Dengan wajah yang semakin tegang. Mata merahnya menatapku dengan tajam. Rambutnya yang lebat tak lagi bergoyang seperti tadi. Aku duduk bersila di bawah rak. Buku mantra milikku masih terbuka lebar tanpa sempat kubaca. Sorot mataku menatap Lumina dengan penuh tanya.
“Jirachi, dia sama seperti kita. Berasal di dunia yang sama dengan kita. Dia dulu juga menjalani hidup sepertimu. Yaitu dengan hidup dalam sebuah petualangan. Ia terus berjalan bersama dengan temannya dalam petualangan itu,” ujarnya.
Lumina mengambil jeda sesaat. Memberiku waktu untuk menutup buku di pangkuanku ini. Lumina terlihat menarik nafas panjang sebelum kembali berkata.
“Namun, ia terlalu lama berpetualang. Ia terlalu lama melangkah. Ia terus melewati senang dan sedih yang terus berputar bagai roda. Hingga akhirnya roda itu hancur dan menyisakan sebuah kepahitan. Putus asa, tangis, kesepian, dan kegelapan. Hal itu yang ia rasakan saat itu. Lalu ...”
“Lalu ... apa?”
“Antahlah, aku juga tak tahu. Hanya itu yang kudengar,” lanjurnya.
Aku menghela nafas. Entah mengapa jawaban itu belum bisa memuaskan batinku. Aku hanya menunduk. Sambil melirik rok merah yang kupakai.
“Tapi, ada satu rahasia umum yang semua tahu darinya,” ceplos Lumina. Semangatku kembali menjulang.
“Apa?”
“Jirachi sudah ada di tempat ini sangat lama. Bahkan lebih lama dariku. Ada yang bilang, tubuhnya tak lebih dari kerangka manusia yang diselimuti sihir. Itu sebabnya ia selalu memakai jubah dan topeng untuk menutupinya. Dia juga adalah musuh terbesar dari tiga pejabat besar...”
“Pejabat besar?” helaku.
“Kau tak tahu?”
“Tidak,” aku menggelengkan kepala.
Raut wajah Lumina kembali biasa. Kembali terlihat seperti seorang gadis manis yang lembut. Dengan senyum tipis yang mulai ia tunjukkan. Ia mengurai rambutnya dengan jari-jarinya. Dan dari sana, ia mendapatkan sebuah kertas dan pensil.
“Ha? Kok bisa ada di sana?” tanyaku terheran dengan hal itu.
Ia tak menjawab. Namun senyuman kecil masih tertara di bibirnya. Kakinya di tengkuk ke dalam. Menopang tubuh pendeknya itu. Lumina meletakan kertas di atas lantai coklat ini. Dari sana, ia menggoreskan sebuah garis yang di satukan menjadi satu bagian dengan pensil itu.
“Kau tahu, dunia ini terdiri dari satu benua yang besar. Namun karena dataran benua yang tak rata, membuat sebuah cekungan. Ada yang kecil dan ada yang besar, bahkan amat besar. Seiring waktu, cekungan itu terisi oleh air. Dan tampak seperti sebuah laut kecil atau luas,” terangnya. Pensil yang ia pegang masih melekat di kertas itu.
“Itu tidak menjawab pertanyaanku,” potongku.
“Aku belum selesai. Tapi sepertinya kita langsung ke kode poinnya saja,” ujarnya. “Dari benua itu dibagi menjadi beberapa wilayah. Dan ada tiga tempat yang menjadi patokan untuk wilayah yang lain. Dia adalah kota Axis, Metro City, dan Negri Para Peri,” tangannya membentuk tiga buah lingkaran.
“Lalu apa hubungannya dengan Jirachi?”
“Berpuluh-puluh tahun yang lalu. Jirachi pernah berusaha menyatukan tiga wilayah pusat itu dengan satu pejabat. Yaitu dia,” lanjutnya.
Lumina menarik garis pada tiga lingkaran itu. Sehingga terbentuklah gambar segitiga sama kaku. Ia akhirnya meletakan pensilnya itu di samping kertasnya.
“Tapi, tentu saja hal itu tak disetujui oleh para Diva tempat itu. Sehingga dengan kewenangannya, para Diva memilih pejabat untuk wilayahnya masing-masing. Dan mereka tak memedulikan Jirachi lagi. Justru dengan para pejabat baru itu, mereka mulai menyingkirkan Jirachi. Tentu saja hal itu tak di terima olehnya. Karena ia menganggap keputusannya saat itu tak pernah salah. Bahkan ketika waktu yang telah menegurnya. Sehingga saat itu terjadinya perang yang dahsyat,” tegasnya.
“Perang?”
“Benar. Jika ada dua pihak yang berselisih, dan di antara mereka tak mau mengalah. Maka, sudah sewajarnya terjadi perang,” ujarnya.
Lumina meremuk kertas itu dengan tangan kirinya. Wajahnya kembali dingin seperti tadi. Ekspresinya semakin datar. Mata merahnya bersinar terang. Setelah beberapa saat, ia kembali mengangkat tangannya. Meninggalkan gumpalan kertas yang ada di depanku.
“Tiga pejabat itu dibantu dengan para Diva mereka, bertarung melawan Jirachi yang membuat pasukannya sendiri. Sebuah pasukan tengkorak membawa baju Zira dan senjata. Para Diva sendiri memberi kekuatan mereka. Agar alam sendiri mau menjadi pasukannya. Dan juga para penghuni dunia ini yang mau mengikuti jalannya perang. Dipersilahkan untuk ikut bersama mereka. Karena itu, dunia yang dibuat untuk menghilangkan kesedihan berubah menjadi tempat penuh kesedihan. Bahkan kegelapan.”
“Tidak mungkin!” aku tercengang mendengarnya.
“Namun perang itu hanya berlangsung kurang dari tiga hari. Para penjaga tentu saja tidak suka dengan hal itu. Para peri tanpa sayap berkumpul dan mengembalikan semua yang tak berhak dalam perang ini pulang ke dunia mereka. Sedangkan Dia ...?”
“Dia?” potongku.
“Dia bisa dianggap sebagai pencipta dunia ini. Namun para peri tanpa sayap lebih suka mengatakan ia yang hanya mengatur tempat ini. Bukan menciptakan.”
“Maksudnya?” senyum tipis keluar darinya.
“Sayangnya aku tak tahu,” ia menggelengkan kepala. “Hanya ada satu buku yang mencatat perang itu. Yang mengatakan Dia telah memenjarakan Jirachi di dunia ini selamanya.”
“Ha? Selamanya?”
“Ya, namun dia langsung menghilang setelahnya. Dan karena semua orang telah pulang, tak ada yang mengingatkan lagi tentang perang dahsyat itu. Hanya Diva dan pejabat yang tersisa itu saja yang tahu. Sebagai pengingat, mereka membuta permainan yang besar melibatkan seluruh dunia. Itu yang kita sebut dengan Big Game. Sehingga, walau para Diva dan pejabat itu sekarang sudah tidak ada. Setidaknya penerus mereka tahu tentang kejadian itu.
“Lalu apakah Jirachi benar-benar menghilang?”
“Mungkin secara fisik iya.”
“Jadi, ia bisa muncul lagi?”
“Bahkan aku tidak bisa mengelaknya. Tapi kalau dia benar kembali muncul. Mungkin dunia ini telah siap menerimanya. Walaupun mungkin sejarah akan terulang lagi.”
Aku tak menjawab atau bertanya lagi. Aku mulai tertunduk di sana. Melihatku yang murung membuat Lumina mulai merasa tidak enak. Ia berdiri dari sana. Sambil membiakan rambutnya itu.
“Layria, aku punya buku mantra yang bagus. Kau mau melihatnya. Mungkin berguna untuk besok,” ujar Lumina memecahkan suasana.
Aku terteguk. Mataku langsung terangkat. Melirik ke arah bibir Lumina yang tersenyum padaku. Aku pun ikut tersenyum.
“Boleh juga,” seruku.
Aku berdiri dari sana. Lalu berjalan mengikuti Lumina. Meninggalkan kehangatan yang kubuat tadi. Namun benakku masih berbisik. Ia masih mengatakan ada yang kurang. Yang membuatnya masih mempunya sebuah pertanyaan.
“Siapa Jirachi? Dan apa hubungannya denganku?”
-
Tertatih di bawah sinar rembulan. Ia bersujud di tengah kesunyian. Mengabaikan keributan yang ada di luarnya.
Rambut lurus panjangnya mengurai terhalang angin. Warnanya yang keunguan tak terlalu tampak karena sinar lilin. Telapak tangannya ia rapatkan dan dikepalkan menjadi satu. Matanya tertutup.
“Tuhan, bantulah aku agar dapat berbakti kepada tuanku,” desisnya.
Masih dalam posisi yang sama. Ia membuka matanya. Mata sipitnya melirik bayangan dari sinar lilin. Berkedip sesekali untuk terbiasa dengan sinar itu. Tanpa sengaja telinganya mendengar suara angin yang terselip di gorden jendela.
“Tuhan, jika besok aku bertemu dengannya lagi. Buatlah aku agar tidak melawannya untuk sekali lagi. Amin ...”
To be contiued

KAMU SEDANG MEMBACA
Wingless (World with Fantasy Character) Tamat✓
FantasySebuah dunia tanpa kesedihan. Apakah itu ada? Layria, seorang gadis yang dulunya memiliki hidup yang sempurna. Tiba-tiba berbalik hidup penuh kesepian dan kekosongan. Bagai dunia tak menginginkannya lagi. Suatu malam, seekor kucing datang padanya...