49. Being a refugee

189 22 1
                                    

49 Being a refugee

Aku tahu Garra kaya hanya saja, aku tak menyangka kalau dia benaran kaya. Rumahnya cukup jauh dari kampus. Terletak agak dipinggiran kota. Rumahnya berpagar tinggi dan tak terlihat sama sekali dari jalan. Tertutup oleh rimbungan pohon di halamannya yang luas. Tempat ini akan punya persentasi di bom jauh lebih tinggi daripada kosan kami.

Gerbangnya terbuka otomatis saat dia membunyikan klakson.

"wah." Bukan suaraku tapi suara Bianca dan Putri dari kursi belakang. 2 orang yang akan menemaniku untuk malam ini karena mereka dua orang yang punya rasa ingin tahu paling tinggi. Ditengahnya ada mino yang langsung menjelaskan tanpa diminta.

Malam hari tapi lampu jalan menuju rumahnya bersinar terang. Wah yang dimaksud 2 temanku itu, wah pada rumah mewah kepunyaan keluarga Garra. rumah itu 2 lantai tapi sepertinya sebagian besar berdinding kaca. Kami tak masuk lewat depan tapi berhenti di garasi yang gelap gulita.

Turun dipapah Garra, aku berada dibelakang mengikuti tim terpesona yang dipandu oleh miko. Dia berjalan paling depan menyusuri lorong. Lampunya menyala saat kami melintas dan kembali padam. Sungguh, ini seperti memasuki rumah hantu. Sepertinya ujung lorong ini ruang tengah tapi kami belok kanan menaiki tangga. Lampu dibelakang padam, lampu diatas tangga menyala. Bianca memeluk Putri erat dan bilang kalau mereka seperti memasuki rumah berhantu. Jelas bukan Cuma aku yang mengangap rumah ini seram. Apa mereka tak sanggup bayar listrik?

Setibanya diatas tangga barulah seluruh lampu dinyalakan. Jelas master saklarnya ada diatas. Aku masih tertatih ditengah tangga saat lampu menyala tapi bisa menangkap dengan baik apa yang membuat kedua temanku terpesona.

Lampu membuat kami bisa melihat dengan baik seluruh ruangan.

Ruang tengah yang kami lewati tadi sungguh besar dan dari lantai dua lampu hiasnya terlihat sangat indah tergantung dibalkon tinggi. Semua bagian depannya adalah kaca dengan berbagai bentuk. Sekilas ini terlihat seperti katedral. Hanya saja, nyaris semua barangnya ditutup kain.

"dari pada debu." Dia menjawab pertanyaan yang belum sempat kutanyakan.

Mereka perlu menyiapkan kamar jadi sebagai orang yang cidera, aku Cuma duduk di sofa ditemani satu bungkus keripik yang kuminta paksa. Awalnya tak ada yang ingin mencarikanku snack sampai aku mengancam akan menjerit lebih kencang.

Farhan yang menyusul melihatku dari pintu kamar dengan penuh kebencian setelah aku tak ingin membaginya keripik barang satu keping pun.

Jam 10 malam semua orang terlalu capek untuk membuat obrolan. Jadi kami kembali kekamar dengan cepat. Kami tidur bertiga diatas kasur kamar tamu yang luas dan super empuk. Dalam sekejap, semuanya sepi dan aku Cuma memandang langit-langit putih kamar dengan mata yang masih terlalu jauh dari tidur.

Menghabiskan waktu dengan bermain buble shoot, akhirnya hapeku tewas.

Aku lapar.

Meski aku turun dengan berisik, setengah berharap 2 orang yang harusnya menjagaku itu bangun, mereka terlalu nyenyak. Aku menepuk pantat Putri kencang sebelum keluar dan dia Cuma mengerang pelan dan kembali memeluk bantal.

Terseok-seok aku berhasil turun dari lantai 2 setelah menghidupkan lampu. Ramai saja tempat ini menyeramkan, apalagi sekarang. Semua kain yang menutupi barang-barang itu membuatnya semakin angker. Pasti tempat ini banyak hantu.

Krisis pertamaku terjadi didapur. Aku tak bisa menemukan dimana lampunya. Mengandalkan hape, aku mencari kesana kemari sebelum akhirnya saat berhasil menemukan sakelar lampu yang sebenarnya tak jauh dari tempatku berdiri pertama kali. Aku hampir serangan jantung melihat Garra yang duduk termanggu di mini bar dapur. Jelas dari tadi sudah disana.

That time when we're together (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang