47. Healing time

182 22 2
                                    

47 healing time

Hari-hari sakitku kali ini sungguh membuatku tersiksa. Jangankan untuk bergerak, aku bahkan susah untuk makan. Meski aku sangat ingin makan, mengingat kekamar mandi bisa sangat merepotkan, ini membuatku menahan diri dari banyak minum. Tapi sumpah, rasanya aku ingin pipis setiap 5 menit sekali.

Jangan tanya rasa sakitnya. Obat luka cina yang mereka sebut ampuh itu sempat kukira membakar kulitku daripada sekedar mengobati. Berapa kalipun, aku selalu menangis.

"kamu yakin bukan lagi balas dendam?!" pekikku sambil menahan tangan Putri yang siap menumpahkan obat luka kejam itu. Mereka jelas menunmpahkan terlalu banyak untuk sekedar menyembuhkan lecet.

"uuh... suara kamu udah kencang. Udah sehat berarti." Sergahnya sambil menepis tanganku. "gak ada kabar apapun dari polisi?"

"gak ada. Yang ada malah dia nelponin terus gak jelas." Aku memang tak berharap banyak. Tak ada keterangan apapun yang bisa kuberikan karena aku Cuma melihat mobilnya. Dan diantara yang melihat, tak ada yang cekatan untuk sok mencatat no platnya. Tak menyangka ada yang akan menabrak lari gadis secantikku.

Putri malah menyiram luka diperutku sekalian dengan obat sadis itu. Aku menjerit gila. Air mataku bercucuran saking perihnya. Dia pasti akan membunuh banyak orang kalau mejadi dokter.

Jeritan kesakitanku mungkin terdengar sampai antartika karena tamu kami tak merasa perlu mengucapkan salam, dia langsung mengintip dari pintu.

"hai me."

"Diko."

Pintu mendadak terjeplak. "PIKOOOO!" berulang kali dia menyebutkan namanya membuat Garra yang mengucapkan salam terabaikan.

Jenis sakitku membuat pengunjung harus masuk. Mematahkan larangan cowok dilarang masuk. Mereka masuk bersama sesuatu yang kuduga makanan. Yang disukai anak kosanku kalau yang datang Garra, dia selalu membawa cukup makanan untuk semua orang.

"gimana? Udah baikan?"

"kamu kira aku anak avenger abis luka langsung sembuh?"

"kamu lebih kelihatan kayak musuhnya avenger."

"kalau tanganku sehat, kepala kamu mungkin udah gak bulat lagi animo." Aku membuat gerakan akan memukulnya dan dia menangkap tanganku. Well, aku cukup begitu bersyukur setelah 2 hari rasa sakitnya sudah sedikit berkurang. Sedikit. Tukang urut yang dipanggil Kayla sungguh ajaib. Bagaimana mungkin dia bisa punya kenalan tukang urut? Anak itu memang sering tak terduga.

"animo?"

Anak itu kaget aku bisa mengubah namanya dengan begitu kreatif.

Mereka ngobrol seru diruang tengah sambil menikmati buah-buahan. Aku tersandar disofa memeluk bantal. Berusaha untuk tak ikut tertawa atau sekedar berteriak. Mereka bisa begitu berniat membuatku kesakitan terkadang.

Disaat semuanya sedang riuh, pak pos datang. Putri yang berdiri menyambut surat. Surat itu untukku tapi bukan dari nama ataupun alamat yang familiar.

"lain kali kamu mungkin mati."

Cuma itu yang tertulis diselembar kertas hvs.

"gak ada alamat." Meko menurunkan paket yang tadi bolak balik ditelitinya. Sok berusaha menemukan petunjuk "bukannya itu berarti kemaren bukan tabrak lari?"

Semua orang memandangku. Aku angkat bahu.

Mereka semua panic. Semua orang panic. Rapat mendadak, mereka putuskan kalau aku tak aman untuk tinggal dikosan dan mengirimku untuk tinggal ditempat teraman. Tiba-tiba saja tempat itu jadi rumahnya Garra.

"yang abis geger otak itu, aku apa kalian?" Mereka membahas surat itu untuk beberapa saat. Berspekulasi siapa yang mungkin melakukan ini padaku. Meski nabillah ada di daftar atas, aku jelas orang yang sepertinya punya banyak musuh.

Kisah kehidupanku dibuka ditengah khalayak dan aku terdengar seperti pembunuh berantai yang pasti punya banyak keluarga korban yang akan menuntut balas. Sungguh menakjubkan. Tertabrak atau tidak, mereka jarang sekali menjadikanku korban.

Bosan, aku menekan handsaplast yang tertempel di siku kanan Garra. "luka?"

Dia berbalik. Menengok padaku yang bersandar di sofa. "jatuh waktu main futsal."

"sini aku obatin." Garra tak sempat membantah karena aku menarik perban kecil disikunya itu tanpa ampun. Sebelum kembali dengan obat cina yang baru saja mengering di lukaku. Dia bilang tak perlu tapi aku bersikeras.

Lecetnya baru. Begitu terkena betadine cina, dia langsung menarik sikunya dari jangkauanku. Berhubung tangan kiriku masih memegang lengannya, aku malah ikut tertarik dan pose aneh kami itu berakhir dengan aku mendarat di dadanya.

"kamu sengaja." Kecamnya sambil memegang kedua bahuku, membantuku kembali duduk dengan benar.

Menahan tawa aku Cuma angkat bahu. "sengaja apa? Sini. Belum selesai."

Setidaknya harus ada orang yang tahu betapa pedihnya obat cina itu.

Aku bercerita tentang betapa membosankan menjadi orang sakit dan Garra yang terlihat tak punya pilihan lain selain mendengarkan sambil membuka kacang. Siapa suruh mereka membawa kacang kulit. Meski aku cukup mampu membuka kacang sendiri, aku menolak untuk melakukannya. Sementara kubu lain sibuk berspekulasi dan mengubah kisah kecelakaan biasaku ini menjadi cerita elit sekelas james bond.

***

That time when we're together (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang