BAB 46

2.5K 78 12
                                    

Terkadang kita hanya perlu diam saat berada dalam situasi yang pada akhirnya membelenggu, tapi apakah sikap itu patut kulakukan saat ini? Huh. Entahlah aku tak mengerti. Jika boleh jujur, aku ingin melawan dan memberontak namun apa dayaku? Aku tak mungkin melawannya. Aku cukup tahu diri dengan ini semua. Tetapi bagaimana dengan mereka yang tak bersalah? Mungkin inilah resiko saat aku memutuskan untuk masuk tetapi enggan untuk memilih.

Dan aku tahu pilihan ini sangat tidak mudah bagiku, aku tak mau memilih. Mungkin terdengar egois namun aku tak akan bisa memilih diantara mereka, karena mereka telah berada di kedudukan yang sama di hidupku. "Jadi adek tersayangku ini tidak mau melaksanakan tugas yang diberikan oleh kakak tersayangnya? Jadi kamu lebih memilih dia?" seketika aku merinding saat mendengar suaranya.

Aku terus menunduk tanpa mau memberi sebuah jawaban padanya. Tubuhku bergetar ketakutan disertai tetesan-tetesan air mata yang tak bisa kubendung lagi. Aku takut. "Wah cup cup, adek kesayanganku kok nangis. Sini Kak Antha peluk," ujar Kak Antha.

Yap, laki-laki itu ialah Kak Antha. Aku tak tahu bagaimana caranya Kak Antha bisa masuk ke dalam apartement Kak Afkar dan membawaku ke tempat ini. Terakhir yang kuingat dia berada di belakangku lalu tak berselang lama aku masuk ke dalam alam bawah sadarku dan tak menyadari yang selanjutnya terjadi. Pada akhirnya di sinilah aku berada. Aku berada di sebuah ruangan yang tak begitu luas dengan tangan dan kakiku yang terikat pada kursi yang kududuki.

"Hei lihatlah ini," ujarnya dan aku merasakan benda dingin yang menempel pada pipiku.

Aku terkejut saat menyadari benda tersebut sangat dekat denganku. Tubuhku semakin bergetar ketakutan. "Hei jangan takut, ayo kita bermain seperti yang kamu inginkan sejak lama, sayang," ujarnya.

Tangisku semakin menjadi, bukannya merasa tenang dengan ucapannya tetapi aku malah semakin ketakutan dengannya. Dia seperti bukan yang kukenal. "Ma..af kak," ujarku terbata-bata di sela tangisku.

Aku tak berani menatap matanya. "Stt.... udah kakak maafin kok tapi kita main dulu yuk." tak bisa kupungkiri kini kumengharapkan kedatangannya.

"Maaf kak," ujarku sekali lagi berharap dia berubah pikiran.

Dia jongkok untuk mensejajarkan dirinya denganku lalu dia mengangkat wajahku yang sedari tadi hanya menunduk. Tiba-tiba saja, SRET. Aku terkejut dengan tindakan yang dia lakukan.

"Ck..ck.. ck gak usah cengeng!" ucapannya itu membuatku terkejut sekaligus takut. Aku melihat dia membuka ikatan di tangan dan kakiku dengan pisau yang dipegangnya. Diam-diam aku memperhatikannya dengan lekat. Entah sudah keberapa kalinya aku merasa bingung dengan sikapnya selama ini. Terkadang dia menakutkan dan terkadang aku merasa tenang, seperti saat ini setelah dia mengucapkan kalimat tersebut tiba-tiba saja dengan sendirinya tangisku terhenti walaupun ketakutan masih hinggap pada diriku.

"Ck ck ck sekali keras kepala tetap keras kepala dan dengan beraninya lo keluar jalur dari rencana kita," ujarnya dingin.

Aku hanya diam sembari menunduk. Aku merasa tatapan dinginnya menghunus diriku. "Lo punya rasa sama tuh anak?" tanyanya dengan dingin. Aku menggeleng pelan.

"Coba biasakan natap orang yang ngajak lo bicara!" teriaknya yang mau tak mau membuatku terkejut seketika. Langsung saja dengan hati-hati aku mengangkat kepalaku untuk menatapnya. "Ng...gak kak," ujarku dengan terbata-bata.

Aku melihatnya memicingkan mata, menatapku dengan tatapan menyelidik. Dia tersenyum sinis lalu tiba-tiba saja dia berjalan menuju meja yang berada di belakangnya. Setelah itu dia melemparkan beberapa lembar foto kepadaku. "Lalu coba lo jelaskan foto-foto itu," ujarnya dan seketika aku melihat foto-foto tersebut.

Aku tercengang saat melihat isi foto-foto tersebut. Jantungku berdetak dengan sangat keras. "Jadi jika lo tidak ada perasaan apapun sama tuh anak berarti isi foto-foto tersebut tidak benar?" tanyanya dengan nada dingin.

Aku diam saja. Tidak berani menjawab pertanyaannya. Memang isi semua foto tersebut benar, tetapi aku sendiri masih bingung dengan perasaan yang aku miliki padanya. Dia juga menjadikanku sebagai umpan layaknya Kak Antha, namun semenjak beberapa kejadian belakang ini dia mulai menunjukkan sikap yang berbeda kepadaku. Apakah ini artinya dia benar-benar tulus?

Aku menggeleng kecil dan menepis semua pemikiranku. Dia hanya menjadikanku umpan dan malah aku juga masuk umpan yang dibuatnya, tetapi bukannya tadi saat kita berada di panti asuhan, aku membenarkan ucapan Bunda bahwa dia adalah orang baik. Lalu di sini siapa yang benar dan yang akan kupilih untuk langkah selanjutnya?.

***

Aku menghela nafas berat untuk yang kesekian kalinya. Ini adalah keputusanku. Walaupun pada kenyataannya aku tak siap melakukannya, namun mau tidak mau aku harus melakukannya. Aku tersenyum miris saat membayangkan apa yang akan terjadi sebentar lagi dan ke depannya. Mengerikan, memiriskan, dan menyedihkan. Itulah gambaranku untuk semua yang akan terjadi ke depannya.

Kakiku berjalan bolak-balik di ruangan ini. Yap, ruangan yang sama seperti kejadian beberapa menit yang lalu. Aku sadar keputusan yang kubuat beberapa menit yang lalu akan memiliki dampak yang luar biasa karena ini bukan hanya menyangkut tentangku tetapi tentang mereka. Dan inilah yang akan kulakukan.

"Wah wah ternyata adek kesayanganku sudah siap toh." tiba-tiba saja terdengar suara yang membuatku menghentikan langkah kakiku.

Aku melihatnya berjalan mendekat kepadaku. "Ck.. ck.. ck.. inilah saatnya Aretha. Tunjukkan kalau memang benar kamu sayang pada kakakmu ini," ujarnya sembari memelukku.

Tak terasa aku meneteskan air mataku saat merasakan pelukan hangat yang lama tidak kurasakan selama ini. Dengan tangan bergetar, aku membalas pelukannya. Aku tersenyum kecil karena pada akhirnya aku merasakan sebuah pelukan dari sesosok kakak. Selama beberapa lama hanya keheningan yang menyelimuti kami hingga akhirnya dia kembali lagi. Kembali pada sikap dinginnya yang mau tak mau membuat senyuman yang sebelumnya terpatri di bibirku menghilang begitu saja.

"Ingat keputusanmu tadi," ujarnya dengan tegas dan langsung saja aku mengangguk patuh.

"Baiklah game is begin," ujarnya sembari menyeringai

Aku menghela nafas berat. Setelah itu dia berlalu meninggalkanku kembali di ruangan ini dan segera saja setelah itu aku bersiap di posisi, sesuai dengan kesepakan kita tadi. "Apakah ini akhirnya? Atau ini adalah sebuah awal?" gumamku. Kalau boleh jujur, aku ingin pergi dari rencana ini. Namun, aku tak mungkin meninggalkan Kak Antha.

Suara keributan membuatku tersadar dari pergelutan logika serta batinku. Bisa kupastikan rencana awal Kak Antha mulai berjalan dan aku tinggal menunggu saatnya tiba untuk melaksanakan tugasku. Aku mendengar suara derap langkah kaki yang semakin mendekat lalu kemudian sang targetku pun masuk ke dalam perangkap.

"Aretha lo di mana?!" teriaknya.

Aku melihat luka-luka yang entah sejak kapan terpatri di sekujur tubuhnya. Aku melihatnya bergerak frustrasi mencariku. Aku melihat raut khawatir di balik dingin sikapnya. Dan pada akhirnya aku harus melaksanakan tugasku. Yap tugasku untuk membantu Kak Antha dalam mengalahkan sang musuh, Kak Ar.

####

Weh aku comeback lagi 

Next chapter, happy or sad ?

Jangan lupa vote + comment

See u next chapter

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 18, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Perfect Bad Boy#Wattys2018 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang