The Woman In Black # 20

3.8K 505 19
                                    

Samara adalah temanku yang paling pendiam. Tidak sih kalau ada Alby. Kemarin aku bertemu dengan Alby dan lucunya dia dipaksa memakai kacamata. Dia terlihat berbeda! Dan terlihat....aku tidak ingin menyebutkannya. Nanti dia akan sombong. Malam itu, Alby membawa sahabatnya Samara dan dia memberiku sebuah gambar. Aku tidak akan memberitahukannya pada kalian :) ini khusus untukku,katanya. Lebih tepatnya semacam menyogok aku karena dia tidak datang seminggu ini.

Pesan dari Alby untuk Samara :

Aku lebih suka Samara saat marah. Dia banyak bicara :)

____________

Aku tidak akan pergi.

Aku harus pergi.

Sial! Ini menyulitkanku. Aku tidak ingin mengalami hal ini lagi.

Aku menggumam pelan,masih menetap di atas ranjang dengan kaki yang di tekuk. Aku terdiam dan berusaha untuk mengerti keadaanku sekarang. Kejadian terus berulang di kamar ini.

Aku melihat dinding di hadapanku yang terus bergetar hingga menimbulkan serbuk kayu yang berjatuhan. Dinding itu di pukul dengan keras, bisa kulihat hal itu. Setengah diriku ingin aku menetap saja di ranjang dan lainnya ingin aku beranjak dari ranjang ini.

Tapi aku mempertahan sebagian kemungkinan terjadi. Aku akan tetap di ranjang ini. Aku mengeratkan pelukanku pada kakiku yang meringkuk tersebut. Ini bukan kamarku. Hanya satu ranjang besar dan megah di sini dan sialnya aku yang selalu berada di tempat itu.

Detak jantungku berpacu cepat melihat dinding itu bergetar hebat. Hingga beberapa detik kemudian, tak ada suara apapun. Dinding itu berhenti di pukul keras. Tapi itu hanya berlangsung sebentar karena setelahnya. Celah-celah dinding itu mulai mengeluarkan tetesan air..oh bukan! Bukan! Itu bukan air melainkan darah.

Tetesan itu mengalir pada dinding tersebut sehingga mengubah warna dinding tersebut menjadi merah pekat yang beramis. Aku bisa merasakan bau amis yang sangat menyeruak itu di hidungku. Darah kental yang mengalir jatuh ke lantai hingga membentuk genangan kecil.

Genangan kecil yang kemudian berubah menjadi genangan besar hingga membajiri tempat ini. Aku menunduk ke sisi ranjang. Darah itu belum menaiki permukaan ranjangnku, masih berada di kaki ranjang,mengalir tenang.

Aku kembali ke posisiku. Memandang ke arah pintu. Dan satu hal yang terpikir di otakku. Aku harus keluar dari sini. Dengan keberanianku yang tidak sebanding dengan ketakutanku. Kudekati sisi ranjan,merubah posisiku menjadi duduk. Kakikku masih menggantung. Aku-pun mulai meletakkan kakiku ke lantai yang telah di banjiri oleh darah beramis itu.

Darah itu hanya mencapai di lima jengkal di atas mata kakiku. Aku bahkan tak bisa melihat kakiku karena darah ini. Aku bahkan tidak menyadari pakaian yang kupakai. Aku memakai pakaian tidur berkerung tinggi dengan beberapa kancing yang menghiasi pakaian depanku. Ujung pakaianku terkena bercak-bercak darah. Tapi aku tidak peduli.

Aku berjalan dengan sangat hati-hati. Mendekati pintu kamarku. Ketika aku mencapainya. Sangat sulit untuk membukannya. Aku harus berjuang setengah tenaga untuk membuka dan aku berhasil.

Darah itu mengalir keluar dari kamarku. Aku memegang sisi pintu. Aku masih berada di ambang pintu. Kupikir di luar kamarku akan lebih baik tapi sayang itu sebaliknya. Aku malah tak bisa melihat apapun. Terkecuali asap-asap yang menutupi kedua sisi jalanku. Sisi kiri dan kanan. Aku tidak dapat melihat apapun. Namun suara pria yang pernah ku dengar terdengar di gendang telingaku. Memanggil seseorang.

"Putri Verucia!"

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Semakin suara itu dekat aku juga bisa mendengar suara langkah kecil itu. Samar-samar aku melihat sosok pria yang berlari mendekatiku dan berteriak menyebut nama Putri Verucia.

The Woman In BlackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang