BAB 43

1.7K 66 2
                                    

Darah. Tangisan. Teriakan. Tawa mengerikan.

Aku dimana? Mengapa keempat hal itu terus-menerus ada di otakku seakan-akan aku pernah mengalami keempat hal itu. Aku menutup kedua telingaku dengan erat, berusaha mengenyahkan keempat hal itu tetapi mengapa keempat hal itu semakin mendekat padaku. Tanpa kusadari kakiku melangkah menyusuri lorong gelap di hadapanku. Semakin ku melangkahkan kaki, semakin dekat pula aku menuju hal mengerikan itu.

Badanku bergetar hebat tetapi aku tak bisa menghentikan langkah kakiku. Saat itu juga aku melihatnya. Melihat semua kejadian itu. Aku melihat seorang anak kecil yang meringkuk di bawah tempat tidur. Di bawah sana dia dapat melihat kedua orang yang dia sayangi disiksa dengan kejam. Dia ingin keluar dari sana untuk menyelematkan kedua orang itu tetapi tubuhnya kaku tak bisa digerakkan, apalagi pesan seseorang yang mengharuskan dia untuk bersembunyi di bawah tempat tidur.

Dia terus memejamkan kedua matanya. Menutup fungsi indera pendengarannya agar tak lagi mendengar alunan lagu yang mengerikan. Ku bertanya-tanya pada diriku atas apa yang tengah terjadi. Aku ingin menghentikannya dan menyelamatkan anak kecil itu namun aku terlalu takut, tetapi apakan semua ini benar adanya. Apa yang kulakukan sudah benar ataukah dikemudian hari aku akan menyesalinya? Aku tak pernah tahu akan hal itu. Aku ingin keluar. Aku tak akan sanggup melihat dan mendengarnya. Tolong. Siapapun tolong aku.

"Ret...Ret..Aretha," aku merasakan tubuhku diguncang seseorang hingga aku pun melihat cahaya yang masuk.

"Ai..r," pintaku,

Dia pun mengambil air yang telah tersedia di nakas dan membantuku meminumnya. "Terimakasih kak."

Dia tersenyum lembut. "Tidak perlu sungkan Ret, gue siap ada di samping lo jadi lo tenang aja," ujarnya yang membuat hati kecilku bergetar.

"Oh yah kalau kondisi lo udah membaik, besok lo sudah bisa pulang." lanjutnya yang membuat senyumanku memudar.

"Gue gak mau pulang," tukasku dengan nada lirih.

"Gue gak mau pulang!" ujarku dengan suara yang meninggi.

Aku melihat Kak Afkar bingung dengan perubahanku, aku pun bingung dengan apa yang terjadi. Aku merasa ketakutan saat mendengar kata pulang. Aku tak mau berada di sana. Rumah itu bukanlah rumahku. Entah mengapa ketakutanku menjalar di setiap nadiku hingga pada akhirnya pun tenggelam kembali dalam kegelapan.

***

Sayup-sayup ku mendengar suara yang tak asing di indera pendengarkanku. Suara yang pada akhirnya membawaku pada sebuah cahaya yang sangat menyilaukan dan sebagai pintu realitas yang sangat kejam.

"Hei akhirnya lo kembali," wajah itu tetap sama. Wajah yang menemaniku saat kondisi terpurukku.

Aku tersenyum kecil berusaha untuk memberitahu keadaanku yang baik-baik saja. "Kak Afkar terimakasih sudah menemaniku," ujarku tulus.

Dia tersenyum lembut. " Gue akan selalu ada buat lo, karena lo telah menjadi tujuan gue." kemudian dia membawaku ke dalam pelukannya.

Aku tak mengerti maksud dari perkataannya namun kini hanya ada kenyamanan yang menjalar ke dalam tubuhku, aku pun ikut membalas pelukannya dengan kedua tangan kecilku yang melingkari tubuhnya.

"Terimakasih. Gue anggep itu sebagai jawaban," ujarnya lirih dan semakin mengetatkan pelukannya padaku.

"Ehem maaf menganggu, saya akan memeriksa keadaan Nona Aretha," intrupsi seseorang yang membuat adegan berpelukan kami pun terhenti.

Aku tersenyum canggung saat melihat dokter yang memergokiku berpelukan dengan Kak Afkar. Ini benar-benar sangat memalukan. "Bagaimana keadaanmu saat ini nona?" tanya dokter itu.

My Perfect Bad Boy#Wattys2018 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang