The Woman In Black #3

5.7K 595 5
                                    

Makan malam kali ini terasa hambar, bahkan sepi. Tidak ada yang ingin memulai pembicaraan satu pun termasuk aku. Papa dan Kakakku terkadang menatap kursi kosong di sisiku-tempat mama sering duduk.

Papa mengusap wajahnya, bergumam pelan. Kak Putri tidak makan sama sekali begitu pun dengan ayah. Aku di sini bahkan bisa sibuk memandang mereka berdua. Akhirnya suara papa dapat memecahkan keheningan.

"Ini permintaan dari mama kalian," papa menghela napas kasar,menatapku. "Samara, kamu akan melanjutkan sekolahmu di Perancis."

Tubuhku serasa melayang mendengar perkataan papa barusan. Aku tidak salah dengarkan? Mamamenyuruhku untuk sekolah di Perancis. Itu jauh sekali. Aku bahkan sudah beradaptasi di sini. Aku tidak ingin pergi jauh. Meja bergetar tak kala kak Putri mendubraknya dengan keras. Dia bahkan kini sudah menegakkan tubuhnya.

"Tidak ada yang akan pergi dari sini papa!" Marah Putri.

"Kita sudah membahas ini Putri dan kamu sudah menyetujuinya," ucap papa berusaha tenang.

"Kapan aku menyetujuinya? Diamku di saat itu bukan berarti setuju!" Kesal Putri.

"Baik aku ataupun adikku tidak akan pergi dari sini. Kalau papa masih bersikeras maka aku juga akan ikut dengan adikku," putus Putri. Setelah bicara seperti itu, dia pergi dari meja makan ini menyisakan aku dengan pertanyaan. Kak Putri masih peduli sama aku? Atau ada hal lain yang mereka sembunyikan dari aku?

Kutatap ayahku yang kini sudah sangat lelah. Kuyakini masalah di dalam dirinya begitu banyak terlebih ibu pergi meninggalkan kami.

"Papa." Dia menatapku, tersenyum paksa.

"Keberangkatan pesawatnya besok Samara. Kamu lebih baik menyiapkan segala keperluanmu dari sekarang," papa terdiam. "Mau ayah bantu menyiapkannya?" Aku menggeleng tegas, pergi segera dari ruang makan ini menuju kamarku.

Langkahku terhenti setelah sampai kamar. Menerjunkan tubuhku ke ranjang. Aku menangis, menahan isak tangisku dengan bantal. Aku tidak menyangka mama dan papa bisa setega ini padaku. Harusnya mereka membiarkan aku di sini. Aku hanya butuh keluarga itu saja. Orang tua memang selalu egois. Mereka tidak mempedulikan perasaan anaknya apa?!

Kuseka air mataku,beranjak dari ranjang. Pergi menuju lemari pakaianku. Mengambil koper di dalamnya lalu memasukkan pakain dan beberapa foto. Ketika sudah merasa perlengkapan yang kubutuhkan sudah siap. Aku menaruh koperku di dekat ranjang sembari terus menggerutu kesal. Perancis itu bukan negara yang dekat yang bisa berjalan hanya lima menit dari rumahmu. Negara itu jauh dan aku sulit beradaptasi di sana. Kalau begini aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku ingin mengadu pada tante Jane. Ya, besok aku akan minta tolong pada tante Jane. Semoga saja tante Jane bisa membujuk papa untuk membantalkan sekolahku di Perancis. Aku harap seperti itu.

Kumatikan lampu di kamarku,menyisakan lampu tidur di sisi ranjang. Aku masih terdiam di tempatku sampai ada cahaya yang terang terlihat di jendela kamarku. Hal itu tentu membuatku penasaran. Akhirnya kudekati jendela kamarku,menyipitkan mataku karena silau dari cahaya tersebut. Sedetik kemudian cahaya itu lenyap dan bisa kulihat pelaku tersebut yang tak lain Alby. Ya, kami tetangga dan lagi jendela kami itu mempunyai jarak yang sama maka tak ayal kami terkadang sering berbincang di tengah malam dengan media kertas dan spidol.

Kulihat Alby melambaikan tangannya. Kuacuhkan dia,aku masih marah padanya. Dia benar-benar menyebalkan. Tanganku sudah menggenggam tirai,siap untuk menutup jendela tapi terhenti karena melihat kertas yang di tempelkan Alby di jendelanya.

MAAFKAN AKU :(

Kubaca tulisan tersebut, terdiam sejenak lalu pergi menuju meja belajarku mengambil buku gambar dan spidol. Kembali lagi ke jendela untuk membalas pesan Alby. Kutuliskan kertas gambarku dengan spidol. Kutempelkan kertasku di jendela.

The Woman In BlackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang