The Woman In Black #72

1.5K 225 55
                                    

Aku bingung harus bilang apa saat baca komentar kalian. Kebanyakan sih ketawa. Karena, astaga, harapan kalian tinggi banget sama ini cerita. Sampai berharap dibuat film.

Gak sekali aku baca. Tapi di beberapa chapter!

Aku gak bisa bayangin kalau cerita ini dibuat film seperti apa. Tapi sepertinya terlalu di luar ekspetasi aku. Aku gak bisa bayangin. LOL. Tapi terima kasih dukungannya. Kalian memang pembaca yang manis.

REMEMBER FOLLOW, VOTE AND COMMENT :)

*

Aku duduk menyandar pada dinding dekat ujung ruangan bersama sahabatku. Kakiku menekuk di dada sementara tanganku merengkuhnya. Aku menoleh ke samping kiriku untuk melihat Elby yang sedang diam tertunduk memerhatikan temuan barunya. Sementara itu kakakku terus berjalan hilir mudik dengan perasaan kesal yang menyeruak. Rambutnya sudah kering, kerutan muncul di seputaran dahinya. Dia menggigit kuku telunjuknya, sesekali mengibaskan rambut jika mengenai wajahnya. Suhu di sini berubah jadi hangat sehingga keringat muncul di dahi kami.

Aku hanya melirik Alby yang sedang duduk di samping kananku. Dia menaruh kedua sikunya di lutut sementara lengan saling menyilang. Alby mengembuskan napas berulang kali sehingga membuatku berpikir dia antara lelah, pasrah atau mungkin bosan.

“Kita akan mati di sini!” seru Putri. Dia berubah sangat gusar. Aku bisa mendengar suaranya bergetar. Kakakku menghadap Elby. “Tidak akan ada yang menolong kita. Kita akan mati sama seperti tiga mayat itu! Tidak ada yang akan berkunjung ke pemakaman kita. Kita hilang! Orang tidak akan tahu kita sudah mati atau belum karena kita terjebak!”

“Duduklah Putri. Alangkah bijaksananya jika kamu menghemat tenagamu. Kamu bisa benar-benar mati jika kamu begitu terus,” kata Elby. “Tidak ada air di sini. Kamu bisa mati karena dehidrasi. Mungkin kamu akan mengalami halusinasi terlebih dahulu.”

“Elby!” Aku menyenggol lengannya untuk memperingati. Dia malah membuat suasana hati kakakku semakin runyam.

“Ah! Ya! Tentu saja! Tidak ada air. Kita lihat sampai berapa lama kita akan bertahan di sini karenamu!” sahut Putri.

Elby seolah tuli. Dia hanya memusatkan perhatian pada kalung liontin di tangannya kemudian kertas tersebut. Alby menghela napas, “kita tidak akan mati.”

Kakakku berkacak pinggang dengan congkak, “oh ya, dari mana kamu tahu?”

“Pasti ada jalan keluar di sini. Kita hanya perlu mencarinya,” kata Alby. “Lagi pula aku yakin orang yang membuat semua ini pasti berpikir untuk membuat jalur evakuasi atau apalah. Karena tidak ada jalan masuk jika tidak dibuat jalan keluar juga. Jadi aku percaya bahwa pintu itu ada di sini.”

“Kamu punya teori itu dari mana? Jangan bilang kamu sedang berhalusinasi,” dengus kakakku.

Alby menyibakkan bagian depan rambutnya ke belakang, “ada sarkofagus di sini. Itu berarti pernah ada orang yang masuk ke sini dan mereka juga lolos dari sini. Bukankah aneh jika memasukkan benda seberat itu tanpa jalur pintu yang benar? Lihat saja jalur masuk kita sebelumnya. Bentuk pintunya dibuat bidang miring dan bisa kembali menutup sendiri.”

Di saat itu pikiranku menjadi terkoneksi dengan cara berpikir Alby. Kenapa aku tidak berpikir sejauh itu?

“Menurutmu bagaimana cara orang-orang membawa sarkofagus tersebut ke sini tanpa membuat sarkofagus itu cacat? Bukan perkara mudah memindahkan satu sarkofagus dari satu tempat ke tempat yang lain,” kata Alby.

Putri memutar mata, “oh, bisa saja bukan kalau pintu masuk itu belum dibuat sebelumnya? Mereka memakai tali atau tangga atau apalah yang dapat membantu mereka memindahkan sarkofagus tersebut ke tempatnya. Ini seperti kamu berpikir bahwa makam mesir kuno yang dulu dibuat sebelum Piramida. Dan bukan semata-mata karena Alien,” kata Putri.

The Woman In BlackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang