44 hand in hand
Semuanya tak selesai dengan cepat. Yang bikin ulah siapa dan yang harus bertanggung jawab siapa.
Putri, Bianca, Kayla dan Vina punya lecet disana sini dengan rambut bekas jambak-jambakan ekstrim. Meski aku tak bisa bilang Nababil dkk terlihat lebih baik, meraka nyaris compang camping. Siapa yang menarik baju nababil hingga robek? Aku mencurigai Bianca dengan kuku panjangnya.
Setelah huru-hara selesai aku bertepuk tangan dan mengatakan Garra akan mentraktir semuanya di café. Dari lapangan futsal, kami berpindah ke cafenya Garra.
Sepanjang acara makan-makan, mereka sibuk me-reka ulang kejadian dilapangan futsal. Jelas kami semua disana dan aku tak tahu kenapa mereka merasa perlu mengulang cerita yang sama itu berkali-kali.
Aku hampir tertidur dikursi sebelum disenggol oleh Garra.
Jam setengah 11 malam barulah semuanya bubar. Aku sudah menghitung seberapa cepat akan bergerak tapi Garra sepertinya juga punya perhitungan sendiri. Begitu aku sok berdadah ria dan berniat kabur ke kosan, dia menangkap tanganku.
"kamu mau kemana?"
Itulah awal dari aku yang terduduk di kursi panjang depan kosan sambil berusaha melihat kemanapun selain Garra yang ada disampingku. Diamnya dia membuatku semakin sadar dampak dari perbuatanku. Seperti, kami bahkan tak kenal cukup dekat untuk tiba-tiba jadian. Dan hebatnya, ini bahkan buat telenovela. Aku pasti sudah kerasukan.
Dia menyikutku.
"kamu pengen aku nginep disini?"
Aku menengok. Menatap matanya dengan penuh kesungguhan. "aku memang udah suka sama kamu sejak lamaaa banget. Suka pada pandangan pertama."
Dia berkedip. "sejak kamu maki aku dilapangan basket?"
Oke. Aku lupa betapa tajamnya pandangan pertama kami. "bukan. Sejak baru-baru ini. Kamu udah nemenin aku selama sakit. Jagain. Bawain makanan." Aku tersenyum semanis yang kubisa dan rasanya aku cukup manis dengan semua dandanan ini.
Dia manggut. "jadi kamu nembak aku gara-gara jus jambu biji?"
Damn. Dia tak gampang dibohongi.
Aku memandangnya dengan kesal dan dia memberiku wajah lebih kesal lagi jadi aku buru-buru merubah taktik. "ya ampun! Udah jam berapa. Kamu harus balik. Ntar kemaleman. Siapa yang tahu ada kejadian apa di jalan." Aku menarik tanganku yang digenggamnya. Tapi dengan mudah dia kembali menarikku duduk dan menuduhku mendoakannya kecelakaan.
Sungguh. "emang aku benaran perlu kasih penjelasan?"
Alisnya terangkat. Aku menarik nafas panjang sebelum akhirnya memutar badanku agar menghadap padanya. Bertanya apa aku boleh masuk ganti baju dulu tapi dia menggeleng. Dia ingin aku tetap bergaun ria tengah malam gini? Aku mungkin benaran akan dikira mbak kunti sebagai saingannya sebentar lagi.
"hmmm... niat awalnya pengen buktiin ke nababil kalau kita gak ada apa-apa. Kalau kamu nolak aku didepan dia, aku harap dia bakal berhenti nerror dan ngirim bangkai tikus ke kosan." Sudah kubilang aku butuh racun tikus bukan bangkai tikus. "tapi kamu malah bilang iya."
Bisa dia bayangkan apa yang akan terjadi kedepan? Nabillah mungkin akan menyewa pembunuh bayaran dan memerintahkan agar aku dicincang jadi puluhan potong sebelum dijadikan pakan lele. Aku layak untuk mulai mengkhawatirkan masa depanku.
"kenapa kamu kayaknya marah?" tanyanya. Dia serius bertanya?
"kamu mestinya jawab enggak. Kamu mestinya nolak aku." Aku mengulangnya sampai tiga kali agar dia bisa menangkap dengan tepat maksudku. Dia sepenuhnya yang harus bertanggung jawab. Bukan aku.
"gimana aku bisa tahu kalau kamu tiba-tiba muncul kayak gitu." dia menolak aku salahkan. Beberapa saat kami saling tatap. "aku gak mungkin nolak cewek didepan umum." Jawabnya kemudian karena kuplototi.
Ah. Ini membuatku mengerling. "oh, jadi kamu bakal terima siapapun yang nembak kamu didepan umum?"
"maksud aku, aku baru aja nyelamatin kamu dari malu."
"aku gak bakal malu biarpun ditolak." Aku bahkan sudah pernah diputusi. Aku tak yakin ada yang bisa melukai harga diriku lebih dari itu. Kalau ditolak akan menjauhkan nabillah, kenapa tidak? "terus sekarang gimana?"
Karena sepertinya aku melakukan hal yang sudah membuat nababil sangat amat marah. Terakhir aku lihat dia kehilangan begitu banyak rambut dan itu tak bisa dilupakan dengan mudah. Ini membuatku kembali menyalahkan Garra.
"gimana?"
"ini salah kamu kenapa kamu malah tanya aku?" balasnya.
"ini salah kamu karena jawab iya." Balasku tak mau kalah.
Dia hampir tertawa. "seriously?" sambil menaikkan sebelah alisnya.
Aku menghela nafas sebelum bersandar ke kursi. "ini salah kamu punya mantan nabillah."
"dipikir, ini salah kamu tiba-tiba makan bakso di meja aku."
Oke, dia benar.
Hening lagi. aku tak tahu bagaimana akan menyelesaikan ini. Sumpah, aku tak berpikir dia akan bilang iya. Semua factor menunjukan jawaban tidak. Bagaimana mungkin dia bilang oke begitu mudah? Ini jelas bukan jawaban dari orang yang pernah mengabaikan pesan dariku.
"kenapa kamu gak pernah cerita kalau nabillah ngirim ini itu?"
"gak guna juga cerita ke kamu. Mending laporin ke polisi." Aku sungguh ingin melaporkan nabillah ke polisi tapi tak benar-benar punya bukti kalau dia yang mengirim semua paket itu. Dan melaporkannya perihal semua postingan di medsos rasanya terlalu ringan. Aku perlu melakukan sesuatu untuk mencerahkannya. Tak kusangka aku malah memukul mental anak itu terlalu dalam.
"otak kamu emang gak berpikir kayak manusia pada umumnya." Putusnya setelah aku menjelaskan alasanku dengan bijaksana. Aku menginjak kakinya. Dia seharusnya tidak bertanya kalau tak siap mendengar jawaban.
"terus, gimana?" tanyanya lagi.
"gak tahu. Kamu benaran mau jadi cowok aku?"
"emang kamu suka aku?"
"kenapa gak? Kamu kaya." Jawabku cepat. Dia malah menginjak kakiku sebelum tertawa dan bilang kalau aku bukan tipenya.
"otak kamu yang gak berpikir kayak manusia pada umumnya. Muka aku ini muka ideal yang pengen dipacarin semua cowok."
"tapi gak sama sifat kamu."
"kata cowok yang punya mantan kayak nabillah?" dia bersungut. Biarpun aku psycho, aku tak mengirimi Samantha dengan bangkai tikus. "kamu bisa pura-pura anter jemput aku sekitar sebulan lah. Anggap aja ini latihan buat nabillah. Dia harus rela melepas kamu. Mau sampai kapan coba meratapi mantan pacar. Kamu juga gak sebegitu bagus buat dikejar sampai sebegitunya."
"tapi aku kaya." Selanya.
Membuatku tertawa. Sebelum dengan muka serius menengok. "ngomong-ngomong, sampai kapan kamu mau genggam tangan aku?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
That time when we're together (completed)
RomanceContoh, sebagai gadis populer, aku juga harus mengalami ini. "kamu mutusin aku?" setidaknya, suaraku terdengar cukup stabil untuk emosiku yang sepertinya mulai labil. Setelah menghilang selama 2 bulan liburan semester dan aku Cuma melihat fotonya t...