Part 31

192 19 0
                                    

"You're lying.."

Semakin Aleya menyangkal hal itu, semakin Indra berusaha mengungkit tentang semua itu. Aleya membisu, dia berusaha menambal lubang kecil yang mulai timbul di dinding kesabarannya, dan jika Indra terus seperti ini, maka besar kemungkinan kemarahan yang sudah mulai terpancing itu akan meledak.

"Gue nggak bohong." Aleya berusaha mengontrol suaranya setenang mungkin.

"Tapi gue tau lo bohong.."

"Gue bilang, gue nggak bohong!" Dia bangkit dari kursi dan segera pergi meninggalkan meja itu.

Aleya menarik pintu dan keluar dari tempat itu karena merasa terlalu marah. Kepada siapa dia harus marah? Dia tidak tau! Haruskah dia marah kepada dirinya sendiri? Aleya terus berjalan cepat tanpa memperdulikan sekitarnya. Di mana dia akan berada nanti itu urusan belakangan, sekarang yang dia inginkan hanyalah pergi sejauh mungkin dari tempat ini.

Indra benar-benar keterlaluan, bagaimana dia bisa bicara seperti itu? Seharusnya walaupun dia tau kalau Aleya masih belum bisa lepas dari masa lalu, Indra tetap tidak sepatutnya mengungkit-ungkit semua itu secara blak-blakan di hadapan Aleya. Itu kasar.

Dan apa? Belum bisa move on? Iya, Aleya mengakui bahwa dia memang belum bisa move on. Dan bahkan tidak bisa! Kenapa rasanya sulit sekali untuk Aleya melupakan orang itu? Sebenarnya apa yang telah diperbuat Harris kepadanya? Bukankah mereka berdua bahkan tidak pernah berciuman? Jadi apa yang membuat Aleya begini? Kenapa Aleya seolah tidak bisa keluar dari lingkarang memori masa lalu? Kenapa? Oh god.. Kepalanya tiba-tiba terasa pusing.

Saat Aleya berjalan lumayan jauh dari tempat tadi, dia merasa tangannya di pegang oleh seseorang.

"Dara, gue minta maaf.." Aleya menoleh dan melihat orang itu adalah Indra.

"Lepasin gue." Aleya coba melepaskan pergelangan tangannya yang dipegang Indra.

"Gue minta maaf karena udah ngomongin itu. Please, maafin gue ya? Please Dara, gue nggak mau lo pulang sendirian. Please balik ke mobil gue ya?" Indra memohon sambil menggenggam tangan Aleya.

Aleya hanya diam.

"Please Dara, gue janji gue nggak akan mengungkit hal itu lagi. Gue pastikan lo nggak akan denger hal itu dari mulut gue. Gue janji."

Kemarahannya ingin agar Aleya menolak permohonan Indra, tapi Aleya tidak percaya kalau dia baru saja menganggukkan kepala.

Indra merasa lega. Dia tersenyum dan memimpin Aleya menuju mobilnya. Indra lalu membukakan pintu mobil agar Aleya bisa masuk ke dalam tanpa perlu kerepotan.

Suasana selama di perjalanan pulang sangatlah sepi dan juga sunyi. Indra sesekali menoleh ke kanan untuk melihat keadaan Aleya yang sedari tadi membisu. Aleya menyandarkan kepalanya di kaca mobil dan memandang ke luar jendela.

Melihat Aleya seperti itu, Indra serasa ingin memukul diri sendiri. Bego, bego, bego. Hanya karena kesal saat menyadari Aleya yang belum bisa melupakan orang itu, Indra malah dengan sangat bodoh mengucapkan kata-kata yang tidak berguna. Indra menyesal, dia sangat, sangat, sangat menyesal.

"Ra, besok ke kantor bareng gue ya?" Indra coba mengajak Aleya untuk berbicara.

Dia tidak tau apa jawaban dan reaksi dari Aleya. Kemungkinan besar Aleya akan menolak ajakan Indra. Tentu, tentu dia akan menolak.

Tapi Indra keliru dan salah. Dia tidak percaya dengan reaksi yang diberikan Aleya.

"Okay." Aleya mengangguk dan menoleh ke arah Indra sesaat lalu kembali menyandarkan kepalanya.

Walaupun hanya sepatah kata, tapi itu sudah mampu untuk membuat Indra merasa senang sekaligus lega.

Setelah itu mereka tidak berbicara lagi selama di perjalanan walaupun Indra sudah merasa lidahnya sangat gatal ingin mengajak Aleya bicara, tapi keinginan itu diurungkannya. Dia mengantup mulutnya rapat-rapat agar tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, dia tidak ingin merusak mood Aleya lagi.

Nice CurerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang