Mataku terpejam, dan ketika aku kembali membukanya lagi aku telah berada di tempat lain. Pasir putih, berbatas laut biru yang luas. Anginnya menghantamku. Membuat baju dan rambutku berkibar. Tak ada daratan di sana selain yang aku pijak. Bahkan ketika aku memutar badan hanya ada lautan. Namun tepat di sampingku terdapat sebuah kincir angin kecil. Tertancap di antara pasir berputar searah angin.
Mataku tertuju pada kucing badut itu. Yang berada di depan membelakangiku. Mata hijaunya tak lagi bercahaya. Sebab, saat ini sinar matahari amat terang.
“Kita di mana?” tanyaku.
“Bukannya kau seharusnya tahu kita di mana, Alya?” ia berbalik bertanya.
“Benar juga.”
“Kita ada di masa depan. Yang kau lihat dan aku lihat itu berbeda. Kau pasti tahu itu.”
“Tentu saja.”
Di tempat yang sama. Namun pandangan yang lain. Terlihat seorang pemuda berkemeja hitam yang berantakan berdiri membelakangi kucing putih bersayap dan seorang gadis.
Wajahnya tertutup topeng badut yang tersenyum. Menatap lurus dengan pandangan yang ada di depannya.“Saat ini apa yang kau lihat Luct?” tanyaku.
“Yang pasti bukan hal yang baik,” jawabnya.
Di hadapannya terdapat tempat yang gelap. Hanya ada lampu-lampu sebagai penerangnya. Ia berdiri di atas jembatan dan di bawah salah satu tiang lampu itu. Suara ombak terdengar keras menghantam fondasi jembatan yang panjangnya tak terhingga itu. Hanya ombak yang bisa ia lihat. Dan jembatan itu sebagai sandarannya.
“Benar-benar mengerikan,” bisiknya.
Aku terdiam sejenak. Kincir angin di sampingku berputar cukup cepat. Dengan semakin besarnya angin yang ada di sini.
“Aku akan segerah menyelesaikan tugasku. Dan kau bisa pergi dari sini,” seruku.
“Itu sudah semestinya,” jawabnya.
Pemuda itu mendekatiku. Topengnya hampir sejajar dengan arahku melihat.
“Tapi bukan aku dan kau saja. Selesaikan tugasmu segerah. Dan kita semua sebagai tahanan dunia ini akan terbebas. Kau mengerti,” kata-kata itu menyayatku.
“Iya, maaf,” aku menundukkan kepala. Ia mundur beberapa langkah. "Lalu kenapa kau mencariku?”
Ia mengikik dari balik topeng itu bagaikan kucing. Dari balik kemejanya keluar sebuah kartu berwarna emas. Ia lalu menyodorkan itu ke arahku.
“Itu ...?”
“Kau akan ke Big Game bukan?”
-
Kereta melaju dengan cepat. Beberapa menit sekali peluit uap diperdengarkan. Pandangan gelap dari luar terpampang. Menunjukkan kereta sedang ada di dalam sebuah terowongan.
“Sesaat lagi kita akan sampai di Metro City. Para penumpang bersiap.”
Suara pengumuman pendek mengalihkan pandangan kami. Semua seakan berdebar-debar menantikan kota yang ada di depan kami. Begitu pula aku.
“Wah, aku tidak sabar,” ujar Clara.
“Aku pun.”
“Kau tahu Ria, Metro City itu adalah kota yang amat mengagumkan. Itu bisa dibilang kota modern penuh fantasi. Aku enggak sabar melihatnya,” jelasnya.
“Benarkah?” aku semakin penasaran dengan tempat itu.
“Lihat, sepertinya kita akan sampai,” heboh Clara.
Aku melihat keluar jendela. Tanpa kusadari tembok gelap berlumut terowongan berganti menjadi sebuah terowongan tertutup aluminium yang terkena cahaya lampu putih.
“Wah ...” suara bergema dari gerbong depan. Ketika kereta perlahan keluar dari terowongan.
Wuzzhhh ... suara angin terdengar keras ketika aku melihat akhir dari terowongan.
Tuut ... tuut ... tuut ...
Peluit terdengar keras ketika kereta benar-benar telah sampai di Metro City.“Wah ... benar-benar keren,” seru Clara yang mendekat ke arahku untuk melihat ke luar jendela.
“Ini lebih dari yang kubayangkan,” lanjut Alya yang kagum melihat pemandangan itu.
Tempat yang memang tak asing bagiku. Namun ini menjadi menakjubkan karena kereta ini melayang di atas kota itu.
Layaknya kota-kota maju yang ada di Jepang atau Los Angeles. Namun ini sedikit memiliki sihir. Gedung-gedung pencakar langit tersebar dengan tinggi dan bentuk acak. Langit gelap berbintang tak dapat terasa di tempat ini. Sebab semuanya tergantikan oleh lampu-lampu terang yang menyebar di seluruh kota.Kereta uap ini terbang di atas kota. Berkelak-kelok di setiap gerbong. Terus bergerak dengan kencang tanpa ada landasan rel kereta. Namun meninggal kabut berkelip di sekitar rodanya. Bahkan ada sebuah kereta yang melewati kami lalu menghilang begitu saja melewati terowongan yang ikut menghilang juga.
Pemandangan itu terus berlanjut dan semakin terasa. Bahkan setelah kereta itu berhenti di stasiun itu.“Ayo kita turun,” ajak Rion.
Namun ajakan itu bukan untukku dan Clara. Tapi untuk Alya. Alya mengikuti Rion dan pergi dari sana. Sekilas aku melihat wajah ragu darinya.
Aku melirik Clara yang terlihat menyengir kecil. Aku ikut terheran melihatnya. Clara lalu mantapku.
“Kau melihatnya Ria?”
“Iya ...”
“Menurutmu apa mereka punya hubungan?”
“Hubungan? Apa?”
“Kau ini polos banget. Jika ada gadis dan pemuda seperti itu pasti di antara mereka pasti ada sesuatu. Mungkin pacaran atau sejenisnya,” jelasnya.
“Ha ... mana mungkin. Mereka terlihat biasa saja. Tidak ada apa-apa kok,” jawabku.
“Lupakan saja.”
Clara beranjak pergi. Membuatku sedikit kebingungan.
“Clara kau mau ke mana?”
“Tentu saja turun. Aku tidak mau di sini terus-terusan,” jawabnya.
“Tunggu ...!”
-
Di kereta yang sama. Tepat di salah satu bangku. Seorang Pemuda bertopeng tertawa kecil dari balik topengnya itu. Di hadapannya terlihat kucing putih bersayap. Duduk menutup sayapnya menatap lurus ke depan. Matanya dingin ke arah topeng badut itu.
“Ayo kita mulai, White Heart.”
To Be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Wingless (World with Fantasy Character) Tamat✓
FantasiSebuah dunia tanpa kesedihan. Apakah itu ada? Layria, seorang gadis yang dulunya memiliki hidup yang sempurna. Tiba-tiba berbalik hidup penuh kesepian dan kekosongan. Bagai dunia tak menginginkannya lagi. Suatu malam, seekor kucing datang padanya...