50

400K 12.1K 5.5K
                                    

Tuhan seperti menjawab permintaannya semalam. Darka berharap bisa memeluk Chinta pagi ini di sekolah, sekarang tuhan menjawab permintaannya. Sayangnya bukan pelukan seperti ini yang Darka inginkan.

"Kamu tau, ini menyakitkan buat aku. Dari semalem aku mau meluk kamu, tapi bukan pelukan ini yang aku mau."

"Kalau kita putus, aku mau peluk siapa?"

"Maaf." Lirih Chinta pelan, air matanya terus mengalir.

Ritme jantung Chinta semakin cepat, napasnya berderu hebat. Dia kembali sesak akibat tangisannya. Chinta menahan deru napas di pelukan Darka.

Darka yang merasakan hal itu lantas melepaskan pelukannya, menatap cewek itu lekat yang sudah sangat sulit bernapas, dengan air mata yang masih mengalir di pipi.

Darka menatap cewek itu cepas.

"Asma kamu kambuh?" tanya Darka mulai panik.

Cewek itu tidak merespon. Chinta masih mencoba menstabilkan napasnya. Tangannya berada di dadanya sekarang, menggenggam erat seragamnya memberikan sedikit pukulan agar udara masuk. Chinta terlihat begitu kesakitan, Darka jadi benar-benar panik.

"Mana obatnya?" tanya Darka, kedua tangannya berada di pundak Chinta.

Chinta tidak merespons, cewek itu masih sibuk mengatur napasnya.

"Mana obatnya?" tanya Darka lagi, suaranya lebih keras memaksa Chinta melihatnya.

Tatapan mereka bertemu, Darka melihat sorot kepedihan di mata Chinta. Cewek itu sangat kesakitan, Darka tahu itu.

"Mana obatnya?" kali ini Darka sedikit lembut.

Chinta menggeleng, terus menjatuhkan tangan Darka dari pundaknya.

"Gue..... mau.....pu...tus," pinta Chinta di sela napasnya. Untuk mengucapkan tiga kata saja, sangat sulit untuk Chinta sekarang.

Darka terdiam, dia tidak menjawab ucapan Chinta.

"Mana obatnya, kamu butuh itu sekarang."

Lagi chinta hanya menggeleng, padahal dia sendiri cukup sakit menahan sesaknya.

"Kamu kenapa sih, kata putus itu nggak penting. Yang penting itu obat, mana obatnya?" kesal Darka, dia cukup bersabar menghadapi keras kepala Chinta.

Chinta menggeleng, menatap Darka lekat. Dengan deru napas yang sangat sulit untuk dia.

"Penting buat gue." sela Chinta, air matanya terus berjatuhan, napasnya semakin terengah.

Darka berdecak, dia cukup frustasi menghadapi Chinta. Darka tahu cewek itu sangat kesakitan, tapi Chinta begitu keras kepala.

"Gue mau putus." ulang Chinta lagi

"Nggak akan pernah." elak Darka, cowok itu merebut paksa tas ransel Chinta. Mencari sesuatu disana, tapi sayang tidak mudah karena Chinta berusaha menghalanginya walaupun dia masih sulit bernapas.

"Chinta, apa sih yang kamu mau?" kesal Darka.

"Lo mau mati?" teriak Darka keras.

Chinta tidak menjawab, dia kembali berjalan menjauh dari Darka. Salah satu tangannya masih berusaha menahan sesak di dada, tangan satunya lagi membawa tasnya.

Darka mengepal kuat tangannya, lalu berbalik mengejar Chinta.

Darka menyamai langkahnya dengan Chinta, selanjutnya cowok itu menghentikan langkah Chinta dengan berdiri di hadapannya.

"Darka minggir, gue mau pulang." sela cewek itu, masih menahan sesaknya.

Darka tidak memperdulikan Chinta, dia merampas paksa tas Chinta. Mengeluarkan semua barang yang ada di dalamnya. Chinta menatap Darka kesal, lantas menarik tasnya.

DARKA (Update kembali)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang