Tiba-tiba senyum terukir dari wajah Christian, membuatnya kembali mengernyitkan keningnya. Apakah pria ini bermimpi indah?
Tangan yang melingkar di pinggangnya mengerat, membuat kepalanya membentur dada Christian. Sebuah kecupan tiba-tiba terasa di pucuk kepalanya, membawa kehangatan melingkupi dirinya.
"Aku merindukanmu..."
***********
Elle melepaskan tangan yang melingkar di pinggangnya. Menatap, seorang pria yang tersenyum manis ke arahnya. Pria itu, pria yang ditangisinya, pria yang membuatnya merasa sangat bersalah, pria yang membuatnya marah setengah mati, kini dengan santainya tersenyum lebar yang membuat jantungnya semakin berdegup kencang.
Dan kalimat itu, kata merindukan yang terdengar seakan nyata, seakan Christian benar-benar mengatakannya. Telinganya mungkin bermasalah, ya mungkin saja. Mana mungkin pria seperti Christian mengutarakan hal intim seperti itu.
Pria yang berbaring dengan selang impus yang melekat pada lengannya. Serta pendeteksi jantung yang melekat di dadanya tersenyum lebar seakan tak terjadi apa-apa pada pria itu.
Elle menggelengkan kepala bingung. Ia tak habis pikir dengan apa yang baru saja terjadi. Semua ini sangat cepat, otaknya terlalu lamban untuk memahami keadaan membingungkan seperti ini.
Elle bangkit dari tidurnya, hendak turun dari tempat tidur namun segera ditahan oleh Christian. "Kau mau kemana, tetaplah disini!"
Elle menggeleng, "Kau sedang sakit."
Tidak mungkin bukan Elle tidur dengan orang yang sedang sakit. Apa lagi melihat keadaan Christian yang tak dapat dikatakan cukup baik. Pria itu terlihat mengenaskan dengan wajah yang penuh luka serta kepala yang dibalut oleh perban.
"Ini bukanlah apa-apa," Christian berusaha membujuk agar Elle tetap diam di tempatnya.
"Aku duduk di sofa saja. Lagi pula sofanya tidak sesempit yang ada di apartemenku." Elle tetap memaksa untuk turun, Christian melepaskannya, ia tak dapat berbuat apa-apa selain membiarkan kemauan wanita itu.
Elle duduk di sofa berukuran besar berwarna hitam pekat. Sofa tersebut berjarak sekitar satu meter dari tempat Christian terbaring.
Mereka diam. Selama lima belas menit tak ada di antara mereka yang mengeluarkan sepatah kata. Mereka terdiam dengan pikiran yang melayang-layang. Memikirkan hal buruk yang baru saja mereka lalui. Hal itu bukanlah hal yang direncanakan oleh Elle maupun Christian sebelumnya.
"Maafkan aku..." lirih Elle dengan pandangan lurus menatap lantai berwarna putih.
"Kemarilah," Christian berkata sambil menggerakkan lengannya yang bebas.
"Maafkan aku.." ujar Elle tanpa memperdulikan apa yang dikatakan oleh Christian sebelumnya.
Elle sungguh menyesal dengan apa yang terjadi kepada mereka. Seharusnya ia tak bersikap egois seperti kemarin. Andai saja ia tidak membawa perasaan di antara dirinya dan Christian, semua ini pasti tidak akan terjadi. Dan mereka akan terlihat seperti biasa, seperti seharusnya mereka terlihat. Seorang atasan dengan sekretarisnya, tidak lebih.
Kepergian dirinya dan Christian pasti menjadi pembicaraan hangat di kantor. Mereka pasti menduga hal-hal yang tak benar.
Apa lagi kaum wanita sangat mengidolakan Christian, bahkan mungkin pria itu lah yang menjadi fantasi mereka saat tidur bersama pria lain. Mungkin saat ia kembali, para wanita tidak akan menyukainya.
"Mendekatlah, kau terlalu jauh untuk kujangkau!"
Kali ini, Elle merespon. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke sisi kanan brankar tempat Christian berbaring. Pria itu menatapnya tajam dengan bola mata abu-abu yang menghipnotis. Elle menarik kursi, duduk di samping Christian yang menatapnya dengan tajam. Matanya menatap ke arah mana pun, asalkan tidak menatap wajah Christian yang terlihat menyeramkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Billionaire's Cold
RomanceBagian diprivate acak, silahkan follow sebelum membaca. ____________________________________ Berkerja sebagai sekertaris di sebuah perusahan terkenal di Amerika Serikat adalah impian seorang wanita polos bernama Elle Watson. Hal itu terwujud setelah...