BAB 42

2.7K 113 22
                                    

Selama perjalanan pulang hanya keheningan yang menyelimuti kami. Dan tak seperti biasanya Kak Ar membawa sepeda motornya lumayan santai padahal biasanya dia akan gila dan mengangap jalan raya sebagai arena sirkuit tetapi lihatlah sekarang. Seakan-akan dia ingin menikmati setiap momen ini dan jujur saja aku pun mengakui sangat menikmati momen ini. Momen disaat aku dapat menghirup aroma maskulin yang sangat memabukkan. Aku baru menyadari bahwa aroma itu bagaikan candu bagiku. Aku ingin setiap saat aroma itu berada di sampingku. Aku menyukainya.

"Ret gue tau kalau gue wangi. Gue sih rela-rela aja punggung gue jadi guling lo tapi kita udah sampai," ujarnya yang membuatku tersentak kaget.

Dia terkekeh kecil. "Ishh apaan sih." dengan segera aku turun dari sepeda motornya.

Aku merasakan pipiku memanas. Dan aku masih melihatnya yang sedang menatapku dengan jahil. "Yaudah kak aku ke dalam dulu. Makasih udah nganterin," ujarku.

Saat aku hendak berbalik tiba-tiba saja dia memegang pergelangan tanganku. "Ada apa kak?" tanyaku.

Kini dia menunduk untuk mensejajarkan wajahnya denganku. "Lo gak mau ngasih gue salam perpisahan gitu," ujarnya dengan nada serius.

Aku mengerutkan dahi. "Salam perpisahan gimana kak?" tanyaku.

Dia tersenyum misterius. Bukannya menjawab dia semakin mendekatkan wajahnya padaku. Anehnya tubuhku terasa kaku tak bisa menjauh darinya. Bagaimana ini aku dapat mencium aroma mint dari mulutnya. Yang kulakukan hanya bisa memejamkan mata. Menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku merasakan ada sesuatu yang hangat menempel di keningku.

Aku syok dengan kejadian itu. "Itu namanya salam perpisahan dari sang raja untuk sang ratu," bisiknya yang sukses membuat tubuhku menegang.

Setelah itu dia pun berlalu pergi meninggalkanku yang masih saja mematung akibat kejadian beberapa detik yang lalu. Aku menyentuh keningku. Seketika senyum terbit di bibirku. Dia mencium keningku.

Aku terus tersenyum saat mengingat-ingat momen itu. Untuk pertama kalinya aku merasa ada perasaan yang membuncah bahkan aku sendiri tak yakin dapat mengendalikan perasaan ini.

Aku terus menebar senyum hingga aku sampai di depan pintu kamarku. Saat aku membuka pintu kamarku seketika tubuhku menegang. Aroma amis menguar begitu saja saat aku memasuki kamarku. Aku tercengang dengan keadaan kamarku saat ini.

Aku melihat banyak noda darah di lantai. Keadaan kamar yang begitu berantakan dan juga ada beberapa fotoku yang penuh dengan noda darah dan pisau yang menancap di foto itu. Bahkan ada beberapa tulisan mengerikan yang kuyakini ditulis dengan darah. Air mataku semakin deras mengalir. Aku ingin berteriak meminta pertolongan tetapi teriakanku seperti terendam di tenggorakan. Perih yang kurasakan saat ini.

Badanku luruh ke lantai yang penuh dengan bercak darah. Aroma darah yang semakin menusuk indra penciumanku. Aku harus meminta pertolongan. Dengan tangan yang bergetar aku mencari ponselku yang berada di tas. Saat aku menemukannya entah mengapa jempolku tak bertenaga untuk menelfon seseorang. Beberapa kali ponselku terjatuh ke lantai. Tiba-tiba saja saat aku ingin meraihnya,ponselku berbunyi yang menandakan ada panggilan masuk. Dengan tangan yang masih bergetar hebat aku segera mengangkatnya tanpa melihat nama si penelfon.

"Halo," sapa di sebrang.

"..."

"Ret lo dimana gue-"

"Tolong," ujarku dengan nada putus asa.

"Ret lo kenapa kok suara lo getar gitu,"

"Tolong!" kali ini suaraku mulai terdengar histeris.

"Tolong hiks hiks."

"Lo dimana sekarang?!"

"Rumah," jawabku singkat masih dengan suara yang bergetar hebat.

"Gue kesana. Lo tenang yah," ujarnya berusaha menenangkanku.

Setelah itu sambungan terputus. Ponselku pun tergeletak begitu saja. Aku memeluk erat tasku. Bayang-bayang masa lalu pun menghantuiku. Aku pernah merasakan situasi ini. Aku merasa ini kejadian yang terlurang kembali tetapi untuk kali ini efeknya sangat luar biasa. Kepalaku sangat pusing. Bayang-bayang itu terus saja memasukiku. Memaksaku untuk terus mengingatnya.Mengingat saat-saat aku menangis di tempat itu. Berteriak meminta pertolongan tetapi tak ada satu pun orang yang membatuku. Menyaksikan mereka membantai orang-orang yang kusayang. Bayang-bayang hitam itu semakin mendominasi pikiranku hingga akhirnya kegelapan pun menelanku. Sebelum itu aku mendengar suara yang kudengar tengah meneriaki namaku dengan khawatir. Seseorang memapah tubuh tak berdayaku hingga akhirnya aku benar-benar tenggelam dalam kegelapan itu.

***

"Om gimana keadaan temanku?"

Samar-samar aku mendengar suara seseorang yang kukenal. Beberapa kali aku mengerjapkan mataku berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke mataku. Kepalaku masih terasa pusing.

"Dok pasien sudah sadar"

Samar-samar aku melihat seorang pria berjas putih memeriksaku. "Keadaannya masih belum sadar. Usahakan dia jangan terlalu banyak pikiran yang dapat menyebabkan kinerja otaknya terganggu dan dapat merusak mentalnya," ujar pria itu setelah itu dia pergi meninggalkan ruangan ini.

"Ret ada sakit?" tanya seseorang yang kukenal.

Aku menggeleng lemah. Aku menitikkan air mataku. "Ret lo kenapa? Gue panggilin dokter yah," ujarnya khawatir.

"Jangan kak," ujarku lirih.

"Air," pintaku dan dengan segera dia membantuku untuk minum air yang tersedia di nakas.

"Makasih Kak Afkar." aku tersenyum kecil padanya.

"Itu udah jadi kewajiban gue Ret. Yaudah mendingan lo istirahat aja yah," ujarnya tulus.

Aku menggeleng lemah. "Gak bisa tidur takut mimpi buruk lagi."

Dia pun mengerti. Aku hanya memandang langit-langit kamar yang kuyakini di rumah sakit. Pikiranku berkelana pada kejadian beberapa waktu yang lalu dan ingatan mengerikan yang entah datang darimana asalnya. Aku bersyukur Kak Afkar menolongku pada saat itu. Membayangkan kejadian tadi saja sudah membuatku ketakutan.

"Udah lo gak perlu takut selama gue ada di sisi lo. Lo akan aman Ret karena lo adalah tanggung jawab gue," ujar Kak Afkar yang langsung membuatku menoleh padanya.

"Maaf udah ngerepotin kakak tadi-"

"Stt lo gak ngerepotin gue kok. Kan gue udah bilang kalau lo tuh tanggung jawab gue Ret," potongnya.

"Gue udah selalu bilang sama lo kalau gue siap jadi sandaran lo kalau lo butuh. Gue bakal ada di setiap lo ada masalah. Gue siap ngejaga lo. Gue siap jadi perisai lo. Jadi cukup lo anggap gue ada karena dengan begitu gue udah ngerasa senang kok Ret. Lo mau kan?"

Aku cukup terpana dengan pernyataannya itu. Aku merasa jantungku berdetak lebih cepat saat melihat pancaran tulus dari kedua bola matanya.

Aku tersenyum manis padanya. "Makasih Kak udah rela mau ngelakuin itu semua demi Aretha dan Aretha juga akan berada di sisi Kak Afkar," ujarku tulus tanpa mengerti sebenarnya apa yang kuucapkan akan berakibat sesuatu pada seseorang.

"Yaudah lo istirahat yah. Jangan takut gue bakal temenin lo kok. Sekarang lo pejamin mata lo dan bermimpilah dengan mimpi yang indah karena gue akan nemenin jalan lo ke mimpi indah itu," ujarnya sembari memegang tanganku dengan lembut.

Aku pun menuruti perkataannya itu. Aku mencoba memejamkan mataku dan berusaha meraih mimpi indah yang akan kulalui. Entah mengapa aku merasa ringan mungkin ini efek dari ucapan Kak Afkar. Samar-samar aku mendengarnya mengucapkan sesuatu hingga akhirnya aku pun terlelap dalam dunia mimpi.

"Lo tanggungjawab gue Ret. Karena lo sukses jadi bagian terpenting dari seorang Afkar Reymon Fidelyo...."

####


Cieee mana nih Tim Afkar-Aretha

Jangan lupa tinggalin jejak yah vote+comment

See u next chapter

My Perfect Bad Boy#Wattys2018 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang