Angin kembali menghantamku. Membuat mantel yang kukenakan sedikit bergoyang. Siro terbang menghampiri pundakku.
"Nenek Yun adalah Yuna," bisikku.
Aku menatap nenek Yun yang sedang duduk di tanah. Di sampingnya terlihat Koko yang terus ia elus dengan tangan keriputnya.
Pandangku teralihkah ketik akan menyadari Cronos yang ada di belakangku berusa pergi. Aku berjalan selangkah berusa menyusulnya.
"Kau mau ke mana?" tanyaku. Cronos berhati. "Bukankah orang itu yang ingin kau temui?" tanyaku lagi.
Cronos itu terus terdiam. Suara geraman kecil keluar darinya. Namun itu tak membuatku takut. Aku menatapnya dengan tatapan lembut.
"Kau tak pernah mengaung ya. Tetaplah di sini. Aku akan membawanya kemari," ujarku. Aku bergegas meninggalkannya.
Terhalang lebatnya daun dan batang bunga matahari yang tak mekar, aku terus berlari. Sesekali mereka berusaha menghalangi pandanganku. Namun aku masih bisa melihat Siro yang terbang dengan indah di langit sebagai penunjuk jalanku.
"Nenek Yun!" teriakku. Ia mendengarnya, lalu melihat ke arahku.
"Alya, ada apa?"
Aku berhasil melepas tubuhku dari genggaman mereka. Nafasku terasa sesak karena berlari. Nenek Yun berdiri dan menghampiriku.
"Alya kenapa kau kemari? Apa penyuciannya berhasil?" desaknya.
"Belum," nafasku belum beraturan.
"Lalu kenapa kau kemari? Dan di mana teman-temanmu yang lain?"
Belum sempat aku menjawab angin bertiup kembali. Namun membawa sesuatu yang berbeda. Suara lembut yang sangat indah. Sebuah lagu nyaring yang menggema.
La ... la ... la ...
Suasana hening namun menyejukkan masuk dalam hatiku. Hawa lembab terasa berbeda dari yang tadi.
"Wah ... musik dari Diva. Sudah lama aku tidak mendengarnya. Tapi agak berbeda dari yang pernah kudengar dulu," ujar nenek Yun.
Mendengar nyanyi itu, aku kembali teringat hal yang kulihat tadi. Kunang-kunang menyebar di sekelilingku. Lagu Diva ini seakan memberiku sebuah sihir.
"Diva?" aku menggenggam tangan nenek Yun. Ia terkejut sesaat. "Maaf tapi ada yang harus kutunjukkan padamu!"
Aku menarik tangan dinginnya. Membawanya melewati jalan yang terhalang oleh mereka. Namun perlahan para bunga matahari itu menyerah dan memberi kami jalan.
Kunang-kunang di sekelilingku mulai berbisik. Membisikan sebuah mantra yang harus aku ucapkan. Aku mengulurkan tongkat kayu milikku. Lalu mengayunkannya perlahan.
"Wahai langit dan tanah. Saksi dari sebuah pertemuan. Yang berujung dalam janji. Pertemukan mereka. Sesuai janji yang telah terjadi. Kumohon."
Criing ...
Cahaya menyilaukan muncul. Lalu dengan seirama lagu yang terdengar, aku pergi menuju tempat yang berbeda.
-
Sebuah tempat yang amat terang. Bunga matahari mekar sepanjang mata melihat. Angin masih memperdengarkan lagu itu. Namun juga membawa kelopak bunga kuning di udara.
Sesosok makhluk mengerikan berdiri di tengahnya. Menatap lurus tak memperhatikan yang lain. Matanya yang buram mungkin tak dapat melihat tempat yang indah ini.
Aku menggenggam tangan nenek Yun yang masih dingin. Tangannya penuh dengan keriput. Matanya sipit melengkapi pandangannya yang amat terkejut.
"Alya di mana kita?" tanyanya. Aku hanya tersenyum.
"Nenek apa kau melihat Cronos itu?" tunjukku.
"Cronos?" mata sipitnya mulai mencari. Lalu ekspresi ketakutan muncul darinya. "Kenapa dia di sini? Alya ayo cepat sebelum dia menyerang kita. Seperti yang pernah ia lakukan pada kalian," ia menarik tanganku.
"Tidak usah cemas," aku menggenggam tangannya dengan kedua tanganku. "Coba nenek lihat lagi dia!"
Matanya kembali melihat lurus. Angin seketika meniup amat keras. Membawa kelopak kuning yang sesaat menutupi penglihatan. Namun ketika angin itu berhenti sosok itu berubah. Sekarang terlihat seseorang pemuda dengan baju kumuh berdiri kesepian yang hanya memandang lurus. Melihat punggung tegapnya nenek Yun hampir tak percaya.
"Made?" bisiknya.
Aku melepas tanganku. Perlahan nenek Yun maju ke depan. Ia menaikkan gaunnya dan mulai berlari menghantam angin. Angin terus berusaha menghalanginya. Namun nenek Yun terus menerobosnya dengan tubuhnya yang rentan itu. Hingga tubuh itu berubah menjadi Yuna. Gadis berambut coklat yang memaparkan wajah senang berhias tawa kecil darinya.
Ia berdiri tegap di tengah hamparan bunga. Angin mengibarkan rambutnya yang terlihat amat panjang. Suara kibaran seakan musik yang menemani lagu itu. Ia kini mulai tenang. Perlahan berjalan selangkah demi langkah hingga berada di belakang pemuda itu. Ia menarik nafas yang cukup panjang. Membuat kembali suara desisan yang juga panjang.
"Made," panggilnya. Pemuda itu membalik tubuhnya.
"Yuna?" wajah tak percaya muncul darinya.
"Made," ia melompat menimpa tubuh pemuda itu. "Made kau dari mana saja. Padahal kau bilang akan bertemu lalu bersama lagi. Tapi ... hiks ... hiks ..." suara tangis kecil keluar darinya.
"Yuna!" Suara gemuruh kecil keluar dari Pemuda itu.
Pemuda itu menarik tubuh Yuna agar terlepas darinya. Perlahan dengan menggenggam kedua pundaknya. Melihat Yuna yang menangis, ia perlahan menghapus air mata yang jatuh di pipinya dengan tangannya.
"Maaf Yuna. Aku tidak bisa menemuimu lagi setelah hari itu. Tapi apakah kau mau membantu janji denganku?" tanyanya.
"Apa?" ia mulai berhenti menangis.
"Maukah kau berjanji akan menemuiku lagi di dunia sana?" tanyanya dengan tegas.
"Tapi bagaimana kalau kau di sana seorang kakek tua?"
"Tapi aku akan tetap mencari dan menemuimu walaupun kau seorang nenek tua," Pemuda itu tersenyum pada Yuna.
Yuna terdiam mendengarnya. Air mata tak lagi keluar darinya. Matanya tertuju pada senyum pemuda itu. Angin seolah telah menghapusnya. Perlahan senyum muncul darinya.
"Baiklah," jawabnya.
Made menggenggam tangan Yuna. Mereka saling menatap dan tersenyum. Yuna menatap ke arahku yang hanya diam melihat mereka.
"Terima kasih Alya. Semoga kau juga segerah menemukan jawabanmu dan pergi dari dunia ini. Kami akan menunggumu," serunya.
"Iya," aku mengaguk.
Mereka melambaikan tangan padaku. Aku membalasnya dengan hal yang sama. Angin menghembus mereka. Seolah tumpukan debu yang dihembus angin hingga debu itu menghilang. Aku melihatnya hingga tak ada yang tersisa lagi dari mereka.
Criing ...
Cahaya menyilaukan kembali muncul. Dan dalam sekejap aku kembali ke ladang tadi. Dan suara nyanyian itu telah hilang tanpa kusadari kapan menghilangnya.
-
Sesaat sebelum itu aku memikirkan apa yang dikatakan Yuna tadi. Andaikan aku kembali dari sini apakah semua akan seperti dulu? Akankah semua akan baik-baik saja? Alasan aku di sini karena aku ingin pergi dari mimpi buruk itu. Dan menuju mimpi indah yang tak pernah berakhir. Lalu ada yang membawa jawabnya dan aku sekarang di sini. Apakah aku ingin kembali ke tempat itu? Tempat yang seakan aku tak diinginkan.
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Wingless (World with Fantasy Character) Tamat✓
FantasySebuah dunia tanpa kesedihan. Apakah itu ada? Layria, seorang gadis yang dulunya memiliki hidup yang sempurna. Tiba-tiba berbalik hidup penuh kesepian dan kekosongan. Bagai dunia tak menginginkannya lagi. Suatu malam, seekor kucing datang padanya...