Yang pasti, mbak-mbak itu memplototiku karena aku sudah nyaris menghabiskan semangkuk sambalnya kedalam bakso. Dia secara khusus kemudian datang dan mengingatkan kalau ini sambal, bukan air.
Aku bahkan gak bisa makan dengan tenang?
"Cuma kamu yang bakal dengan pedenya makan waktu kantin penuh sama mahasiswa cowok." Putri duduk menaruh baksonya. Tiba-tiba saja muncul seperti jin dan aku memplototi pacarnya yang memberiku senyum lebar. Siapa yang tadi menggosok lampu ajaib?
"kamu gak bisa cari pacar lain? Aku benaran gak pengen ketemu kamu dan aku, juga lebih gak pengen lihat kamu." Apa dia pikir aku akan melupakan kesalahannya dengan cepat? Dia ada di garis depan mengejekku sepanjang hari ini. Aku punya banyak alasan membunuh Farhan lebih dari yang bisa dia pikirkan. Kalau Putri masih ingin punya pacar, dia harus menyingkirkan Farhan dari hadapanku. Sekarang.
Tapi sekarang, yang ingin kusingkirkan sudah tertawa. Lupakan senyum. Aku bertaruh dia sengaja kesini hanya, Cuma dan demi. Mengejekku lebih lanjut. Tak bisakah aku tak bertemu sesuatu yang tak berhubungan dengan simantan? Aku yakin akan benar-benar kehilangan kesabaran sebentar lagi.
"Me, kalau dikampus, aku teman dia. Tapi disini, aku pacar Putri. Statusnya beda."
"jadi cara kamu ngejek juga bakal beda?" dia mengangguk. Membuat Putri menyemburkan teh botolnya. "kalau kamu berani nyebut nama dia sekali aja, bakal aku siram pake bakso." Farhan menatapku dengan alis terangkat. "kamu boleh coba."
Putri bilang, dia sudah disiram dari kamar mandi sebelah kemaren sore waktu pipis olehku hingga dia akhirnya mesti mandi 2 kali. Untungnya, ini berhasil membuat Farhan diam beberapa saat tapi tak lama kemudian, ditengah hiruk pikuk semua yang datang dan pergi, dia toh tetap buka mulut. Kalau bukan karena hujan, aku tak akan mau duduk disini lebih lama mengingat aku tak bisa memakan baksoku sama sekali saking pedasnya.
"kamu gak ada niatan ngajak damai Me?" aku menaruh sendokku yang dari tadi mengacak mie tanpa karuan. "apa kamu gak sama sekali merasa salah?"
"kamu kayak baru kenal Meme 2 hari aja. Seumur-umur nih ya, aku aja gak pernah terima permintaan maaf dari dia. Biarpun dia selalu bikin salah." Benarkah? Putri mungkin tertukar antara diriku dan dirinya. Meski kuplototi, dengan asyik dia tetap lanjut makan bakso sambil mencomot gorengan.
Mereka begitu kompak menghinaku. Oh, mereka bahkan terlihat begitu bahagia melakukannya.
Mengalihkan perhatian, aku bertemu pandang dengan sekumpulan cowok yang sepertinya, juga sedang melihat kearah kami. Lebih tepatnya, salah satu dari mereka melirik dan sisanya ikut-ikutan.
"tapi coba deh. Ada orang yang pacaran tapi gak pernah ngubungin duluan? Yang gak pernah mau kalau diajak kemana-mana? Taruhan nih ya, meme gak mungkin kenal sama siapapun teman dia selain kamu. Pacaran kayak enggak. Aku salut sebenarnya mereka bisa tahan ampe setahun. Bukan, salut sama dia, soalnya kuat pacaran sama Meme sampe setahun. Cuma gak nyangka endingnya bakal segini damai. Terlalu damai malah."
Dia disana adalah simantan yang selalu putri elu-elu kan padahal Cuma teman pacarnya. Sementara Meme disana adalah aku yang faktanya, teman satu atap.
Entah kenapa, sekumpulan cowok disudut itu sekarang bukan Cuma sekedar melirik, mereka memplototiku. Diamnya aku dianggap Farhan bentuk persetujuan atas penghinaan yang disamarkannya sebagai study kasus.
Dia mereview semua masa putus kami sebelum ini yang selalu berakhir seperti tak pernah terjadi. Selalu terjadi begitu saja dan kemudian kembali begitu saja. Putri menambahkan, aku punya kekuatan untuk menemukan masalah yang pada awalnya, sama sekali tak ada. Dia juga heran sebenarnya, mantan pacarku itu terbuat dari apa.
Aku memang punya bakat untuk ada dan dibicarakan seperti tak ada. Sekarang sepasang kekasih ini sudah sangat seru sampai membahas semua hal yang bahkan sudah aku lupakan secara pribadi tapi mereka mengingatnya dengan detail. Mereka bahkan ingat baju apa yang aku pakai di pemutusan ke 3 yang terjadi saat hujan deras di depan gedung UPT hanya karena, dia menolak memakai payung yang kusodorkan. Dia bahkan tak ada disana bagaimana bisa dia mengingat detik ke berapa aku melempar simantan dengan payung?
"kalian. Kenapa melototin aku?" dan sendokku akhirnya terangkat pada sekumpulan cowok yang kelang satu meja kecil dengan kami. Mereka yang setelah memplototiku kemudian kompak tertawa. Cewek mungkin bisa dipahami tapi cowok? Mereka kenapa?
Kilat yang menyambar dan tak berapa lama diikuti petir yang menggelegar. Kantin sore yang sekarang seperti tengah malam itu hanya membuat suasana semakin angker. Putri dan Farhan untuk pertama kalinya kembali melihatku yang sejak tadi didepannya. Mereka berhenti berdiskusi dan mengikuti arah sendokku.
"ada apaan?" tanya Putri yang hanya dijawab angkat bahu oleh Farhan tapi, dia langsung berubah sumringah saat tahu siapa yang kutunjuk pakai sendok. "Garra. Ih, gak lihat. Udah dari tadi disana? Kok gak manggil." ini membuat Farhan berbalik dan tentunya, mengenali dengan baik sekumpulan cowok rumpi tadi.
Yang diduga Garra itu bangun dari kursinya dan menyebrang ke meja kami. Menyapa Putri dan secara khusus menyumpahi Farhan karena tak melihatnya. Untuk beberapa saat kembali terjadi obrolan dan aku, kembali hanya memperhatikan hujan yang semakin deras dan membuat ibu kantin akhirnya menyalakan lampu.
Lebih cepat dari kilat, entah dengan izin siapa, meja kami disatukan dan terjadilah acara makan bersama sambil menunggu hujan. Aku tak tahu mana yang lebih membosankan, lukisan sawah yang sudah usang diatas pintu masuk itu atau aku. Bagaimana mungkin aku terjebak dengan kondisi setragis ini?
Bagaimana mungkin kesialan seperti ini tidak datang dalam bentuk firasat? Sepanjang hari aku harus duduk disebelah simantan seperti aku tak ingin memisahkan kepala dan lehernya. Belum lagi keinginanku untuk menerkamnya setiap dia tersenyum padaku. Dia bahkan tak repot member alasan memutuskanku dan sekarang dia masih berani tersenyum seperti tak terjadi apapun?
Apa sebaiknya aku trobos saja hujan? Toh, kosan Cuma berjarak 10 menit dengan motor dan aku Cuma akan basah. Kemungkinan akan kembali demam pasti ada tapi apapun rasanya masih lebih baik dari pada mengaduk mie super pedas dan nyaris menghabiskan semua gorengan di meja. Kenapa aku begitu sial?
"kamu boleh ikut ngomong loh Me." Aku berhenti mengunyah goreng tempe dan mengalihkan pandangan dari jendela pada Putri yang seperti ratu lebah.
"kamu punya mantel?"
"biarpun bawa aku gak bakal ngasih kamu. Semalam udah demam. Ntar benaran jadi sakit." Bantahnya sungguh keibuan membuat takjub semua orang. Membuatku, nyaris melemparnya dengan sendal. DIA. Dia orang yang membuatku berjemur seperti ikan asin menonton sesuatu yang sangat tak penting dan akhirnya, demam. Semalaman tak bisa tidur dengan kepala berat. Kupastikan, dia memahami semua makian yang kusampaikan lewat tatapan. "aku serius. Bentar lagi kita balik. Tunggu agak reda."
Aku memplototinya dan dia tersenyum manis sebelum kembali kedalam obrolan seru ditengah meja. Bagaimana Putri bisa mengenal orang-orang ini? Setidaknya aku beruntung dia tak tahu aku sudah hampir diterkam Garra kemarin karena mengganggu Lilo.
Nyatanya, mereka sedang menunggu jam 5 karena akan main futsal bareng. Jadi, jam 5 itu masih seperti 1 jam lagi dari sekarang dan kunyahanku berhenti saat tahu siapa anggota tambahan mereka.
"kamu belum pernah nonton mereka main kan? Kita nonton yuk Me!!" dan celetukan kali ini terdengar ratusan kali lebih kencang dari petir yang paling kencang sekalipun.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
That time when we're together (completed)
RomansaContoh, sebagai gadis populer, aku juga harus mengalami ini. "kamu mutusin aku?" setidaknya, suaraku terdengar cukup stabil untuk emosiku yang sepertinya mulai labil. Setelah menghilang selama 2 bulan liburan semester dan aku Cuma melihat fotonya t...