The Woman In Black #47

2.2K 263 18
                                    

REMEMBER VOTE AND COMMENT.

*
Beberapa hari ini aku tidak dilibatkan dengan perkumpulan semacam apa pun, termasuk dengan perkumpulan yang biasa aku lakukan dengan kawan-kawanku. Kami lebih tepatnya sedang menjauhi diri masing-masing, bahkan Alby kini jarang untuk berbincang denganku. Elby menyibukkan dirinya untuk membuat Miss Anna terkesan. Sehingga aku berpikir bahwa Elby bisa melakukan apa saja seperti bernyanyi dengan suara sengau di bawah menara sedangkan Miss Anna berada di atas menara, memandang muridnya lalu mengambil seember air untuk ditumpahkan pada Elby. Dan mungkin saja berkata, "sebaiknya, kamu jauhi aku Elby." Sementara itu, kakakku juga tidak menyerah untuk mengejar--menarik perhatian Joe. Walaupun aku bisa melihat Joe sangat terkesan dingin padanya. Untuk beberapa hari ke belakang, aku dapat melihat mereka berdua bersitatap. Di taman (mereka berbincang sebentar lalu pergi ), di lorong (Joe sudah kabur lebih dulu sebelum kakakku mendekati dirinya), di perpustakaan (Joe mengalihkan pembicaraan dengan memanggil temannya), di... sebaiknya aku harus sedikit tidak memperhatikan kemajuan kakakku. Aku juga tidak yakin, kata kemajuan adalah kata yang pas menggambarkan keadaan kakakku saat ini. Karena sungguh, kakakku malah terlihat seperti penguntit daripada seorang teman yang asyik untuk diajak berbincang. Bahkan Maya dan aku pernah melihat Putri menggeram kesal dan mengumpat saat Joe beranjak pergi meninggalkan dia. Sehingga memunculkan persepsi bagi Maya kalau kakakku menyukai Joe. Tapi tentu saja itu tidak benar. Kakakku hanya mengerjakan tugas yang diberikan Elby, yang kurasa memang benar-benar payah. Dan untuk Joe. Aku perlu mencantumkan pada otakku kalau Joe adalah pria aneh. Dia tidak tergoda sedikit pun oleh jurus yang dipakai kakakku kepada semua pria. Melirik saja Joe tampak enggan. Dia hanya tersenyum, itu pun terlihat memaksa. Dia juga meringis di beberapa perbincangan kemudian lebih banyak mengalihkan pandangan. Sebenarnya aku tidak begitu yakin terhadap teori yang aku buat, namun sepertinya beberapa teori ini cukup masuk akal. Pertama, Joe adalah pria yang tidak menyukai perempuan seperti kakakku. Kedua, Joe dididik keras oleh keluarganya untuk bersikap santun, bertanggung jawab dan tidak menganggap perempuan seperti sosok yang rendahan. Ketiga, dia mencoba untuk menjaga nama baiknya sebagai pria yang sulit untuk didekati oleh para wanita. Dan keempat, yang kupikir teori yang cukup konyol namun bisa saja terjadi, Joe punya seseorang yang ia sukai sehingga dia berusaha menjaga perasaan perempuan yang dia sukai itu agar tidak terluka. Lagi pula, bisa saja bukan? Tidak ada yang tidak mungkin.

Aku terdiam sejenak. Berapa lama aku memikirkan Joe? Kurasa seharian ini pikiranku menyangkut tentang dirinya. Payah, kenapa sekarang aku jadi sentimental terhadap pria bernama Joe Wright. Ya, mungkin karena aku kesal karena sikapnya dan segala gosip yang dia tumpahkan kepada murid-murid asrama. Dia mengatakan kalau aku memiliki hubungan lebih dari sekadar teman atau sahabat. Lucu sekali, aku tidak tahu niatnya untuk membuat lelucon semacam itu. Dia ingin mempermalukan aku? Oh ya, kurasa. Lagi pula apalagi alasannya selain itu, aku yakin harga dirinya sudah jatuh saat aku bersikap kasar padanya pada malam itu. Dan sekarang dia ingin membalasnya dengan menyebarkan gosip murahan semacam itu. Sehingga membuatku menjadi pusat perhatian dan itu membuatku muak karena menjadi santapan lezat pembicaraan perempuan-perempuan yang suka bergosip. Aku tidak tahan dengan setiap cercaan para perempuan-perempuan yang bertanya apakah aku benar-benar kekasih Joe atau hanya mengarang kisah itu agar aku menjadi sorotan perempuan di sekolah ini. Yang kupikir itu bodoh, aku tidak suka disorot atau dijadikan suatu objek yang enak untuk dipakai sebagai pembuka perbincangan, "oh hai, kamu tahu, anak perempuan yang pendiam bernama Samara. Dia kekasih Joe Wright." Bunuh aku saat itu juga.

Aku menghela napas panjang, aku maju selangkah saat antrean telepon di sekolah mulai memudar. Aku ada di barisan ketiga. Pria di depan sedang asyik mengobrol dengan seseorang di telepon sedangkan sosok perempuan jangkung yang berdiri di depanku tampak gelisah di tempatnya. Dia beberapa kali melirik jam tangannya, salah satu ujung sepatunya terketuk-ketuk di lantai tanpa irama, dia juga berseru pada si penelepon yang ada di depan agar mempercepat teleponnya, namun tentu saja kegiatan perempuan di depanku tidak akan membuahkan hasil apa pun. Pria yang asyik menelepon itu terjaga oleh kotak kaca sehingga tentu saja suara dari luar tidak akan masuk ke dalamnya. Aku merasa iba terhadap perempuan di depanku, dia begitu terlihat sibuk. Aku memperhatikannya sebentar karena mendengar seseorang tengah membisikkan namaku. Aku malah menjadi fokus untuk menguping pembicaraan dua orang gadis di barisan belakang antrean telepon ini.

The Woman In BlackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang