27 Memory and Darkness

417 42 0
                                    

Wajahnya mungkin sama, namun warna matanya berganti menjadi merah. Rambutnya lebih terlihat terang dari pada milikku. Walaupun memiliki model rambut yang sama. Begitu pula baju yang ia pakai sama denganku.

"Siapa kau?" tanyaku penuh keheranan. Ia tersenyum lebar padaku.

"Kau terkejut?" ujarnya. Aku berjalan keluar dari bangkuku.

"Apa yang kau inginkan?"

"Hi ... hi ... hi ..." tawa kecik keluar darinya. "Menurutmu apa yang aku inginkan?"

"Apa maksudmu?"

Layar monitor itu berkudap kedip. Hingga akhirnya dia berhenti menyala. Angin mengibarkan gorden di jendela. Mengeluarkan suara yang menggema di telingaku. Kursi meja semakin terlihat berantakan. Di ujung kaki terdapat lembaran-lembaran kertas yang berceceran. Gadis itu tak menjawabnya. Membuat perasaanku semakin khawatir dan risau.

"Kumohon keluarkan aku dari sini! Bawa aku pulang!" aku memohon padanya.

"Pulang ke mana?"

"Tentu saja ke keluarga dan teman-temanku!" bentakku. Gadis itu mendekatiku.

"Keluarga yang mana? Teman yang mana?" mata merahnya menusuk padaku." Memang kau punya. Atau hanya alasanmu saja?"

"Itu ..."

Gadis itu mundur. Senyum di bibirnya tak sesuai dengan matanya yang menusuk itu. Ia berjalan memutariku. Membuat jejak lingkaran berul89ang kali. Tubuhku bagai batang kayu yang berdiri tegak.

"Apa keluarga yang hanya meminjamkan nama untukmu? Atau teman sebatas nama itu?" desisnya.

"Itu tidak benar," aku menundukkan kepalaku. Tangan dinginnya memegang kedua pundak kakuku.

"Apa mereka pernah memperhatikanmu," bisiknya.

"Tentu saja per..."

"Apa mereka pernah memberimu hadiah, pernah menghargaimu, mendengarkanmu, atau kasihan pada nasibmu ini?" bisiknya tepat di telingaku.

Aku tak bisa berkutik di sana. Telingaku terasa panas mendengarnya. Bayangan-bayangan dari ingatanku mulai bertebaran. Membuatku merasa kesakitan dalam batin.

"Tidak, keluargaku melakukan itu semua padaku!" aku kembali membantah.

"Nananana ... itu karena mereka perlu boneka untuk di mainkan. Kau sendiri, apakah keinginanmu sendiri mereka dengarkan?" lanjutnya.

Batinku merasa semakin kesakitan. Rasanya aku ingin berteriak pada sekeras-kerasnya di sana. Namun mulutku terkunci di sini. Aku hanya bisa menggeram kecil.

"Ha ... ha ... ha ... kucing pun tertawa melihat nasibmu," ujarnya sambil melewatiku. "Menyedihkan sekali."
"Hentikan!!!" teriakku.

Kedua tanganku meraih kepalaku. Menutupinya agar suaranya tak menyiksa telingaku lagi. Gadis itu tersenyum melihatku. Seolah menikmati apa yang kurasakan.

"Tuhan itu kejam. Kenapa harus aku yang merasakan semua ini. Kenapa aku hidup kesakitan seperti ini? Ini tidak adil. Sama sekali tidak adil!!" keluhku keluar dengan suara seduh.

"Itu salah," senyapnya.

Aku mengangkat kepalaku. Sekarang terbaring dua buah boneka yang di letakan di dua buah kursi. Dari penampilan boneka itu terasa tidak asing bagiku. Sama-sama berbentuk perempuan dengan seragam baju sama. Yang satu berambut lurus hitam dan yang satu berambut bergelombang kecokelatan.

"Lihatlah, ada dua buah boneka di sini," tunjuknya sambil berdiri di tengah keduanya. "Pasti dari wujudnya kau bisa mengenali siapa mereka?"

"Iya ... tapi kenapa mereka?" tanyaku.

Wingless (World with Fantasy Character) Tamat✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang