BAB 41

1.9K 86 14
                                    

Aku mengalihkan tatapanku padanya. "Emangnya tugas apaan kak?"

Dia menarik tanganku untuk duduk di sofa itu. Aku melihatnya menyerahkan buku bahasa Indonesia padaku. "Disuruh bikin cerpen gitu. Sebenarnya gue bingung, gue ini anak SMA atau anak SD emangnya masih zaman bikin cerita-cerita kek gitu,"sungutnya.

Aku hanya tersenyum saat mendengar penuturannya itu. "Emangnya temanya apaan kak?" tanyaku.

"Nih lagi temanya ngaco amat makin jelas kek anak SD. Temanya tuh tentang keluarga," ujarnya lirih saat mengucapkan kata keluarga.

Lagi-lagi aku pun tersenyum dibuatnya. "Maybe bukan tentang apa yang di suruh sama guru itu ataupun tema yang kata kakak kayak anak SD tapi sebenarnya kakak terlalu takut untuk membuatnya, bukan begitu Kak Ar?" ujarku yang membuatnya skakmat.

Kini dia menatapku dalam. Dia memajukan wajahnya padaku hingga tersisa beberapa senti saja namun anehnya aku tak merasa takut ataupun mencoba menghindar darinya, malah sebaliknya aku seakan menikmati momen ini. Momen saat aku tenggelam dalam kedua manik hitam pekat itu. Berusaha menyelam lebih dalam pada kedua manik di hadapanku ini.

"Makanya gue bawa lo ke sini buat bantu gue," ujarnya lalu jeda beberapa detik seakan memberiku kesempatan untuk memahaminya. "Bantu gue tunjukin makna sebenarnya dari kata 'keluarga' itu," lanjutnya dengan suara lirih dan sarat akan kesakitan yang mendalam.

Aku menggeleng pelan. Aku melihat dia terkejut saat melihat respon yang kuberikan padanya. Aku melihat untuk pertama kalinya dia menunjukkan wajah pias yang sangat kentara dan lagi tatapan mata yang terluka serta putus asa. Aku tersenyum kecil padanya. "Bukan aku yang ngebantu kakak untuk menemukan makna sebenarnya dari kata itu tetapi kita lah yang akan menemukan makna itu secara bersama-sama," ujarku lembut.

Sontak kejadian berikutnya yang membuat penyakit jantungku kumat lagi. Dia memelukku. Dia meraihku tenggelam dalam pusat dirinya. Menghantarkan segala rasa yang dipendamnya selama ini.

"Terimakasih," ujarnya tulus lalu dia pun melepaskan pelukannya itu.

Setelah adegan itu berakhir aku mencoba untuk menormalkan detak jantungku serta menormalkan aliran darah yang seakan terhenti begitu saja saat dia memelukku. "Mmm... yaudah kak mendingan kita kerjain aja yuk. Oh yah emangnya kapan deadlinenya kak?" tanyaku mengalihkan perhatian.

"Lama sih sebulan lagi baru dikumpulin tuh," jawabnya.

"Sebenarnya sih kalau buat cerpen tuh gampang kayak nulis diary gitu tapi lebih di fiksi-fiksikan gitu sih kak," jelasku.

"Dari dulu sampai sekarang gue kagak pernah nulis yang kek begituan. Alay gitu."

Aku menyentil tangannya itu. "Ishh dibilangin juga. Diary itu gak se-alay yang kakak pikirin tau. Tahu gak diary itu curahan isi hati kita pada suatu hal dan diary itu juga berguna untuk mengingatkan kita pada setiap momen yang kita tulis di dalamnya bukan hanya sebagai pelampiasan semata," jelasku.

"Lo tuh yah makin berani aja sama gue. Cewek banget nulis diary-diary gitu."

"Ish emangnya ada larangan cowok gak boleh nulis diary gitu?" tantangku.

Dia hanya mengangkat sebelah alisnya saat melihat aku menantangnya. "Gak tau kenapa sekarang gue gak bisa marah saat lo terang-terangan nantang gue kek gitu padahal sebelumnya gak ada yang berani bersikap gitu," ujarnya sembari mengacak-ngacak rambutku

Seketika tubuhku menegang saat mendengar ucapannya itu. "Apaan sih kak. Kakak mah amnes tadi aja bilang kalo ratu yang dampingi sang raja harus berani mengadahkan wajahnya untuk melihat betapa kerasnya kehidupan ini apalagi pantang bagi sang ratu untuk-" aku langsung membekap mulutku saat menyadari apa yang kuucapkan.

My Perfect Bad Boy#Wattys2018 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang