nababil apa namanya? Kok gak ketemu. Nabillah sih banyak. Emang ada ya orang namanya nababil?"

Aku mendengus tertawa. "ada. Nayara Khofifah Azanty aja ada apalagi sekedar nababil."

Dia melaknatku.

Kalau ada yang paling dibenci Naya selain aku mencacinya adalah, nama panjangnya.

***

That time when we're together (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang