Aku tak ingin mengingat apa yang terjadi sebelum aku ada di dunia ini. Namun hal yang kulakukan di dunia ini selalu mengingatkanku dengan hal itu. Hal yang paling ingin kuingat adalah bagaimana cermin itu memberiku hal yang aku inginkan.
Mataku terus melihat keluar jendela. Berharap ada hal menarik yang patut kulihat di tempat ini. Sebab hidupku amat membosankan dan tak pernah berarti.
“Setiap hari aku berangkat sekolah. Lalu suatu saat akan pergi berangkat kerja. Di sekolah aku tidak punya teman. Di rumah aku harus mengikuti semua keinginan mereka. Hidupku penuh tekanan. Bahkan aku tak punya mimpi apalagi harapan. Hidupku sudah berakhir,” kalimat itu terus bergema di pikiranku.
Aku menatap jendela. Melihat pantulan yang di buat olehnya. Mataku tertuju pada gadis berambut hitam yang dikelilingi banyak orang itu. Layria gadis salah satu gadis yang cukup populer di sekolah ini. Ia pintar, cantik, baik hati dan disukai banyak orang. Hal yang tidak mungkin kumiliki.
Mataku beralih pandangan. Sekarang beralih pada gadis berambut gelombang itu. Rambut agak berwarna kemerahan. Itu pasti karena semir warna. Ia terus bersama gerombolannya. Menurutku ia adalah orang yang paling membahayakan. Itu sebabnya aku menjaga jarak agar tidak membuat masalah dengannya. Namanya adalah Clara.
“Andaikan aku punya teman yang bisa kupercaya. Itu pasti akan lebih mudah bagiku,” gumamku lagi.
-
Rintik-rintik hujan jatuh membasahi bumi dengan lebat. Awan hitam menutupi ujung dari gedung-gedung tinggi itu. Suara gemuruh petir sesekali terdengar dengan keras.
Dari salah satu gedung yang berwarna hitam aku mengintip keluar. Benar-benar tempat yang menyeramkan. Gedung-gedung yang terlihat gelap sebab hujan yang deras ini.
“Alfonso kita sedang di mana?” tanyaku pada Alfonso yang ada di sampingku.
“Ini kota Neotrin,”jawabnya singkat.
“Kota para mafia dan buronan,” lanjut Torm yang sedang duduk di kursi kayu. "Kenapa kita di kota ini Lisa. Bukannya kita sudah punya buronan mahal di sini?” mata Torm melirik ke arah Rion.
“Ada seseorang yang harus ku temui. Dan dia berada di kota ini,” jawab Lisa.
“Siapa? Kau tahu, hanya ada mafia di tempat ini,” sambung Rion.
“Tidak juga. Orang yang akan kutemui adalah seorang pemburu hadiah. Dia adalah kunci bagi kita untuk pergi dengan cepat ke pulau itu,” jelas Lisa.
“Baiklah, kau ketuanya. Kami hanya akan ikut,” gumam Torm.
“Ingatlah ini adalah kota para mafia. Jadi, jangan terlalu berkeliaran di sini,” ujar Rion sambil beranjak pergi.
Mataku terus mencari sosok yang tak dapat kutemukan batang hidungnya. Membuatku sedikit canggung berada di sini. Lisa terlihat sibuk membersihkan amronya dan Torm asyik membaca sebuah buku.
“Alya di mana?” tanyaku.
“Dia tadi bilang mau ke kamar mandi. Paling sebentar lagi juga ke sini,” jawab Torm.
Aku kembali memperhatikan kaca jendela. Sejak kejadian dengan Cronos itu Alya jarang berbicara padaku. Itu membuatku sedikit khawatir. Tapi, kata-kata dari Diva itu terus membayangiku. Apa yang ia maksud sebenarnya?
-
Hujan turun begitu deras. Turun dengan cepat seakan air mata yang sering kukeluarkan. Hal yang membuatku menyukai hujan adalah, dia seakan teman yang menemaniku ketika menangis. Dan suaranya bagai musik indah di telingaku.
Payung hitam yang kubawa. Menghalangi hujan yang turun mengenaiku. Tudung jaket ini kugunakan untuk menutupi telinga runcingku. Aku beruntung karena sepatu boots panjang ini menjaga kakiku agar tidak basah. Siro terlihat tertidur di atas kepalaku. Menjaga agar tudung ini tidak jatuh dari sana.
Aku terus berjalan menyusuri jalan sepi ini. Mungkin aku telah melewati dua gedung dari tempat kami menginap. Mataku terus melihat ke bawah. Ke arah bercikan air hujan ini. Langkahku terhenti ketika aku melihat pemuda bersyal itu di hadapanku. Ia bersandar di ujung salah satu tiang lampu. Rambut dan bajunya terlihat basah kuyup. Ia menatapku dengan tajam seolah mengawasiku.
“Rion? Sedang apa kau di situ?” tanyaku.
“Aku yang harusnya bertanya seperti itu,” cetusnya.
“Aku lapar, aku keluar untuk mencari makanan,”jawabku.
“Kalau begitu akan kutemani,” ia berjalan ke arahku.
“Tidak perlu aku bisa sendiri.”
“Tenang saja aku kenal tempat ini. Karena aku adalah seorang mafia,” ujarnya sambil tersenyum.
“Percaya diri sekali.”
“Dan kau adalah buronan,” ia mendekati telingaku. "Peri tanpa sayap,” bisiknya.
Aku seketika terpaku. Ia menatapku tempat di hadapanku. Senyum licik khasnya terus keluar darinya. Apa dia tidak khawatir dengan hujan yang menerpanya?
“Baiklah, tapi bagaimana dengan bajumu itu?”
“Tenang saja, aku penyihir tipe api. Mengeringkan baju itu mudah,” jawabnya.
“Kalau begitu ayo. Kau tahu tempat makanan yang enak bukan,” ujarku sambil melewatinya.
“Iya sih, tapi setidaknya biarkan aku satu payung denganmu,” serunya sambil mengejarku.
“Terserah.”
Ia berjalan di sampingku. Untuk sesaat suasana terasa sedikit canggung. Apa karena Siro yang sedang bermimpi ini. Atau Rion yang terlalu dekat denganku.
“Lalu di mana tempatnya?” tanyaku.
“ Lurus saja, nanti ku beritahu bila harus berbelok,” jawabnya.
“Baik!”
Hujan terus turun. Suaranya entah mengapa berbeda dari yang tadi. Suaranya mengingatkanku tentang sesuatu yang tak ingin kuingat.
-
Sebuah toko roti kecil di pinggir jalan. Rion membawaku ke sana. Di pinggir jendela kami duduk berhadapan di sana. Beberapa roti panggang ada di piring depan kami. Dan secangkir teh hangat ada di tanganku. Tudung jaket ini masih kugunakan. Sesekali aku melihat Siro yang sedang memakan satu buah roti. Dan Rion yang juga memakan jenis roti yang sama.
“Kau kenapa melihatku seperti itu?” tanyanya dengan heran. Aku langsung memalingkan wajahku.
“Rambut pirangmu itu. Kau pasti dari daerah Eropa. Benar bukan?” ia memegang rambut ujungnya.
“Benar,” jawabnya sambil melepas pegangannya.
“Kau dari negara apa?”
“Haa? Kenapa memangnya?”
“Bukan apa-apa. Aku hanya penasaran,” ujarku. Ia justru memalingkan wajahnya. "Tapi kalau kau tidak mau ya udah ...”
“Prancis,” potong sambil menatapku. ”Kau sendiri, kulitmu coklat kau pasti daerah tropis?”
“Iya aku dari ...”
“Alya!” pembicaraan kami tiba-tiba terpotong.
Seketika mata kami tertuju pada seorang wanita yang cukup cantik. Memakai dress sejenis Off-Shoulder yang memperlihatkan pundak lebarnya. Bagian atasnya berwarna putih dengan ujung lengan yang membalon. Bawahannya yang terpisah oleh sabuk lebar hitam berwarna dominan coklat dengan variasi merah dan kuning. Dress itu menutupi sebagian siku tangan, dan bagian bawah hampir menutupi mata kaki. Sepatu buts berhak membuatnya terlihat cukup tinggi.
Ia sempat asing bagiku. Tapi aku tak akan pernah lupa dengan rambut gelombang kemerahannya dan suara nyaring itu.
“Clara?”
Ia tersenyum padaku. Seolah amat senang bisa bertemu denganku di sini. Rambut bergelombangnya terlihat sedikit basah. Apa ia sempat berlari di bawah hujan yang masih deras ini?
To be contiued
KAMU SEDANG MEMBACA
Wingless (World with Fantasy Character) Tamat✓
FantasySebuah dunia tanpa kesedihan. Apakah itu ada? Layria, seorang gadis yang dulunya memiliki hidup yang sempurna. Tiba-tiba berbalik hidup penuh kesepian dan kekosongan. Bagai dunia tak menginginkannya lagi. Suatu malam, seekor kucing datang padanya...