Seketika aku tergagap saat mendengar pertanyaannya itu. Aku jadi malu sendiri saat dia bertanya seperti itu padaku. Dia masih menatapku dengan tatapan yang entahlah tidak bisa kudeskripsikan.
"Mmm... itu anu.." Aku bingung harus berkata apa. Yang dapat kupastikan saat ini pipiku memerah karena menahan malu yang luar biasa.
"Hahahaha lu lucu amat yeh." Kak Ar mengacak-ngacak rambutku.
Sebenarnya aku terpana dengan sikap yang dia tunjukkan padaku untuk saat ini. "Tumben banget kakak ketawa gitu kan biasanya serem mulu tuh muka." Sialnya kekepoanku tersuarakan begitu saja.
Refleks aku langsung menutup mulutku. Aku merutuki kebodohanku yang berulang kali ini. Bisa dipastikan aku tidak akan selamat dari cekraman binatang buas di hadapanku ini.
Aku terus menunduk. Tidak berani menatapnya. "Jadi menurut lu, gue ini serem gitu?" Tanyanya.
Aku sebenarnya merutuki pertanyaannya itu karena jujur aku tak tahu harus menjawab itu. "Jadi menurut lu selama ini muka gue seserem itu?" Tanyanya lagi tetapi entah mengapa aku merasakan nafas hangat yang menerpa sisi wajahku.
Aku merasa ada yang janggal. Dengan memberanikan diri aku menatapnya. Selama beberapa detik aku merasakan waktu terasa berhenti. Kini aku dapat melihat dengan jelas bola mata yang indah di hadapanku ini. Entahlah aku merasakan ada hal yang berbeda dari kedua bola mata itu.
Selama beberapa detik yang kami lakukan hanyalah saling bertatap. Sebenarnya aku mengagumi keindahan bola mata di hadapanku ini. Aku tak tahu mengapa aku merasakan hal itu hingga akhirnya sang pemilik bola mata itu memutuskan kontak tatapan itu.
Aku pun langsung menunduk lagi. Merasa canggung untuk beberapa detik itu. "Ehem." Dia berdehem dan aku langsung menoleh padanya.
"Gue belum denger jawaban lu Ret. Jadi menurut lu gue ini serem?" Dia mengulang lagi pertanyaannya itu.
Aku menghela nafas mempersiapkan batinku untuk menjawab pertanyaan dari binatang buas di hadapanku ini. "Emm.... iya kak." Jawabku akhirnya dengan suara lirih tetapi pasti masih dapat didengarnya.
"Bagus dah emang gitu kan seharusnya. Tampang penguasa kan emang harus serem supaya kagak ada yang berani lawan termasuk lu." Aku melongo saat mendengar ucapannya itu.
Ingin sekali aku berkata kasar padanya. Respon dia begitu amat dah mentang-mentang penguasa sekolah. Aku mah cuma bisa sabar sajalah.
"Kenapa lu?" Tanyanya lagi.
"Eh gak apa-apa kok kak."
"Gue baru tahu Antha punya adek." Ujarnya tiba-tiba yang langsung membuatku memfokuskan perhatianku padanya.
"Mungkin dia gak ngasih tau siapa-siapa kalau dia punya adek." Jawabku lirih. Lebih tepatnya mungkin saja dia malu mengakuiku sebagai adiknya.
"Oh ya? Atau mungkin dia mempunyai alasan besar di balik itu bukan." Aku menatap Kak Ar dengan was-was. Jangan sampai dia mengetahui rahasia itu. Mungkin saja dia akan menggunakan rahasia itu sebagai senjatanya untuk membuat Kak Antha hancur.
Walaupun Kak Antha membenciku tetapi aku tidak akan pernah sekalipun membencinya. Aku akan melindunginya walaupun dia ingin menghancurkanku karena, walau bagaimanapun kita tetap seorang kakak beradik.
"Gak mungkin kak." Sanggahku.
Kak Ar menatapku dengan tatapan yang entahlah tidak bisa kujelaskan. "Lu ngelindungi orang yang jadiin lu sebagai umpan." Ujarnya.
Aku mengernyitkan dahiku berusaha mencerna ucapannya itu. "Lu tahu kan gue sangat benci kakak lu. Posisi lu di sini mungkin saja sebagai umpan dan senjata kami. Gue harap lu kagak tumbang di tengah jalan sebelum tujuan gue tercapai. Kalaupun lu tumbang, gue bakal nyeret lu secara paksa. Gue gak peduli, yang penting tujuan gue tercapai jadi jangan harap lu bisa lari dari gue Aretha." Ujarnya dengan penuh ancaman.
Tubuhku langsung menegang saat mendengar ucapannya itu. Aku terlalu takut untuk membayangkan kemungkinan apa saja yang akan terjadi ke depannya.
Baru saja aku ingin menyuarakan pendapatkan, tiba-tiba saja dia menarik tanganku untuk berdiri. "Lu gak usah protes karena gue gak bakal mau dengerin protesan lu itu." Ujarnya sebelum kita berjalan menuju kelasku.
Ternyata bel masuk telah berbunyi. Aku merasa tubuhku kembali mulai melemas. Mungkin ini adalah efek dari ucapannya di rooftop tadi.
"Ntar gue tunggu di parkiran. Awas aja kalau lu kabur!" Peringatnya sebelum pergi meninggalkan kelasku. Aku pun hanya bisa mengangguk lemah.
Selama pelajaran berlangsung pun sebenarnya pikiranku melayang pada kejadian di rooftop. Entah mengapa sikap Kak Ar bisa berubah secepat itu, padahal awalnya aku terkejut saat dia tiba-tiba saja tertawa lepas lalu setelah itu dia mengancamku. Sebenarnya ada apa dengan dia.
Hal ini juga berkaitan dengan apa yang kurasakan saat kami beratatapan dalam jarak yang dekat, entah mengapa pada saat itu seolah-olah waktu terasa berhenti bahkan fokusku hanya berpusat pada bola mata itu yang menurutku mempunyai sejuta misteri di dalamnya.
Dan apa sebenarnya yang terjadi antara Kak Antha dan Kak Ar, mengapa mereka terlihat sangat bermusuhan. Apa latar belakang dari kebencian mereka dan mengapa mereka menjadikanku sebagai umpan ataupun senjata mereka. Apakah aku bisa atau malah tumbang di tengah jalan.
Terlalu banyak pertanyaan yang berkecamuk di pikiranku, yang aku sendiri tak tahu kepada siapa aku mendapatkan jawaban dari semua pertanyaanku itu.
Aku terus memikirkan semua itu hingga akhirnya di sinilah aku berada. Tempat parkir. Namun, orang di hadapanku bukanlah orang yang menyuruhku untuk pergi ke tempat ini. Orang di hadapanku ini adalah sumber dari kambuhnya penyakit jantungku.
"Hey." Sapanya sambil tersenyum manis padaku.
Senyuman itu membuat jantungku semakin berpacu semakin cepat. "Oh hey. Kok Kak Afkar di sini? dimana Kak Ar?" Tanyaku pada akhirnya.
"Si Ar ada urusan mendadak jadi dia ngasih amanat ke gue untuk nganterin lu pulang." Jelasnya. Aku hanya ber O saja.
"Yaudah ayo naik ke mobil gue." Ajaknya tetapi membuatku mengernyitkan dahi.
"Tumben kakak bawa mobil kan biasanya bawa sepeda motor."
"Gara-gara pacar lu tuh jadinya gue jemput mobil gue deh di rumah temen. Dia takut kali lu meluk gue. Gila kan pacar lu possessive amat dah." Ujar Kak Afkar sambil terkekeh. "Yaudah yuk naik. Gue bakal anterin nyonya ratu dengan selamat sesuai perintah tuang raja."
Aku pun segera naik ke mobil itu. Selama perjalanan hanya lagu yang menyelimuti kami. Aku tak tahu harus ngomong apa apalagi aku harus mengontrol penyakit jantungku ini. "Ret apapun yang terjadi lu jangan sampai tumbang yah." Ujarnya tiba-tiba yang langsung membuatku menoleh padanya.
"Maksud kakak?" Tanyaku sambil mengernyitkan dahi.
"Lu jangan sampai nyerah. Kalau lu capek lu istirahat aja sebentar lalu lari lagi tapi lu harus inget gue akan selalu ada disamping lu jika lu butuh seseorang sebagai sandaran, walaupun itu terlepas dari tugas lu." Aku semakin tak mengerti dengan perkataan yang dikatakan oleh Kak Afkar.
"Kalau lu butuh sandaran atau tempat istirahat gue siap kok jadi semua itu. Inget itu Aretha."
####
Hayo Typo bertebangan
Sorry yah pendek cuma 1009. Aku baru aja dapat ide.
Budayan vote dan comment kawan
Kira-kira Aretha milih siapa yah? wkwkwk
kalau dijadiin sad ending menarik gak nih hehehe
Makin absurd dan berantakan yah ceritaku hehehe
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Bad Boy#Wattys2018
Teen Fiction"Mulai hari ini lu harus jadi pacar gue dan jangan sekali-kali ngebantah gue!" - Air Nakhla Rahaja "Hidup gue berubah sejak hari itu." - Aretha Nathania Reinaldy "Apa gue harus ikhlasin dia?" - Afkar Reymon Fidelyo ---------------------- Bagaimana j...