The Woman In Black #48

2.2K 365 31
                                    

*SEDANG TELEPON DENGAN ALBY (SITUASI YANG KONYOL DALAM PEMBICARAAN INI)

AKU : Hallo...

ALBY : Oh, Hai Della. Senang mendengar suaramu lagi. Hari-hari ini aku selalu memikirkanmu.

AKU : Aw! Kamu merindukanku!!

ALBY : Anggap saja begitu. (Ada suara lain yang ikut masuk saat aku menelepon Alby. Suaranya pria. Kurang lebih seperti ini kata-katanya : "And their bombs and their guns. In your head, in your head, they are cryin. In your head, in your head. ZOMBIE!! ZOMBIEE! ZOOMBIEEEE!"

AKU : Alby, aku tidak salah dengar 'kan? Aku dengar suara orang nyanyi.

ALBY : Oh itu Elby. Dia ada di kamar mandi, sedang bernyanyi. Akhir-akhir ini dia selalu bernyanyi lagu rock.

AKU : Elby suka lagu rock?

ALBY : Tidak, tapi akhir-akhir ini dia selalu mendengarkan lagu rock. Dia bilang kalau Miss Anna suka lagu rock. Astaga! Telingaku bahkan harus disumbat oleh earphone agar tidak mendengar dia bernyanyi.

AKU : HA. HA. HA. HA.

ALBY : Sepertinya aku harus pindah kamar Del. Aku dengar penyakit gila dapat menular.

AKU : HA. HA. HA. (MAKIN TERTAWA HEBAT. Alby tidak tahu kakaknya pernah bilang seperti itu juga)

*

"Aku tidak menyangka kamu akan meminta puisi itu," ucap Maya. Aku memandang dirinya yang kini sedang menyisir rambut, dan menambahkan pita merah di kepalanya.

"Ya, aku ingin membacanya," ucapku. "Apa kamu masih memilikinya?"

"Tentu," jawab Maya. Dia bergerak ke laci yang ada di kasurnya. Aku mendengar suara laci yang bergeser dan Maya kembali menegakkan tubuhnya sambil mengacungkan sebuah kertas. Kemudian dia berjalan pendek mendekatiku di ranjang. Aku yang sedang terduduk di ranjang harus mendongakkan kepala saat Maya berdiri menjulang di depanku. Dia pun menyerahkan kertas itu kepadaku. Aku menerimanya. "Terima kasih Maya," ucapku. Maya tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya lalu berkata, "tidak masalah."

Sementara itu, Maya bergegas pergi dari hadapanku, menyibukkan dirinya dengan buku pelajaran yang sedang dia masukkan ke dalam tas. Aku memandang tulisan Maya, dia memakai pulpen merah sehingga tulisan itu tampak seperti menyala.

"Apa tulisanku dapat terbaca? Aku menulis itu dengan terburu-buru," ucap Maya.

Aku menoleh ke arahnya, "ya, tulisanmu dapat terbaca kok. Aku mengerti tulisanmu. Aku pinjam dulu ya kertas ini."

"Owh, ambil saja," ucap Maya ringan. Dia tidak tampak tidak begitu peduli dengan puisi kematian Putri Verucia. Padahal dari awal dia sangat terobsesi dengan namanya sejarah.

"Kamu yakin? Aku takut kamu masih menginginkan kertas ini," ucapku sedikit mengernyitkan dahi.

Maya menatapku, wajahnya sangat berseri, "tenang, aku sudah memindahkan tulisan itu ke bukuku, dan juga laptopku. Jadi kertas itu tidak dibutuhkan lagi olehku," Maya terkekeh.

Kamu memandang remeh Maya, Samara. Aku belum memasukkan Maya dalam daftar orang-orang yang perlu aku hindari dari rencana rahasia ini. Maya orang yang tidak bisa dipandang remeh. Walaupun dia terlihat sangat, sangat, sangat, bersemangat. Aku memberi tiga kata sangat di dalamnya. Tentu saja, dia begitu menyukai dengan namanya misteri. Dia bahkan pernah membantuku dalam beberapa hal. Misalnya yang ini. Namun dia masih kikuk jika di lapangan. Mungkin tepatnya masih takut dengan segala hal yang terjadi. Tapi tetap saja, Maya dapat juga berpotensi sebagai rekan yang bisa membantu. Ayahnya sangat mengerti sejarah, jika pun kita membutuhkan seseorang dalam mengartikan sebuah tulisan zaman dulu. Ayah Maya lah penyelamatnya. Aku meringis di dalam hati. Ini hanya pemikiran sesaatku saja. Karena sebenarnya, jauh sekali, Maya juga sangat berpotensi membocorkan rahasia kami. Dia kan tidak suka diam orangnya. Apalagi bibirnya. Bisa-bisa sebelum kami menyelesaikan urusan kami, kami sudah dikeluarkan dari asrama. Dan yang aku takut-takuti terjadi. Maya adalah teman sekamarku, sulit untuk menutup rahasia dari dirinya. Dia bahkan sudah curiga dengan tingkahku juga kakakku yang akhir-akhir ini terlihat seperti seorang pencuri. Mengedap-ngedap di beberapa waktu. Bahkan dia pernah menangkap basah kami tidak ada di kamar di malam hari. Sekarang, aku memiliki dua penjaga yang selalu bertanya, "ke mana kamu pergi? Dan kenapa kamu ada di sini?"  Siapa lagi kalau bukan Maya dan Joe. Aku menghela napas panjang. Aku memandangi kertas itu lagi, lalu membaca tulisan tidak rapi yang menyala dari Maya.

The Woman In BlackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang