Part 28

167 15 1
                                    

"Good morning sayang.."

"Morning too, ma."

Aleya keluar dari kamar dan berjalan menghampiri mamanya yang sedang menyiapkan sarapan pagi. Salju pertama akhirnya turun pagi ini. Walaupun tidak terlalu lebat, tapi percayalah, untuk orang yang terbiasa hidup di daerah tropis, ini sungguh luar biasa dingin!

Aleya menaikkan volume thermostat menjadi lebih hangat dan menarik kursi lalu duduk di situ. Biasanya karena baik Aleya ataupun Meylanie sama-sama bekerja, jadi mereka berdua hanya akan sarapan dengan membuat menu sederhana seperti roti bakar, telur setengah matang dan teh hangat.

Aleya dan mamanya pindah ke Portland sekitar delapan bulan yang lalu. Sebelumnya mereka tinggal di New York selagi Aleya menyelesaikan pendidikannya, tapi tidak jarang juga mamanya akan kembali ke New York untuk mengurus pekerjaan beliau.

Saat pertama kali tiba di negara ini, tentu tidak mudah bagi Aleya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Dia bahkan sulit untuk bersosialisasi dengan orang-orang dilingkungannya. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, sekarang dia sudah mulai terbiasa dan bahkan sudah mulai menyukai tempat barunya ini. Di sini. Di tempat ini.  Jauh dari segala sesuatu tentangnya.

"Ini dia." Meylanie menaruh piring yang berisi roti bakar dan telur itu di depan Aleya. Lalu beliau juga menaruh dua gelas mug dan menuangkan teko berisi teh hangat ke dalam mug itu.

Aleya hari ini mengenakan dres putih yang dipadukan dengan blazer berwarna hitam untuk menggambarkan perasaannya yang sedang berkabung karena laporan baru itu. Aleya sangat frustasi. Bahkan dia merasa kepalanya langsung sakit setiap mengingat tentang tugasnya itu.

"Leya, mama mau bilang sesuatu nih."

Meylanie menarik kursi dan duduk menghadap Aleya.

"Bilang apa ma?" Aleya bertanya sambil mulai menggigit lalu mengunyah roti dalam mulutnya.

Meylanie tersenyum, "Philadelphia."

Aleya hanya mengangguk. Dia sudah paham apa maksud mamanya. Intinya, mamanya akan pergi lagi.

"Berapa hari ma?"

"Two weeks."

"Dua minggu? Tapi kan Leya harus pergi ke pernikahan Katrina. Gimana dong? Masa Leya pergi sendiri?"

"Ya mau gimana lagi, mama juga harus pergi ke Philadelphia untuk bertemu klien mama. Kamu kan sudah dewasa, jadi mama yakin kamu bisa jaga diri kamu."

"Hufftt.. Ya udah deh." Aleya memanyunkan bibirnya dan menaruh roti yang tinggal separuh itu ke atas piring.

Meylanie jadi merasa tidak enak hati. Beliau sebenarnya juga tidak tega membiarkan Aleya untuk pergi ke Indonesia seorang diri. Terlebih di sana ada kenangan yang sememangnya tidak ingin diingati oleh mereka berdua.

"Gimana.. kalau kamu perginya sama Indra aja? Dia diundang juga kan?" Meylanie yakin Indra bisa menemani Aleya dan menjaga Aleya.

"Indra?"

"Iya. Bukannya kalian udah lama temenan? Tapi mama rasa.. kalian itu lebih dari teman deh." Intuisi seorang ibu.

"Ih apa sih ma. Jangan ngawur deh." Aleya menyisit bahu dan tertawa mendengar ucapan mamanya.

"Mama tau, tapi cara dia mandang kamu dan bicara ke kamu itu auranya beda."

"Ck. Apaan sih ma. Leya sama Indra itu cuma temenan kok. Nggak lebih dan nggak kurang." Aleya coba menjelaskan.

"Tapi kalau lebih dari teman, mama juga nggak keberatan."

"Aduh mama... Leya sama Indra itu nggak ada apa-apa.. Mama ini jangan suka ngawur deh." Serius, membayangkan dia dan Indra ada hubungan serius itu.. Tidak! Tidak! Itu tidak masuk akal.

Nice CurerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang