37
Aku menarik nafas panjang.
Mengeluarkannya lagi.
Menarik lagi.
Mengeluarkan lagi.
Dan begitu seterusnya sekitar 30 menit.
"kamu tidur sambil duduk?"
Mataku terbuka. Menatap orang yang mengajakku bicara beberapa saat sebelum memejamkan mataku kembali. Kami habis merayakan ultah Putri semalam. Setelah makan kami putuskan untuk nonton sampai pagi. Lupakan kalau itu malam senin.
Dia.
Benar. Memang sudah waktunya dia muncul. Aku perlu semua orang untuk muncul dan mengganggu ketenangan hidupku untuk memastikan kalau semester ini akan sama buruknya dengan semester kemarin. Aku bahkan heran kenapa dia perlu waktu 2 minggu untuk muncul. Seharusnya pertemuan ini sudah terjadi di minggu pertama.
Seperti, tepat setelah anak kosanku merasa perlu Me-reinvite Garra di bbm. Mengiriminya pesan yang sampai sekarang tak kuketahui apa karena mereka mengirimnya disaat aku tidur. Aku bahkan nyaris tak tahu kalau mereka menginvite Garra sampai melihat kontak anak itu muncul di update status. Serius, aku perlu mengancam akan membuang kuali Ningrum agar dia mengaku kapan kejadian invite ini terjadi karena kebetulan, aku yang punya hape, tak tahu kalau ini terjadi.
Namun, entah kenapa dia akan selalu sepaket muncul bersama Piso.
"PIKO. PIIIIKKKOOOOOO." Dia menutup laptopku tanpa alasan yang jelas dan memajang mukanya Cuma beberapa centi didepan mukaku. "Piso? Kamu pikir aku pisau? Oke, anggap pisau karena sebentar lagi aku mungkin bakal tusuk kamu sekalian."
Plak!!!
"Mecca!!" Piso menghantamkan keningnya ke atas laptopku yang baru saja ditutupnya. Dia langsung kembali mendongak setelah kepalanya kupukul.
"minggir. Mulut kamu bau." Tak diam namun dia toh mundur dan duduk bersila didepanku dengan Garra yang masih tetap berdiri saja disebelahnya.
Senin sore yang cerah dan aku menghabiskannya di pinggir danau kampus. Diatas rumput hijau. Menjauhi acara senam aerobik anak kosan yang entah kenapa di semester ini jumlah jamnya di tambah. Mereka tak terlihat tambah kurus atau bahkan sekedar bugar dengan aerobik itu namun ngotot menambah jam. Mereka seharusnya menyadari kalau aerobik gila-gilaan itu tak ada gunanya kalau jam makan mereka juga ditambah.
"tidur?" dia melambaikan tangan di depan mukaku.
Membuka mataku dan kali ini beserta plototan. "Yoga! Aku yoga dan kamu gak perlu tahu." aku berdecak dan dia balas mendecak. "teman kamu gak duduk, itu artinya dia gak mau mampir. Angkat pantat kamu, sana pergi."
Aku punya yoga yang perlu aku lakukan.
"kamu jelas-jelas tidur." Piso sialan. Kupastikan aku melotot dengan benar sekarang. anak ini sepertinya terlalu biasa diplototi sampai tak bisa mengartikan apa arti plototan.
"kamu mau apa?" aku yakin tak punya urusan dengannya.
"bukan aku tapi dia." Dengan begitu, dia menarik lengan Garra hingga cowok itu terduduk. Tak begitu mulus karena tarikan itu kencang dan dia menghantamkan pantatnya. Meski rumput, tetap saja itu pendaratan yang tak sempurna. Dia terjengkang. Lalu untuk beberapa saat hanya suara Garra yang memaki Piso.
"Piko. Piko." Dia menarik nafas panjang. "ya sudah. Ngomong aja." Setelah itu dia pergi. Meninggalkan aku dan Garra duduk berhadap-hadapan.
Aku kembali bersila dengan tangan didada. Melakukan satu-satunya pose yoga yang kutahu sambil menunggunya bicara. Bicara? Dia bahkan tak menatapku. Beberapa saat menatap sesuatu yang sepertinya dibelakangku. Hingga aku berbalik dan saat aku kembali menengok, dia sudah menengok padaku. Lagi-lagi, tak bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
That time when we're together (completed)
RomanceContoh, sebagai gadis populer, aku juga harus mengalami ini. "kamu mutusin aku?" setidaknya, suaraku terdengar cukup stabil untuk emosiku yang sepertinya mulai labil. Setelah menghilang selama 2 bulan liburan semester dan aku Cuma melihat fotonya t...