58. It is over

208 23 0
                                    

58 it is over

Suasana kosan sangat horror sejak berantemnya dua orang yang terkenal paling konyol di rumah. Biasanya, setiap pulang akan selalu terdengar nyanyian nyaring super sumbang berupa lagu daerah yang dinyanyikan Vina dan ditimpali Kayla. Kalau dirasa kurang ramai, mereka akan menggetok kuali milik Ningrum yang tak bersalah sama sekali tapi harus menghadapi kebrutalan 2 gadis itu.

Garra mengantarku pulang tanpa obrolan. Aku tak tahu ingin membicarakan apa dan kami sepertinya memang lebih baik tak berbincang. Disaat aku mengucapkan terima kasih, dia Cuma mengangguk dan pergi saat aku masuk. Mendapati Ningrum yang selonjoran sambil memeluk buku. Bianca dan Putri yang sedang sibuk didepan laptop masing-masing. TV yang dibiarkan hidup tanpa suara. Mereka kompak menggunakan headset dan sumpah, tak ada suasana malam yang lebih angker dari pada ini. Bahkan melebihi keangkeran cerita horror kamar mandi kami yang melegendaris.

"mereka belum baikan juga?" mengikuti mereka, aku menghenyakkan diri di sofa keras kami. Mereka mengangguk tapi tak ada yang kembali bicara.

Kepalaku masih dipenuhi dengan Garra.

Sebelum akhinya semua tugasku terlintas dan Ujian akhir semester yang sebentar lagi muncul. Saat Bianca akhirnya kembali ke kamar karena mau ngeprint, aku dibangunkan oleh Putri. Dan itu, jam 3 pagi.

"kenapa gak bangunin dari tadi?"

"biar ada yang nemenin lembur depan TV." Sahutnya sambil masuk kamar.

Sialan.

***

"aku gak kuat lagi makan." Si dokter mendorong mangkok baksonya perlahan. Aku memperhatikannya dari balik jus. "sate Madura, sate Padang. Sekarang bakso?"

Dengan perlahan aku mengunyah bakso. Bagaimana dia bisa tumbuh besar kalau makan segini saja sudah kalah?

"roti, kue. Kamu lapar apa stress?"

Sebenarnya aku bertanya-tanya kapan dia meledak. Tapi kesabarannya sangat hebat. setelah tiga hari menemaniku yang tak jelas mau apa, dia baru bertanya. Di hari pertama aku seharian di puskemasnya. Hari kedua aku menyeretnya ke mall. Minta dibayarin nonton dan kemudian main. Hari ketiga aku mengajaknya kuliner.

"kan aku gak minta ditraktir." Bantahku. Tapi dia benar menaruh sendok garpunya kali ini. Kami di alun-alun kota. Mungkin pertama kalinya aku mengajak seseorang bukannya diajak. Sungguh, kapan terakhir aku pergi kesuatu tempat tanpa unsur paksaan?

Tak menjawab, aku Cuma menyeruput kuah. Sebelum menjajah baksonya si dokter yang tak tersentuh. Begitu selesai, aku menyeretnya berkeliling lagi. Dalam prose situ dia menuduhku makan tanpa baca Basmallah makanya tak pernah kenyang.

Kami beriringan berjalan. Melintasi lintasan manapun yang lenggang. Berhubung ini sudah agak malam, hiruk pikuknya sudah tak seramai sore.

"jadi, Kayla sama Vina belum juga baikan?"

"belum. Udah mau dua minggu mereka masih perang dingin dan gak mau satu ruangan. Kalau ada Kayla, Vina melengos. Ada Vina, Kayla melengos. Sumpah. Horror banget. mungkin harus berantem sekali lagi sampai mereka bisa baikan. Gak ada yang jadian tapi mereka tetap berantem." Aku mengajak anak kosan membunuh Ahmadnya sekalian tapi mereka bilang itu terlalu ekstrim. Berdasarkan pantauan Ningrum, sekarang tak satupun dari mereka yang pergi pengajian. Ilmu gak dapat, musuhan abadi.

"skripsinya Putri gimana?"

Aku menjilat es krim sambil menghindari balon yang disodorkan mamang-mamang. Seperti, dengan harapan apa dia memintaku membeli balon?

"sedih. Mesti ulang lagi dari nol. Aku sampai gak berani ganggu dia. Senggol bacok pokoknya. Mungkin bakal bareng aku tahun depan. Kalau Bianca paling telat Desember. Jadi, dirumah itu yang paling normal Cuma Ningrum." Satu-satunya yang masih terlihat manusia diantara 2 orang sakit hati dan 2 orang galau skripsi.

Dengan cekatan, dia menarikku yang sudah berniat mendamprat seseorang yang tak sengaja menabrak. Mengalihkan perhatianku dengan bertanya.

"trus, kamu sendiri gimana?"

"sibuk sendiri aja. Gak ada yang bisa diajak sibuk. Minggu depan udah UAS. Abis itu KKN. Abis tu masuk lagi. Trus mulai menjelang semester kramat. Trus lulus." Sungguh, aku tak sabar untuk lulus biarpun belum tahu habis lulus mau ngapain. Setidaknya, aku sudah lulus. Dan itu masih paling cepat setahun lagi. Aku berharap waktu cepat berjalan tanpa alasan yang jelas.

Itu membuatku teringat.

"tunggu, kamu habis pengabdiannya akhir bulan ini juga kan? Habis itu gimana? Balik?"

Dia mengangguk. "iya balik. Kita LDR dong me."

Aku menoleh. "yes. Akhirnya gak ada yang bakal tiba-tiba ngajak lihat bazaar tengah hari bolong. Tapi gak ada yang traktir makan lagi. Kok kayaknya sedih kalau kamu udah gak disini. Nanti kalau galau aku main kemana?"

Si dokter ngakak. Setelah memandangiku dengan heran, dia ngakak. Aku mengeplaknya agar berhenti tertawa dan bertanya kenapa tertawa dia jadi semakin tertawa. Butuh beberapa saat agar dia berhenti dan disaat dia berhenti, aku sudah sangat kesal.

Mengelap air mata di sudut mata dan habis batuk beberapa kali dia baru bicara. "gak, lucu aja kata-kata kamu barusan. So, ini benaran lagi galau kan. Coba diceritain. Biar besok kita main di puskemas aja."

"siapa galau?" Dia memberiku pandangan mencela. "aku bukan galau. Cuma belum ketemu jawaban aja."

"kalau suka ya suka aja. Masih terlalu muda me buat diperumit."

Aku berbalik. Melotot. Dia menunggu semburanku tapi akhirnya aku tetap diam.

Bukan aku yang memperumit. Aku Cuma bingung. Aku dan Garra terkesan terlalu cepat dan terlalu lambat sekaligus. Sungguh. setiap ingat namanya entah kenapa aku jadi kesal. Sudah seminggu sejak terakhir bertemu. Dia tak mengirimku pesan apapun dan semua orang terlalu sibuk untuk perduli pada kami.

Biasanya ada Farhan yang selalu sok memantau tapi dia sudah menghabiskan semua kepeduliannya pada Putri yang akhir-akhir ini sangat mengerikan. Kalau dia biasanya cabe level 7 sekarang sudah 14 dan setiap hari bertambah.

Kuliahpun tanpa sadar aku duduk ditempat yang jauh dari duo itu. Disaat istirahat kami Cuma sesekali berkumpul tanpa obrolan yang jelas dan aku kebanyakan jadi geng gorengan kantin kampus dari pada ikut mereka makan diluar.

"entahlah. Lihat nanti." Karena sepertinya anak itu memutuskan untuk berhenti melakukan apapun yang dilakukannya kemarin. Perlahan ini kembali ketempat semula meski aku sungguh berharap aku tak kembali patah hati melihat Jedi. "eh entar perlu pake perpisahan gak?"

Dia bersandar di kursi taman yang kami duduki sejak tadi. Memperhatikan pasangan yang lalu lalang dengan pikiran yang entah kemana. Dibawah lampu taman yang terang diatas kami, aku melihatnya tersenyum kearahku dari balik kacamatanya.

"masih ajaib aja rasanya bisa kenal kamu Me. Cewek kecil yang makannya kayak kuli tapi judesnya minta ampun."

Aku mendengus. "kayak situ hebat. Ada emang dokter yang ngomong gemetaran?"

"aku gak gemetaran."

"gak. Kamu grogi."

"oh. Emang apa beda gemetaran sama grogi?" tanyanya. Aku menepuk-nepuk rambutnya dengan gemas. Bagaimana dia ini dokter. Aku tak akan percaya kalau bukan karena pernah dirawat. Kenapa aku jadi ingin menangis?

Dia menggandeng tanganku saat pulang. Bukan aku, tapi dia. Aku ragu dia menganggapku perempuan karena dia terlihat seperti akan berlindung dibelakangku kalau didepan kami ada preman.

***

That time when we're together (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang