EPILOG

1.5K 185 63
                                    

PERINGATAN :

PUTAR LAGU DI ATAS SAAT MEMBACA CHAPTER INI.

Aku ada sedikit pemberitahuan. Pertama, tersisa satu chapter untuk Alternative ending––di mana menjelaskan teka-teki yang tersisa di TWIB. Kedua, makasih pisan yang udah dukung cerita ini. Kamu ^_^ makasih udah niat vote, comment dan hei kamu, iya kamu yang rekomendasiin cerita ini kepada yang lain. Lope lope lah aku padamu awokwokwok

Nah, yang ketiga, aku cuma minta doa. Dalam beberapa hari ini adalah waktu yang berat banget, ini juga alasan aku gak update-update. Dan aku udah disibukkin sama urusan sana-sini. Fuh!

Jadi aku minta doa kalian guys, semoga aku dilancarkan untuk urusan yang sedang aku kerjakan. Terutama urusan utama ini. Doakan aku ya teman-teman agar urusan ini dapat diatasi, dipermudah dan mendapat hasil yang amat baik sehingga aku bisa menghibur kalian semua. Aku juga kangen sama kalian dan cerita-ceritaku yang lain. Rasanya gatel pengen nunjukin chapter selanjutnya tapi pikiran berpusat pada urusan itu aja. Jadi jatuhnya gak bisa fokus.

Maaf ya aku baru bisa update.

Boleh dong komen di chapter ini. Semoga aja kalian suka.

REMEMBER FOLLOW, VOTE AND COMMENT :)

*

       Aku merasa tubuhku ringan. Tidak ada rasa sakit. Hanya rasa bahagia yang menguap. Ketika mataku mengerjap. Kupu-kupu putih berhamburan menjauhi tubuh kami. Kepalaku masih setia menyadar di dada Mama selagi memerhatikan kupu-kupu putih yang mengepak tenang di sekitar kami. Lalu aku menyadari sesuatu––kami tidak lagi berada di ruangan yang sama dengan ribuan mayat yang hancur, tidak bergumul dengan belatung menjijikkan dan juga tidak berada dalam kobaran kebakaran. Kami berada di dalam gazebo yang indah. Tanaman rambat melilit di tiang-tiang gazebo. Di depan kami terdapat hamparan rumput hijau dengan tanaman bunga yang baru mekar. Pohon-pohon bunga yang bertaburan di sekitar taman merunduk. Saat angin berembus, bunga-bunga itu berguguran. Aku termenung hingga aku melihat tangan halus Mama yang berkilau terbalut renda mengelus rambutku.

     Aku mengernyit, seketika menjauh untuk melihat wajahnya. Betapa terkejutnya aku ketika mendapati tidak ada lagi kulit cekung yang menghitam di wajah Mamaku. Mama kembali menjadi sediakala. Bahkan jauh lebih baik dari saat aku bersamanya. Kulitnya berkilau seolah ditaburi oleh berlian. Aku terisak, bibirku bergetar. “Mama ...,” Mama mengangkat tangan, mengelus pipiku kemudian mencium wajahku bertubi-tubi tanpa kehilangan secelah apa pun di wajahku. Dia terisak sembari tersenyum, berkata, “Verucia, anakku. Sayangku. Aku benar-benar bisa merasakanmu lagi dalam pelukanku.” Dia memelukku erat, mencium puncak kepalaku sebelum menggesekkan hidungnya di hidungku selagi ibu jarinya mengelus pipiku.

“Akhirnya aku bisa bertemu Mama lagi,” kataku lalu mengusap pipi Mama. Mama menangkup tanganku, mengarahkannya ke bibir untuk dicium. Aku kembali menangis. Mama menggeleng cepat. “Tidak sayangku, jangan menangis. Kita tidak berada di sini untuk bersedih,” sahut Mama, menyeka air mataku. Lalu dia memelukku ketika tangisanku tidak reda. Aku benar-benar merasakan kebahagianku membuncah.

    “Di mana kita?” tanyaku, setelah aku berhenti menangis dan diam mengamati pemandangan di sekitarku.

“Tempat yang jauh. Tidak ada seorang pun yang dapat menemukan kita,” sahut Mama. “Bukankah sebaiknya kita menikmatinya dengan keluar?”

       Aku mendongak, tersenyum lebar dan mengangguk. Kami bangkit. Segera aku terpana dengan gaun yang kami pakai. Mama dengan rambut yang terburai dengan mahkota penuh berlian di kepalanya tampak begitu anggun. Sementara aku memakai gaun biru dengan rambut yang dikepang dan disanggul. Kami menatap ke depan. Lalu berjalan sambil berpegangan tangan menuruni tangga. Ketika kami memasuki hamparan taman yang luas. Aku seperti dihujani oleh keajaiban. Pohon-pohon bunga bergoyang, menaburi kami dengan bunga-bunga yang harum. Untuk pertama kalinya aku merasa seperti seorang pejuang yang disambut oleh rakyatnya sendiri.

The Woman In BlackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang