"Kak Ar gak apa-apa kan?" tanyaku saat mendapati Kak Ar jatuh di lantai dengan gelas yang pecah.
"Sini kak aku bantu." aku berusaha memapahnya menuju kamarnya. Aku merasakan badannya hangat.
Aku membaringkannya di tempat tidurnya. Aku menyelimutinya sampai dada kemudian aku pergi ke dapur untuk mengambil baskom serta sapu tangan. Aku mengompresnya. Aku melihat dia menggigil kedinginan.
"Kak aku panggilin dokter yah," ujarku padanya.
"Gak usah. lo di sini aja temenin gue," pintanya dengan suara serak.
Aku jadi tidak tega melihatnya. Aku pun duduk di lantai dengan tangan yang menggenggam tangan Kak Ar. Dulu waktu aku kecil mama selalu menggenggam tanganku saat aku sakit, katanya sih supaya sakitnya berpindah ke mama dan sekarang aku melakukannya pada Kak Ar. Aku tidak tega melihat Kak Ar kesakitan begini apalagi di sini tidak ada orang, untung saja tadi aku datang disaat yang tepat.
Aku mengelus lembut rambut Kak Ar. Mengapa kakak menyembunyikannya dari semua orang? Entah mengapa kini aku mulai mengerti dengan sikapnya. Dia kesepian. Dia membutuhkan seseorang yang dapat dipercayainya. Aku tahu perasaan ini lebih tepatnya aku sendiri mengalaminya dan kini aku bertekad tak akan membuat Kak Ar bertindak lebih jauh. Aku akan mengabulkan keinginannya.
Kini aku melihat sisi lain dari Kak Ar. Kini aku melihat dia tertidur seperti anak kecil yang tidak berdosa. Tampang polosnya saat tidur mungkin tidak dapat menggambarkan sifat yang ditunjukkannya pada semua orang karena saat ini hanya ada wajah damai yang menghiasinya. Tidak ada lagi raut dingin, tatapan tajam dan tampang bad boy-nya. Aku tersenyum kecil saat mengingat sikap dia selama ini jika dibandingkan dengan tampang polosnya saat tidur.
Mungkin saat ini dia telah berkelana melewati indahnya dunia mimpi, dimana di dunia itulah kita merasa bebas dari beban di dunia nyata. Aku mulai melepaskan genggamanku padanya kemudian aku berjalan menuju dapur. aku ingin membuatkannya bubur dan semoga saja bahan yang kubutuhkan tersedia di dapur ini. Isi kulkasnya cukup lengkap dan bahan yang kubutuhkan tersedia semua dan tinggallah tangan ajaib Retha akan menyulap bahan-bahan itu menjadi bubur yang sangat enak.
Beberapa menit telah kulewati untuk membuat bubur yang sangat enak jadi tinggal menunggu penghuni apartemen ini bangun. Untuk mengisi waktu luang lebih baik aku membersihkan pecahan gelas tadi dan membersihkan ruang tamu apartemen ini.
Setelah selesai aku berinisiatif membangunkan Kak Ar untuk makan bubur yang spesial kubuat untuknya. Perlahan aku membuka pintu kamarnya. Aku melihatnya di sana berusaha meraih segelas air yang terletak di nakas. Dengan sigap aku membantu mengambilkannya.
"Kak makan dulu yah setelah itu kakak istirahat lagi deh," ujarku.
"Apa itu?" tanyanya dengan suara serak.
"Ini bubur ayam kak. Retha buat ini untuk kakak. Kakak pasti belum makan kan," ujarku.
"Hmm."
Aku anggap itu iya. Aku pun segera menyuapinya. Hingga akhirnya bubur yang kubuat telah habis dimakannya. "Yaudah kakak istirahat aja yah." aku pun menyelimutinya dan tak lupa mengompresnya.
Dia hanya menuruti semua tindakan yang kulakukan padanya. Aku melirik jam tanganku. Ternyata sudah hampir jam 5. "Temenin gue sampai gue tertidur," pintanya saat aku ingin melepaskan genggaman tanganku.
Aku pun mengurungkan niatku untuk pergi dari sini. Aku tidak tega paling tidak biarlah aku menuruti permintaannya untuk membalas kesalahanku kemarin yang membiarkannya kehujanan hingga jatuh sakit seperti ini.
Dia tersenyum saat melihatku mengurungkan niatku untuk pergi meninggalkannya. "Makasih udah ngabulin permintaan gue," ujarnya tulus.
Mau tidak mau aku pun tersenyum dibuatnya. "Oh yah Kak apa gak sebaiknya aku ngehubungi Kak Afkar atau Kak Adry untuk nemenin kakak di sini," usulku.
Dia menggeleng. "Gak perlu. Gue cuma butuh lo di sini untuk nemenin gue."
Aku pun menurutinya. Tangan kita saling bertautan. Saling memberi energi untuk saling menguatkan hingga akhirnya aku merasakan deru nafas teratur darinya. Aku tersenyum saat melihatnya terlelap. Sebenarnya saat ini aku tak ingin meninggalkannya sendirian setidaknya biarkan aku menemaninya hingga demamnya turun tetapi aku harus meninggalkannya karena aku takut Kak Antha akan memarahiku.
Setelah memesan taksi online aku mengirim SMS ke Kak Afkar. Aku memberitahunya untuk menemani Kak Ar di sini paling tidak, ada yang menjaganya di sini. Aku tak tega jika harus membiarkannya sendiri.
Sebelum aku pergi, aku menyempatkan untuk mengelus rambutnya itu setelah itu aku pun berjalan meninggalkan apartemen ini. Entah mengapa aku merasa langkah kakiku terasa berat untuk meninggalkannya. Apakah ini disebabkan oleh perasaan bersalah yang menghantuiku atau adakah alasan lain untuk itu.
Aku melihat taksi yang kupesan sudah berada di sana. Aku pun memasuki taksi itu namun, tatapanku tak pernah lepas dari bangunan apartemen itu. Kini prasangka-prasangku buruk mulai menghatuiku. Bagaimana jika kejadian tadi terulang lagi atau bagaimana kejadian buruk malah menimpa Kak Ar. Bagaimana jika demamnya malah makin tinggi. Bagaimana jika dia membutuhkan bantuan tetapi tidak ada satupun yang menolongnya. Kini aku benar-benar gelisah dengan semua itu. Bagaimana ini apalagi Kak Afkar belum membalas pesanku. Itu semakin menambah kadar kegelisahanku.
Aku merasakan hpku berbunyi dan mendapati nama Kak Afkar di layar hpku. Dengan segera aku mengangkatnya.
"Gimana Kak, apa kakak bisa ke apartemennya Kak Ar untuk memastikan dia baik-baik aja?"
"Tenang Ret sekarang gue sama Adry menuju ke sana kok. Eh lo masih di sana?"
"Gak kak. aku dalam perjalanan pulang soalnya bentar lagi maghrib takut ntar dicariin Kak Antha."
Aku menghembuskan nafas lega. "Kak, aku boleh minta tolong?" tanyaku.
"Minta tolong apa Ret?"
"Tolong jagain Kak Ar yah kak. Retha udah siapin bubur di dapur kalau Kak Ar lapar terus Retha udah nyiapin air kompresan buat ngompres Kak Ar. Oh iya Retha udah siapin obat penurun demam buat jaga-jaga, obat itu sih gak sengaja aku bawa kan siapa tau aja cocok tuh buat Kak Ar."
hening beberapa saat. "Kak? Kak Afkar masih di situ kan?" tanyaku memastikan saat tidak ada suara di sebrang sana.
"Eh iya Ret gue masih di sini. Lo tenang aja gue sama Adry akan jagain dia jadi lo gak perlu khawatir gitu yah. Sebelumnya makasih yah udah mau peduli sama Ar. Gue rasa lo satu-satunya cewek yang tulus peduli dengan Ar selain gue dan Adry. Terimakasih lo udah hadir di kehidupan sobat gue."
Aku terdiam sesaat untuk mencerna ucapan Kak Afkar. Apa mungkin?
"Ret?"
aku tersentak kaget. "Eh iya ada apa kak?"
"Apa gue bisa dapat perhatian yang sama seperti yang lo berikan untuk Ar?" tanyanya yang membuatku seketika menegang. Apa maksud Kak Afkar.
Belum juga aku bertanya akan maksud ucapannya itu tetapi telebih dahula Kak Afkar mematikan sambungannya.
Deg
Perasaan apa ini mengapa sangat membingungkan. Dan seketika perasaan takut menyelimutiku. Aku takut salah langkah dalam menentukan sesuatu yang akan kuhadapi ke depannya. Jika aku sudah melangkah menentukan pilihan itu maka aku tak akan pernah bisa mundur apalagi melarikan diri karena inilah skenario hidupku lagipula aku tak ingin menjadi seorang pengucut yang hanya bisa lari tanpa masalah tanpa memikirkan efek dari semua itu
####
Wah double update nih hari ini hehehe
Kalia milih siapa nih #TimArAretha #TimAfkarAretha atau #TimAdryAretha
Jangan lupa VOTE + COMMENT
Karena sejujurnya aku suka baca comment kalian bahkan aku ketawa gara-gara kalian yang selalu protes masalah kelamaan update atau kekesalan kalian karena cerita ini aku gantung hehehe
See u next chapter
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Bad Boy#Wattys2018
Teen Fiction"Mulai hari ini lu harus jadi pacar gue dan jangan sekali-kali ngebantah gue!" - Air Nakhla Rahaja "Hidup gue berubah sejak hari itu." - Aretha Nathania Reinaldy "Apa gue harus ikhlasin dia?" - Afkar Reymon Fidelyo ---------------------- Bagaimana j...