The Woman In Black #18

3.4K 547 16
                                    

"Waktu semakin mencekikku
Burung-burung nazar tertawa
Memakiku dengan suaranya
Tangan-tangan yang berdarah bergerilya
Menusuk para pendosa...."

Aku mendengar Elby membacakan puisi karya-nya dan membuat rasa percaya diriku terhadap puisiku menurun. Miss Marina tampak suka dengan pembawaan Elby dan alur cerita yang ada dalam puisi tersebut.

Aku tidak bisa menampik bahwa Elby lebih handal dalam hal ini. Kulihat sisi sebelah kananku--Alby. Alby sepertinya sudah tidak peduli dengan puisinya karena sedari tadi kulihat dia selalu saja menggambar.

Tepukan tangan menghiasi kelasku ketika Elby telah menyelesaikan puisinya dengan bagus.

"Bagus Elby. Aku menyukai puisimu itu," ucap Miss Marina kepada Elby.

Elby menyeringai tipis dan berkata,"Terima kasih Miss."

"Kamu boleh kembali ke tempatmu," ucap Miss Marina. Elby mengangguk tegas dan kembali duduk di sisiku dengan senyuman yang merekah di bibirnya.

"Puisimu bagus," ucapku.

"Ini puisi Alby," ucap Elby membuatku tercengang.

"Alby membuat puisi sebagus itu?" Tanyaku tidak percaya.

"Lebih tepatnya bertukar. Puisiku ada padanya. Alby membuat puisi tentang penderitaan seseorang sedangkan aku sebaliknya. Aku menyukai puisinya," ucap Elby dengan senyum tipisnya.

"Jangan kamu beritahu padanya kalau aku sudah memuji puisinya," bisiknya. Aku hanya tertawa kecil seraya menggelengkan kepalaku tak percaya pada tingkah pria kembar ini.

"Oke, sekarang. Miss akan memanggil seseorang lagi yang akan membacakan puisi," ucap Miss Marina.

Aku menatap puisiku lagi. Aku benar-benar tidak percaya diri terhadap puisiku. Kuharap aku tidak di tertawai oleh Alby karena hanya orang itu saja yang akan mengejekku walau ada kemungkinan teman-temanku-pun tapi aku tidak mempedulikannya.

"Sekarang kamu, Samara."

Pada saat itu aku seperti orang bodoh. Aku terperanjat kaget mendengar Miss Marina langsung menunjukku untuk membacakan puisi. Aku bahkan langsung berdiri hingga membuat teman-teman sekelasku tertawa atas tingkah bodohku.

Aku menutup mataku sekejap menyadari kebodohan yang tanpa di sengaja itu. Aku menelan salivaku dengan sulit. Aku berusaha tersenyum walau gagal sampai mata.

Jadi tanpa mau di tertawai oleh Alby dengan keras. Aku langsung maju ke depan dan menatap teman-teman kelasku dengan wajah tegangku. Tanganku bergetar. Sial! Aku benar-benar belum siap.

"Ayo Samara. Ibu ingin mendengar puisimu," ucap Miss Marina.

Aku mengangguk tegas. Lalu melihat sekilas puisiku. Menutup mataku untuk menghela napas dengan berat. Dan menyayikan pada diriku sendiri bahwa aku bisa.

"Kamu bisa Samara!" Batinku.

Dan ketika aku membuka mataku. Semuanya berubah. Hal itu terulang kali. Kali ini aku di hadapkan di tempat yang gelap. Sangat gelap hingga aku tidak bisa melihat siapapun. Dan aku hanya bisa mendengar suara halus--seperti suara seseorang yang sedang menulis. Samar-samar aku mendengar suara wanita yang sedang berbicara.

Entah kenapa bibirku mulai terbuka dengan sendirinya dan seolah-olah. Bukan aku yang memegang kendali tubuhku ini. Dan bibirku mulai mengucapkan sebuah kata-kata yang tak pernah ada di benakku sama sekali.

"Terkurung dalam belenggu keheningan
Pencakar tembok yang kokoh
Melumat habis sinar cahaya

Hatiku menjerit...
Bak suara badai yang sedang mengamuk
Esok tak menentu bagiku
Kegelapan abadi bernaung di sekitarku
Seperti kematian yang merayu mesra

The Woman In BlackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang