#7

9.6K 836 34
                                    

Sehabis makan malam, (Namakamu) bersama dengan kedua orang tuanya memang sering menghabiskan waktu hingga lebih dari satu jam untuk berkumpul di ruang tengah. Entah menonton televisi, atau bercerita tentang kegiatan sehari-hari mereka. Gunanya, agar komunikasi diantara mereka tetap berjalan meski kesibukan melanda.

"Di Condet ada Gis, Pah. Gimana kalo aku sekolah di sana aja?" tanya (Namakamu) yang seketika teringat perihal rekomendasi dari Iqbaal siang tadi. Siapa tahu Fauzi akan menyetujui hingga dia bisa bersekolah disana.

Fauzi terlihat berpikir sejenak, "Gis itu swasta, kan? Papa maunya kamu masuk Negeri, biar sama kayak di Bandung. Masa di Bandung kamu Negeri giliran di Jakarta malah swasta." ujarnya dengan nada yang begitu halus, agar sang anak tidak merasa kecewa.

"Tapi, Gis fasilitasnya lengkap kok, Pah." ucap (Namakamu) mencoba untuk memberikan pendapat. Sesuai dengan keinginan Iqbaal, bahwa dia harus mencoba membujuk sang papa namun tidak dengan cara memaksa.

Fauzi tersenyum lembut kearah sang anak, "Negeri juga sama, sayang."

(Namakamu) menghembuskan napasnya, dia menatap Fauzi dengan tatapan yang sulit di jelaskan, "Jadi, aku nggak boleh masuk Gis?" tanya (Namakamu), sekedar untuk memastikan.

"Bukannya nggak boleh, papa mau tau sampai mana kemampuan kamu. Karena, Negeri itu saingannya banyak. Kamu nggak bisa main-main, nggak bisa dianggap remeh."

(Namakamu) menganggukkan kepalanya, karena dia pun merasakan hal yang sama sewaktu di Bandung. Saat SMP dia masuk ke sekolah swasta, dia terbiasa menjadi gadis pintar di kelasnya. Selalu mendapat peringkat tiga besar. Tapi, begitu masuk SMA dan memilih di sekolah Negeri, dia sadar bahwa kemampuannya masih belum cukup tinggi untuk bersaing dengan mereka semua.

"Iya, juga sih. Yaudah, terserah papa aja kalo gitu." ucap (Namakamu), dia memilih untuk memainkan ponselnya sejenak.

"Papa udah dapet rekomendasi dari kenalan, ada sekolah Negeri yang tempatnya nggak jauh dari sini." jelas Fauzi membuat (Namakamu) mengalihkan pandangan dari ponselnya.

"Di mana?" tanya (Namakamu).

Fauzi terkekeh kecil sambil mengibaskan tangannya, "Ah, itu bakal jadi kejutan buat kamu. Kamu tetep ambil jurusan yang sama kayak di Bandung, kan?"

"Iya," (Namakamu) hanya mengangguk pasrah, meski rasa ingin tahunya sudah berada di tingkat tertinggi.

Indah mengelus kepala sang anak dengan penuh kasih sayang, "Udah mau lulus, jangan main-main sama sekolahnya." ujar Indah memberikan nasehat.

(Namakamu) mengangkat wajah kemudian memandang Indah, bibirnya mengulas senyum, "Iya, Ma."

"Kalo ada yang nggak kamu ngerti, bisa tanya sama mama atau papa. Oke?"

(Namakamu) terkekeh geli mendengar saran yang diberikan oleh Indah, memperlakukan dirinya seolah dia adalah anak sekolah dasar. Tak masalah, tandanya mereka menyayangi (Namakamu). 

(Namakamu) hanya menjawabnya dengan anggukan karena ponselnya berdering tanda ada pesan masuk yang dia terima dari kekasihnya.

Bae🍆
Yah, jadi kita pisah sekolah?😢

(Namakamu) tersenyum kecil melihat balasan pesan Iqbaal. Memang, dia sudah memberi kabar pada Iqbaal bahwa mereka tidak bisa satu sekolah karena Fauzi tetap menginginkan dirinya untuk bersekolah di sekolah Negeri.

[2] My Choice [IDR] ✔✔ (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang